Mohon tunggu...
Mulyadin Permana
Mulyadin Permana Mohon Tunggu... Antropolog Universitas Indonesia -

Everything needs process, your process is your future

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perseteruan Identitas di Pilkada Jakarta

29 September 2016   00:13 Diperbarui: 29 September 2016   00:20 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi DKI Jakarta menjadi ajang pertarungan calon gubernur (cagub) paling panas dan menghebohkan saat ini. Para pimpinan partai politik sampai turun tangan memilih, menyeleksi dan bertarung dalam menentukan siapa wakil partainya yang akan menakhodai Jakarta untuk periode 2017-2022. Sebagai ibukota negara berpenduduk keempat terbesar di dunia setelah Amerika, Jakarta menjadi magnet dunia dan barometer ekonomi dan politik nasional. Jakarta merupakan representasi seluruh masyarakat Indonesia di mana multikuluralisme dan keragamanan suku, ras, agama dan budaya berakulturasi, termasuk berbagai ras di dunia ada di Jakarta.

Menurut sejarah Nusantara, agama Islam yang menjadi keyakinan mayoritas penduduk pribumi dibawa oleh para saudagar Arab pada abad ketujuh Masehi setelah sebelumnya dikuasai oleh kerajaan Hindu-Budha yang dipengaruhi oleh India di abad pertama Masehi. Gelombang kedatangan orang India dan Arab ke Nusantara menjadi titik awal tumbuhnya populasi keturunan mereka di Indonesia hingga saat ini, termasuk imigrasi besar ras Mongoloid-Tiongkok. Pada era kolonial, para pedagang Tionghoa bersama Arab dan India memegang peranan besar dalam perdagangan Nusantara, khususnya di Batavia. Awalnya, orang Tiongkok datang dan menetap di Nusantara sebagai buruh dan pekerja yang dibawa oleh VOC dan Inggris, kemudian Belanda mengangkat kelas sosial orang Tiongkok setara dengan orang India dan Arab sebagai perantara dagang Belanda dengan pribumi.

Sebagai pusat ekonomi dan perdagangan, Jakarta menjadi pilihan pemukiman bagi para imigran untuk meningkatkan taraf hidup. Populasi terbanyak diduduki oleh etnis keturunan Tiongkok, diikuti Arab dan India. Etnis Tiongkok dan Arab bahkan memiliki perkampungan sendiri di Jakarta. Kawasan pemukiman warga etnis Tiongkok disebut pecinan. Etnis Tiongkok menempati wilayah yang dipercaya sebagai jalur naga mulai dari Kelapa Gading, Sunter, Keramat Luar Batang dan Pluit di Jakarta Utara sampai di Glodok dan Jakarta Kota di Jakarta Barat. Etnis Arab punya kampung sendiri di Condet Jakarta Timur dan etnis India banyak bermukim di rumah susun Bandar Kemayoran Jakarta Pusat.

Lantaran banyaknya warga etnis Tiongkok dan Arab di Jakarta, bukan tidak mungkin menjadi kekuatan primordial bagi cagub DKI Jakarta Ahok dan Anis Baswedan. Identitas Ahok sebagai cagub keturunan Tiongkok akan mendapatkan dukungan dari warga Jakarta etnis Cina, begitu pula dengan Anis Baswedan yang merupakan keturunan Arab sudah pasti akan didukung oleh mayoritas warga Condet, selain masing-masing memiliki basis dukungan pemilih beridentitas rasional. Sementara Agus Yudhoyono hanya berpotensi mendapatkan dukungan dari pemilih rasional.

Latar belakang identitas yang berbeda dari ketiga cagub, memberikan gambaran polarisasi dukungan dan kekuatan finansial yang berbeda. Ahok pasti akan didukung oleh para pengusaha atau taipan Tiongkok yang hampir menguasai perekonomian Indonesia, khususnya Jakarta. Etnis Arab, sebenarnya tidak memiliki riwayat solidaritas seperti etnis Tiongkok, sehingga dukungan finansial dari Arab lokal tidak begitu meyakinkan, tetapi faktor PKS sebagai partai pengusung akan menjadi perantara donasi Arab untuk Anis Baswedan karena PKS memiliki kedekatan dengan Kerajaan Arab Saudi dan Gerakan Tarbiyah atau Ikhwanul Muslimin di berbagai negara Timur Tengah. Sementara Agus Yudhoyono merupakan putra mantan presiden SBY yang diketahui memiliki hubungan baik dengan Amerika. Oleh karena itu, Pilkada DKI Jakarta akan menjadi ajang pertarungan identitas yang memiliki kekuatan besar di belakangnya, Tiongkok – Timur Tengah – Amerika Serikat.

Secara politik, identitas itu mungkin tidak akan ditunjukkan di permukaan oleh para cagub karena tidak menguntungkan dan sangat sensitif. Ada cagub yang menegaskan bahwa pertarungan pilkada adalah pertarungan program bukan kampanye perbedaan identitas. Namun, sebenarnya identitas itu eksis, menguat dan berpotensi terus dikonstruksi untuk mendapatkan keuntungan lain misalnya dukungan finansial. Identitas tersebut tidak begitu saja hadir, tetapi melaui proses panjang yang memungkinkan untuk diidentifikasi dan identitas itu selalu dalam proses pembentukan. Identitas itu terbentuk melalui artikulasi dan pilihan posisi cagub-cawagub, termasuk penetrasi modal dan juga dominasi struktural partai pengusung.

Identitas yang terbentuk dari pola primordial tersebut secara historis sudah lama menjadi solidaritas kolektif yang saling berlawanan. Identitas kolektif akan menjelaskan bagaimana suatu kelompok menciptakan, memperkenalkan dan mempertahankan identitas kelompoknya sebagai sebuah hal yang prestise untuk melawan kelompok lainnya. Pertarungan panjang terjadi antara Amerika denganTiongkok yang merupakan perseteruan ideologi kapitalisme dengan komunisme yang berujung pada sentimen identitas. Berbagai kerusuhan anti Tiongkok di Indonesia merupakan kulminasi dari ketidaksukaan Amerika dan negara-negara Eropa dengan komunis Cina melalui tangan penduduk setempat.

Kerusuhan anti Tiongkok pernah terjadi di Batavia tahun 1740 yang dikenal sebagai Geger Pacinan atau Tragedi Angke yang menelan korban lebih dari 10.000 orang Tiongkok, peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung yang merembet ke berbagai kota di Jawa Barat, tahun 1972 di Pekalongan, tahun 1973 di Jakarta, Palu dan Bandung, peristiwa Malari tahun 1974, tahun 1980 di Ujung Pandang, Solo dan Medan, tahun 1995 di pekalongan, Kerusuahan sepanjang tahun 1997 hingga tahun 1998 di berbagai tempat yang berujung pada kerusuhan Mei 1998.

Dari semua etnis yang pernah ada di Indonesia, etnis Tiongkok paling sering menjadi korban kemarahan pribumi. Hal itu terjadi karena sentimen identitas diciptakan oleh Belanda dengan membuat Undang-undang kependudukan yang memposisikan warga pribumi sebagai inlander atau warga negara kelas rendah, sementara Tiongkok menduduki kelas atas dan mendapatkan akses ekonomi yang tidak diberikan kepada penduduk pribumi. Perlakuan diskriminatif tersebut membuat masyarakat pribumi memendam kemarahan terhadap etnis Tiongkok, sehingga kapan pun bisa disulut oleh pihak luar seperti Amerika yang memang tidak suka dengan Tiongkok menjadi kerusuhan rasial.

Peristiwa Malari tahun 1974 oleh sebagian orang diyakini sebagai petaka yang terjadi karena sentimen identitas antara Amerika dengan etnis Tiongkok. Pengusaha Cina memiliki sebagian besar dari seluruh modal swasta secara tidak proporsional, keterampilan usaha dan hubungaan-hubungan luar negeri. 

Kurusuhan yang menyasar mobil-mobil dan barang-barang produksi Jepang, gedung perkantoran dan bangunan milik keturunan Tiongkok yang dirusak dan dibakar massa, dipercaya sebagai persaingan antara dua pimpinan militer, Jenderal Soemitro, yang pro teknokrat, IMF dan Amerika Serikat dengan Jenderal Ali Murtopo yang mewakili pendukung-pendukung kebijakan industrial yang bekerja sama dengan Jepang dan mayoritas etnis Tiongkok.

Mengenai Amerika, tidak ada satu pun peristiwa sejarah di Indonesia yang terlewatkan sejak Indonesia merdeka, terlebih-lebih sejak masa Orde Baru yang disokong oleh Amerika, hingga saat ini. Bagi Amerika, Indonesia adalah negara yang sangat penting baik dalam hubungan politik, ekonomi, kebudayaan, pertahanan dan keamanan, maupun sebagai mitra strategis untuk mengontrol kekuatan komunis di Asia.

Masih ingat kenapa Timor Timur direbut oleh Indonesia ketika krisis Lisabon tahun 1975? Tidak lain karena kelompok Fretelin Timor Timur ingin membentuk pemerintahan kiri merdeka yang bersikap responsif terhadap Tiongkok. Angkatan Darat tidak mungkin membiarkan Indonesia berdampingan dengan negara baru dengan kekuatan komunis, sehingga aksi militer menjadi pilihan Soeharto ketika perundingan dengan Portugal tidak pernah terjadi. Saat itu, Amerika sama sekali tidak keberatan dengan operasi militer yang dilakukan oleh Soeharto yang hasilnya dianggap sebagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh sebuah negara.

Pembelaan hak-hak asasi oleh Amerika Serikat mungkin mempunyai motif-motif yang baik, namun Amerika dikenal sebagai negara adidaya yang sangat memusuhi komunis sepanjang sejarah perang dingin tahun 1947 sampai 1991. Bahkan, Amerika memproyeksikan suatu citra “Flash Gordon”: seorang pahlawan super kulit putih yang terbang ke angkasa luar untuk membebaskan rakyat planet Mongo dari penindasan Ming yang ingin menghancurkan bumi. Ming the Merciles, seorang penguasa kulit kuning, digambarkan sebagai penindas oriental. Tokoh superhero Flash Gordon diangkat dari Comic Strip era 1930-an, artinya sentimen identitas terhadap komunis berkulit kuning itu sudah lama dikonstruksi.

Secara ideologis, Golkar tidak akan mendukung Ahok jika masih memegang ideologi pendiri Golkar, Orde Baru, di mana Soeharto tidak pernah suka dengan Poros Jakarta-Peking. Namun, kelompok yang menguasai Golkar saat ini adalah pengusaha, bukan militer, apalagi ketua umum Golkar Setya Novanto disebut-sebut sebagai keturunan etnis Tiongkok. 

Ideologi militer saat ini ada dalam Partai Demokrat. SBY yang lama mengenyam pendidikan militer di Amerika Serikat, mengadopsi Partai Demokrat Amerika sebagai nama partai yang didirikannya tahun 2002, sehingga mengusung Agus Yudhoyono yang pernah dididik oleh Amerika sebagai calon Gubernur adalah pilihan ideologis.

Memang, tidak menarik membicarakan sentimen identitas di masa pemilu, agak sensitif. Lebih baik berbicara program apa yang diusung oleh para kandidat untuk membangun Jakarta. Masyarakat Jakarta yang merupakan pemilih rasional akan memilih calon gubernur yang benar-benar hadir untuk rakyat. Mereka tidak akan terprovokasi secara destruktif oleh identitas calon gubernur yang berbeda.

Namun, saya ingin mengingatkan bahwa kita tidak boleh terjebak pada istilah pembangunan dan program pembangunan. Pembangunan boleh jadi, meminjam istilah Bourdieu, sebagai “symbolic violence” yaitu kekerasan atau penindasan simbolik terhadap rakyat melalui investasi asing, akumulasi modal, eksploitasi lingkungan dan penggusuran-penggusuran atas nama pembangunan. Garis politik “berdasarkan program” pun telah dilakukan selama Orde Baru yang memang melahirkan stabililitas, pembangunan fisik dan kemajuan ekonomi, tetapi terjadi keruntuhan demokrasi.

Orientasi membangun Jakarta melalui program-program fisik jangan sampai meruntuhkan esensi demokrasi yang meniscayakan pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Membangun Jakarta bukan hanya secara fisik dengan melupakan rakyatnya, tetapi juga memberdayakan, memajukan dan memanusiakan manusianya. Demokrasi berkualitas dan pembangunan fisik yang humanis adalah tujuan Jakarta ke depan.

Oleh karena itu, perbincangan soal perseteruan identitas di Pilkada Jakarta tidak lebih menarik daripada isu kemacetan dan banjir yang harus segera diselesaikan. Soalnya, malu punya negara yang ibukotanya selalu kebanjiran dan semakin macet dari hari ke hari. Entah dengan memindahkan ibukota ke daerah lain atau Provinsi Jawa Barat yang sangat luas mau berbaik hati menyumbangkan wilayahnya untuk pelebaran Jakarta. 

Semuanya harus dibicarakan serius karena menyangkut aturan yang harus diubah, pembangunan fisik, perubahan tata pemerintahan dan birokrasi, dinamisasi ekonomi dan politik dan persoalaan sosial budaya di masyarakat. Kalau persoalan sentimen identitas, hanya menjadi pembicaraan back stageuntuk mendulang dukungan kelompok atau finansial bagi para cagub. Namanya juga sentimen identitas, ya sifatnya representasi kolektif kelompok, tidak general atau bukan untuk konsumsi publik.   

Dari semua hal itu, ada satu yang harus diingat bahwa tidak mudah menjadi Gubernur Jakarta, selain harus menyelesaikan semua persoalan pelik yang ada, juga bakal jadi korban su’udzon kapan saja. Para kandidat akan dituduh macam-macam, mulai dari mengusung kepentingan politik si ini dan si itu, memperjuangkan keinginan pengusaha ini dan itu, didanai si asing dan si aseng atau si arab, beredar isu SARA, sampai identitas Ahok sebagai keturunan Tiongkok, Anis Baswedan etnis Arab dan Agus Yudhoyono pemuda lokal dukungan Amerika akan diperbincangkan seantero jagad. Hal itu tidak bisa dihindari.

Richard Nixon saja sebelum dua kali terpilih menjadi Presiden Amerika, pernah gagal di pemilihan Gubernur California tahun 1962. Apalagi, menjadi Gubernur DKI Jakarta merupakan loncatan menjadi presiden seperti halnya Jokowi.

Maka, pertarungan sebagai calon gubernur DKI Jakarta adalah pertarungan mental, gagasan, program, visi misi dan tujuan mulia untuk membangun Jakarta menjadi lebih baik. Apapun latar belakang dan identitas yang disandang, asal bukan demi kepentingan lain yang ada di panggung belakang.

*Penulis adalah Antropolog Universitas Indonesia dan Ketua Umum

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) DKI Jakarta Periode 2014-2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun