Beberapa minggu yang lalu, kami pindahan rumah. Dari ruang sepetak a.k.a kamar kos ke sebuah bangunan yang akrab disebut rumah. Membawa bawa barang cukup banyak, tentu saja kami pun meminta bantuan kepada anggota kos yang lain.Â
Kebetulan selain kami, yang menghuni rumah tersebut ada satu keluarga dan satu single perempuan.
Pindahan memang sangat merepotkan. Meski ketika awal kami sampai ke rumah kosan dengan hanya dua koper dan tiga ransel, nyatanya saat pindahan barang yang diangkut dua kali lebih banyak dari itu.Â
Ya, begitulah. Saat menjalani kegiatan keseharian, tiba-tiba kita merasa butuh ini dan itu. Jadi ada saja barang yang merasa perlu dibeli.
Hingga akhirnya pindahan pun tiba, saya tidak menyangka, mobil bude yang mengangkut barang-barang kami ternyata harus sampai bolak-balik tiga kali. Bala bantuan pun tentu saja dibutuhkan. Para perempuan tentu kurang cukup kuat untuk mengangkut barang yang besar dan berat. Alhasil, kami membutuhkan bantuan laki-laki, ialah suami dari penghuni kosan lainnya.
Si Bapak ini sudah menawarkan diri juga sebelumnya. Dia siap untuk bantu angkut-angkut. Tapi..... Melihat barang yang dibawa dan jalanan yang harus melalui tangga terjal-terjal membuat saya nggak enak malah sama dia dan istrinya. Apalagi cuaca sedang dingin-dinginnya.
Ya ya, saya tahu kita masih menganggap kebaikan itu perlu kita balas (bahkan saat itu juga). Kita pun merasa nggak enak kalau merepotkan. Pekewuh.
Kebaikan itu Berbalas?Â
Tak dipungkiri, meski sudah banyak yang memahami konsep bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, tapi tangan di atas ini seringkali masih saja mengharap sesuatu setelah menyerahkan sesuatu.
Saya pun jadi teringat dengan percakapan dengan ibu mertua saat menyiapkan makan malam untuk para ustadz di samping rumahnya 'Sekarang kita bantu para ustadz ini, mudah-mudahan anak cucuku juga terbantu nanti lewat tanganNya'. Ibu saya pun pernah berbincang hal serupa.Â
Well, saya yakin, masih banyak juga dari kita yang mengharapkan hal demikian. Balasan.
Kebaikan sebagai perintah Tuhan acapkali kita tafsirkan sebagai giving and receiving. Dalam ibadah pun kita masih melakukan hal demikian, bukan? Ibadah karena mengharapkan surga lebih menggoda daripada ibadah tanpa ada iming-iming apapun.Â
Oleh karena itu, dalam hubungan kita dengan manusia, kebaikan yang seharusnya menjadi hal lumrah, menjadi berharga. Entah karena kebaikan itu semakin sulit kita rasakan, atau kebaikan itu terlalu mahal karena harus selalu kita balas??!
Hidup memang untuk saling merepotkan, bukan?
Selama menjalani bahtera rumah tangga, mungkin sudah puluhan tangan yang terulur membantu kehidupan rumah tangga kami. Jauh dari orangtua melatih kami untuk terbiasa berpangku pada uluran tangan orang-orang yang peduli, tanpa ada ikatan darah.
Dari keakraban suami dengan teman-temannya inilah kemudian saya merasa mulai berkurang rasa sungkan, pekewuh dan nggak enakannya. Entah ini karena faktor laki-laki memang nyah-nyoh nyah-nyoh dalam urusan bantuan maupun materi, atau karena keakraban mereka sudah kenal njero-njobo.
Beberapa cerita pertemanannya membuat saya cukup melongo. Seperti jalinan persahabatan mereka memang tercipta untuk saling merepotkan.Â
Suami cerita butuh tempat tinggal sementara kita berkunjung ke daerah temannya, sama teman ditinggali rumah kosong milik kerabatnya. Suami mau nyewa motor temannya untuk sebulan, malah cukup dengan dipinjami saja selama sebulan itu gratis tak perlu bayar.
Dari situ, ketika teman saya merasa terbantu oleh uluran tangan saya, saya langsung bilang 'sudahlah, hidup kan memang untuk saling merepotkan. Nggak usah nggak enakan gitu. Terima saja selagi aja. Nggak usah sungkan-sungkan'.
Tapi nyatanya cukup sulit. Mungkin memang tidak terbiasa, atau merasa bahwa kebaikan itu perlu dibalas.Â
Dalam pekerjaan saya pun ini kerap terjadi. Sebagai pekerja lepas yang sering bersinggungan dengan media sosial, saya paham bahwa dukungan dari teman-teman itu sangat perlu. Makanya sekarang ini sampai ada yang namanya support group untuk mendapatkan view, like and comment, dan sejenisnya.
Sayangnya dari situ, kita sering kali lupa untuk menerapkan ketulusan. Kita mensupport orang, lalu minta support balik. Merasa nggak suka kalau tidak mendapatkan support dan tidak mau mensupport kalau tidak disupport dulu.
Ya, begitulah.
Lagi-lagi, kita masih merangkak dan harus terus berupaya untuk dapat menerapkan kebaikan tanpa ketulusan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H