Mohon tunggu...
Mulyadin Permana
Mulyadin Permana Mohon Tunggu... Antropolog Universitas Indonesia -

Everything needs process, your process is your future

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sebuah Kebangkitan Mental, Bukan Kebangkitan Komunis

30 Mei 2016   14:45 Diperbarui: 30 Mei 2016   14:57 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah gambaran sifat ‘baik’ kaum pribumi yang tidak dilapisi oleh kesadaran. Kesadaran adalah suatu hal yang sangat penting dalam membuat perubahan. Seorang ilmuan bernama Jean-Paul Sartre menyebutkan bahwa masyarakat primitif itu tidak memiliki sejarah karena tidak ada kesadaran. Kehidupan mereka sesungguhnya hanya repetitive atau pengulangan dari kondisi yang ada. Bangsa Indonesia memiliki sejarah ketika masyarakatnya memiliki kesadaran dan kesadaran itu secara nasional lahir menjadi kebangkitan nasional.

Lebih ekstrim, Karl Marx, menyebutkan bahwa perubahan atau revolusi itu hanya bisa ditempuh melalui kesadaran dan perubahan struktur. Struktur yang dimaksud adalah pola atau sistem. Berbekal doktrin marxisme, para pejuang kemerdekaan melakukan perubahan atas nasib bangsanya yang sudah menjadi sebuah struktur yaitu terjajah. Gerakan perubahan atas ketertindasan dan keterjajahan sudah berlangsung lama di seluruh belahan dunia sebelum Indonesia merdeka. Berawal dari Revolusi Bolshevik Uni Soviet tahun 1917 di bawah kekuasan diktator Tsar Nikolas, Revolusi Budaya yang digerakkan oleh Mao Zedong di China, Revolusi Agustus di Vietnam, Revolusi Kuba dan lain-lain, termasuk revolusi yang digerakkan oleh kaum buruh dan petani Indonesia tahun 1926 untuk melawan penjajahan Belanda.

Paul F. Gardner menulis: “Sewaktu banyak kolonialis Belanda dan Kolonialis Barat lainnya merasa bahwa gagasan “misi pembudayaan” merupakan pembenaran bagi eksploitasi ekonomis negeri-negeri asing dan suatu sumber harga diri, banyak pemimpin Indonesia yang berpendidikan menemukan pelarian dalam doktrin-doktrin Marxis yang menawarkan suatu penjelasan yang tidak begitu merendahkan martabat bagi kesulitan ekonomis dan politis mereka, serta harapan bagi perubahan yang lebih cepat. Walaupun hanya sedikit yang komunis, praktis semua pemimpin Indonesia pada tahun 1945 menyatakan dirinya Marxis.”

Seperti halnya laporan Konsul Jenderal Chas I. Hoover di Batavia kepada Menteri Luar Negeri AS pada 15 November 1926 dan Maret 1927 yang disebutkan oleh Gardner: “Tentunya penguasa-penguasa kolonial Belanda menekankan unsur “komunis” dan mengecilkan unsur demokratis di dalam gerakan nasionalis Indonesia. Sukarno, Hatta, Sjahrir dan pemimpin-pemimpin terkemuka lainnya akan menderita pemenjaraan dan pengasingan bertahun-tahun lamannya sebagai kaum revolusiner yang radikal. Argumen-argumen pihak Belanda tidaklah diterima begitu saja oleh pejabat-pejabat konsuler AS di Hindia Belanda. Salah seorang pejabat tidak setuju dengan laporan pihak Belanda tentang suatu pemberontakan di Jawa Barat pada tahun 1926 yang dicap oleh mereka sebagai komunis. Ia di kemudian hari menyatakan bahwa beberapa orang “membangkit-bangkitkan momok komunisme untuk mengalihkan perhatian dari ketidakmampuan mereka sendiri (Belanda) sebagai pengelola.”

Maksud saya mengutip berbagai sumber tentang sejarah perjuangan kemerdekaan yaitu untuk menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia itu lahir atas kesadaran dan perubahan mental atas ketertindasan yang dialami bangsa kita selama beratus-ratus tahun, serta perubahan struktur yang digerakkan oleh kaum muda revolusioner. Gerakan kemerdekaan itu adalah gerakan fisik atau gerakan revolusi yang lahir dari pemikiran Marxisme, semangat nasionalisme dan tradisionalisme radikal yang digerakkan oleh tokoh pendiri Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Asy’ari. Hal ini yang merupakan buah pikiran Bung Karno tentang Marhaenisme yang merupakan penggabungan antara Nasionalisme, Islam dan Marxisme yang melahirkan pancasila.

Artinya, gerakan yang berakar dari doktrin Marxisme itu bukan hal yang baru muncul dan menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa kita. Gerakan Marxisme menjadi berbahaya ketika tercerabut dari akar nasionalisme dan nafas keagamaan yang berujung pada pemberontakan Madiun tahun 1948 yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Sementara, pemberontakan PKI tahun 1965 yang dikenal dengan Gerakan 30 September (G30S) PKI masih merupakan peristiwa yang mengalami ‘kegelapan’ sejarah dimana kebenaran belum terungkap apakah benar PKI yang melakukan pemberontakan dengan membunuh Dewan Jenderal ataukah sebuah rekayasa untuk menumpas PKI dan meruntuhkan kekuasaan Bung Karno.

Namun, yang jelas, pemberantasan komunisme tahun 1965 di Indonesia merupakan bagian dari pertarungan blok timur dan blok barat dalam arena perang dingin. Blok barat yang dikomandoi oleh Amerika Serikat merupakan musuh bebuyutan blok timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Pertarungan aliansi militer pimpinan Amerika; NATO dengan Pakta Warsawa pimpinan Soviet adalah pertarungan ideologi kapitalisme dengan komunisme yang memang saling berbenturan. Masing-masing blok membangun kekuatan nuklir untuk saling menghancurkan, tetapi antara Amerika dengan Soviet tidak pernah saling menyerang secara langsung. Mereka berperang dengan menggunakan pengaruh ideologi, kekuatan militer dan kemampuan intelejennya di negara-negara lain yang menyebabkan konflik militer hampir di seluruh dunia sejak tahun 1947 pasca perang dunia kedua hingga tahun 1991. Indonesia menjadi bagian dari skema perang dingin dimulai dari pemberontakan PRRI-Permesta sampai pemberantasan PKI.

Pemberontakan PRRI-Permesta mendapatkan bantuan senjata, dana dan bantuan lainnya dari Amerika karena kampanye anti-komunis yang mereka lakukan. Untuk pemberantasan komunisme, selain dilakukan oleh TNI Angkatan Darat (AD), juga provokasi kelompok masyarakat sipil yang memiliki akar pertentangan dengan komunis. Seperti hasil penelitian saya di Jawa Timur menunjukkan bahwa pemberantasan komunis dilakukan oleh masyarakat sipil yang ‘dikawal’ oleh TNI AD. Memang, menurut pengakuan masyarakat yang saya wawancara, ‘pembersihan’ PKI tahun 1965 adalah puncak dari kemarahan masyarakat atas berbagai ulah PKI selama tahun 1948 sampai 1965. Ada istilah, “Jika tidak membunuh, maka akan dibunuh oleh PKI.” Namun, masyakarat mengaku bahwa mereka sudah melupakan peristiwa itu dan sudah saling memaafkan. Rekonsiliasi terjadi secara alamiah.

Soal komunisme, berdasarkan konstitusi negara, pemerintah atau kepolisian Republik Indonesia harus menegakkan hukum untuk menjalankan amanat Ketetapan MPRS Nomor 25 tahun 1966 tentang pembubaran PKI dan ditetapkannya sebagai organisasi terlarang. PKI adalah organisasi terlarang beserta paham dan ajarannya, tetapi Marxisme secara keilmuan merupakan sebuah pemikiran yang tidak ‘haram’ untuk dipelajari. Marxisme merupakan sebuah konsep ekonomi yang anti penghisapan, anti penindasan, anti kolonialisme dan anti kapitalisme yang sejalan dengan sila kelima; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ia tidak berbahaya jika dikawal dengan nasionalisme dan nilai keagamaan, ia akan berbahaya jika muncul kembali secara formal atas nama PKI. Hal itu tidak mungkin terjadi karena sudah ditetapkan terlarang oleh lembaga tertinggi negara (MPR) dan Tap MPR Nomor 25 tersebut tidak bisa dicabut oleh lembaga manapun.

Oleh karena itu, PKI bukan lagi sebuah bahaya laten bagi bangsa kita. Bahaya terbesar yang kita hadapi saat ini adalah sifat mental kita sendiri yaitu mental korup, mental inlander dan mental menghisap dan menindas bangsa sendiri.

Untuk mengubah sifat mental kita, diperlukan kesadaran, yaitu kesadaran untuk membangun bangsa Indonesia lebih maju, kesadaran yang lahir dari penguatan pendidikan. Maka, tugas pemerintah bukan hanya mengurus PKI, tetapi memperkuat kualitas pendidikan kita. Jika pendidikan dan kesadaran berbangsa kita bagus, maka infiltrasi atau adu-domba atas nama komunisme oleh pihak luar tidak akan mampu menggoyahkan bangunan kokoh bernama Indonesia Raya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun