Bengkulu,22 Desember
Yang tersayang, Ibu...
Bu, apa kabar hari ini? Ibu sehat, kan? Bagaimana kakinya, bu? Sudah tidak sakit lagi, kan?
Itulah, ibu malas sekali kalau kusuruh memakai sendal. Padahal, jam empat subuh ketika kantuk masih mengepungku, ibu sudah berjibaku didapur, merebus daun singkong, serta mengulek sambal terasi. kedua makanan itu sengaja kupesan sore kemarin, untuk kubawa ke TK pagi ini. Ah, sepertinya telingaku menangkap sayup suara mesin cuci, apa sepagi ini ibu juga sudah mencuci? Tuh, kan, pasti kaki ibu kedinginan lagi.
Ibu, esok, usiaku genap seperempat abad. Wah hebat, ya.. sudah setengah dari usiamu, bu. Kalau saja setahun atau dua tahun yang lalu jodohku telah sampai, mungkin aku sudah sehebat engkau, menjadi seorang ibu juga. Bagaimana rasanya, bu? Kata orang amat menyakitkan, sampai harus bertaruh nyawa. tapi mengapa ibu masih mau melahirkan tiga anak lagi, setelahku? Ibu benar-benar wanita hebat! Lima jempol buat ibuuuu.
Bu, waktu berlari teramat cepat, ya..Rasanya baru kemarin ibu menyerahkanku kepada ama untuk diasuh. Tenang, bu, aku sekarang sudah tak menyalahkan ibu,kok. Hanya saja dulu, ketika otak kanak-kanakku belum mampu mencerna dengan bijak, aku selalu bertanya, kenapa bukan ibu dan ayah saja yang mengasuhku? Apa benar, ibu tak menginginkanku? Kata mereka usiaku empat bulan kala itu. Bukankah seharusnya aku masih bergelung didada mu? Merambah wajah ibu dengan jemariku yang terulur, menggapai-gapai.. Bukankah seharusnya aku menangis keras-keras ditengah malam, membangunkanmu dari tidurmu yang tak pernah lelap? Seharusnya begitu kan, bu? Hanya seharusnya.
Aku tidak ingin lagi menggugat masa lalu, bu. Sungguh! di dua puluh lima tahun usiaku ini, banyak hal yang telah kusadari, termasuk alasan ibu menitipkan aku kecil kepada ama selama belasan tahun. Tak mudah bagimu kan, bu? Pegawai negeri berpangkat rendah, dengan suami yang pekerjaannya tak menentu. Hari ini di hutan, esok di rantau, kemana lagi ibu harus menitipkanku kalau bukan kepada ama, nenek kandungku? Hanya 72 kilometer jarak memisahkan kita, harusnya tak masalah, bukan? Ya, bu. Kini aku paham, tidak apa-apa.
Ibuku yang terrrrrsaaayaanng.. tapi maafkan aku ya bu. Dulu, duluuuuu sekali, aku pernah meragukanmu. Mungkin karena kita hanya bertemu sebulan sekali, tepat diawal bulan sehabis ibu gajian. Waktu itu, kebahagiaan ku melihat ibu hanya sebatas banyaknya buah tangan yang ibu jinjing di kiri kanan. Atau hanya sebatas rupiah yang nantinya akan ibu tinggalkan saat kembali pulang, rupiah yang nantinya akan kuhabiskan bersama teman. Aku bangga benar, ketika mereka merapat, mengantri, demi sepotong es lilin dan sebungkus nasi kuning ang kutraktir, mereka akan berlomba-lomba berbuat baik dan tersenyum manis kepadaku, maniis sekali, bu. Uang saku yang ibu berikan itu tak kan pernah cukup sampai seminggu, dan selama itu pula pertemanan kami berpautan, selebihnya? Kembali gersang. Mereka menjauh lagi,bu. Ah tak penting, yang penting aku memiliki mu, ibu.
Bu, masa-masa sekolah dulu memang tak selalu manis. Aku yakin, ibu masih ingat masa kelam itu. Masa dimana egoku sebagai remaja, mengalahkan segalanya. Masa transisi yang begitu pahit, dimana seorang gadis kecil penuh prestasi, yang selalu menggenggam kata 'juara' ditangannya, kebanggaan semua orang, berubah drastis menjadi monster remaja, yang hanya tahu aturan yang dibuatnya sendiri. Tidak ada yang menyukaiku, tetangga, teman, guru-guru, semua menganggapku sampah, pembuat onar. Gadis bengal yang selalu menciptakan masalah, Aku bahkan mengira tak ada yang kan peduli padaku, bahkan juga ibu.
Aku ingatn benar, hari ketika ama dipanggil ke sekolah karena sudah enam bulan aku tak menyetorkan uang SPP. Ama dan lainnya shock, kecewa, marah bukan main. Tapi ibu tidak, ketika engkau datang, ibu tak berucap apa-apa, engkau hanya menangis. Entah apa aku sadar, bahwa tangis mu saat itu adalah pembuka salah satu pintu neraka bagiku. Yang aku tahu, setiap perbuatanku kulakukan sebagai bentuk pemberontakan, bentuk keberatanku, juga rasa tak terima atas keputusan mu. Mengapa ibu tak menginginkanku?
Duh, ibu..
Betapa bodohnya anakmu ini, ya. Mana mungkin seorang ibu yang sanggup menahan perih dan sakit, mampu mempertaruhkan jiwa demi mengantarku melihat dunia, sanggup menelantarkanku? Aku malu, bu. Malu pada mu, juga pada Allah yang telah menjanjikan surga nya di dua telapak kakimu. Tapi tak mengapa, rasanya saat itu terbayar sudah sekarang. Kini aku kembali disini, bu. Kembali dalam dekapmu. Kembali dari petualangan masa remajaku yang melelahkan, juga sia-sia. kini aku tinggal memunguti keping demi keping masa lalu yang masih berguna, pelajaran maha dahsyat yang tak mungkin sanggup kulupa. Dan disinilah aku, bu. Disisimu. Dekat.
Ibu, malaikatku yang terlihat..
Yang tak pernah menudingkan telunjuknya didepan hidungku saat aku bersalah. Engkau tahu, bukan dengan begitu aku kan memgerti dan menerima, engkau tahu bagaimana mengajariku tanpa menggurui. Ibu memang tak pandai berbicara, tapi kusadari benar, sayang dan perhatianmu tak pernah luntur, aku tahu ibu selalu ada dibelakangku, menungguku kembali, kembali untuk bersandar di dermaga mu, menantiku bersauh, dari pelayaranku. Engkau akan senantiasa disana, mendorongku kembali kedepan, setelah berkeluh kesah didadamu. Dan dengan semangatmu, kemudian aku akan melangkah lagi, lebih jauh, lebih panjang.
Ibu, engkau memang tak pernah mendekapku lagi dimasa dewasa ku, aku paham. Ibuku bukan tipe seperti itu, ibu mencintaiku dalam diam, dalam perbuatan yang nyata. Belum pernah sebelumnya kurasakan kekuatan batin sekuat milikmu, bu. Apakah itu sihir? Yang membuatmu dapat membaca pikiran-pikiranku, hebatnya lagi, kau penuhi keinginanku bahkan sebelum aku mengutarakannya. Ya Allah, untung benar telah kau satukan kami, kembali.
dupuluh tiga desember...
Ulang tahunku yang ke dua lima. Ibu tahu? Selalu berat menghitung usiaku dari tahun ke tahun. Kenapa? Karena bayang-bayang masa depan, dimana aku akan diboyong seorang pngeran, begitu membuatku ketakutan. Aku tak mungkin mengarungi dunia ini tanpa pasangan hidup, tapi aku juga tak mau meninggalkanmu. Aku tak sanggup membayangkan harus terpisah lagi denganmu, matahariku.. Bagaimana nanti kalau ibu sakit? siapa yang akan merawat ibu? Sementara adik-adikku masih kecil-kecil, yang laki-laki juga pasti akan mengejar hidupnya sendiri, nanti. Atau malah, bagaimana jika akulah yang sakit di negeri orang? Tangan mereka yang nantinya akan merawatku takkan pernha serupa tanganmu, tak juga selembut belaimu. Bagaimana, bu? Bagaimana pula jika nanti aku melakukan kesalahan dan seluruh dunia menghujatku seperti dulu? Tidak ada ibu yang kan berdiri di depanku menjadi pelindung. tidak ada ibu yang menguatkanku untuk tabah dan melawan. Tidak ada ibu, tempat dimana aku dapat menelanjangi diri sendiri, jujur, tanpa satupun yang brani kututup-tutupi. Bagaimana, bu?
Ibu aku takut. Aku tak cukup berani melangkahkan kaki ke dunia itu, dunia yang ibu tidak ada di dekatku. Karena di dekatmu, begitu nyaman, Damai tak berprahara. Bukankah aku sudah pernah jauh darimu, dan itu menjaukanku dari kebahagiaan. dari keteraturan, juga dari kebenaran. Aku disini saja ya, bu. Di pelukmu.
Bu, aku minta maaf untuk semuanya. Untuk belasan tahun yang berjalan tak menyenangkan, penuh onak dan airmata, airmata mu. Aku minta maaf intuk waktu yang telah kusia-siakan. Aku belum jadi apa-apa sekarang, karena kesalahan masa lalu. Keliaranku dulu tidak m enghasilkan apa-apa, kecuali sesal dan malu. Aku belum bisa mengharum kan nama mu, belum juga bisa membantumu, secuilpun, Belum bisa sepenuhnya membuatmu bangga, maaf ya bu, maaf.
Aku baru memulai, bu. Baru separuh langkah, doa ibu pembuka jalannya. Bersama cinta mu, aku sedang meniti jalan yang Inshya ALLAH benar dan diridhoi. Bukankah ridho Allah juga berada diatas ridho mu, kan bu? Tidak ada lagi keinginan berontak, aku sekarang tenteram di jalur yang seharusnya, sunggh. Atas nama mu kini kujalani hari penuh bahagia dan keikhlasan. Aku kini hanya menjadi guru Tk, NAMUN AKU BAHAGIA, juga sedang mengejar mimpiku menjadi penulis. Doakan terus ya, bu. Meski belum tercapai benar, tapi nama ku sudah tercetak di beberapa buku, karena dukunganmu yang tanpa kata-kata itu.
Bu, hanya allah yang tahu betapa beruntngnya aku memiliki mu. Terima kasih, atas semua yang telah kita lalui. maaf, untuk tiap dosa yang telah kutorehkan di hatimu. aku kembali, kepelukmu. I LOVE YOU, IBUKU..
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun fiksiana community dengan judul, Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu http:lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/12/22/untukmu-ibu-inilah-karya-peserta-fiksi-hari-ibu-bersama-studio-kata-618551.html
silahkan bergabung di FB Fiksiana Community http://m.facebook.com/groups/175201439229892
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H