Mohon tunggu...
Mulyadin Permana
Mulyadin Permana Mohon Tunggu... Antropolog Universitas Indonesia -

Everything needs process, your process is your future

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sebuah Kebangkitan Mental, Bukan Kebangkitan Komunis

30 Mei 2016   14:45 Diperbarui: 30 Mei 2016   14:57 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Mulyadin Permana*

Awal mula sejarah terbentuknya Republik Indonesia berangkat dari gerakan kebangkitan nasional yang diprakarsai oleh generasi muda terdidik. Bangkitnya rasa persatuan, kesatuan dan rasa empati atas ketertindasan yang melahirkan nasionalisme menjadi kesadaran kolektif untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Masa itu bermula pada tanggal 20 Mei 1908 yang ditandai dengan berdirinya organisasi pemuda bernama Budi Utomo. Kesadaran bahwa masa depan bangsa Indonesia yang terjajah ada di tangan mereka, maka Budi Utomo menjadi awal gerakan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Setelah itu, berdirilah berbagai organisasi rakyat seperti Serikat Islam tahun 1905, partai politik pertama Indische Partij dan Muhammadiyah tahun 1912, ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) tahun 1914 yang menjadi cikal bakal PKI (Partai Komunis Indonesia), serta berbagai partai politk, organisasi rakyat, kelompok pelajar dan pemuda lainnya.

Tahun 1908 menjadi titik awal kebangkitan bangsa karena masa sebelumnya bangsa Indonesia masih dalam kondisi tak terdidik. Selama masa penjajahan, rakyat hanya menjadi budak dan pesuruh yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Masyarakat pribumi mulai mengenal pendidikan formal pada saat kebijakan politik etis mulai dijalankan tahun 1901.

Saat diberi kesempatan mengenyam pendidikan, segelintir kaum muda mulai terbangun karakter dan mental perjuangannya. Mendapatkan pendidikan Belanda, tidak membuat mereka menjadi jongos Belanda. Justru sebaliknya, mereka sadar bahwa masyarakat pribumi telah dihisap dan ditindas oleh penjajah sejak sekian lama. Selama kesadaran itu belum muncul, mental sebagai bangsa terjajah atau jongos bangsa kulit putih masih melekat kuat dalam alam bawah sadar masyarakat Indonesia kala itu. Sifat mental terhina dan terjajah itu bernama mental inlander.

Hinaan kaum penjajah kepada penduduk pribumi dilakukan secara bertubi-tubi dan terus menerus. Saya membaca tulisan guru besar Universitas Indonesia Prof. Achmad Fedyani Saifuddin yang menceritakan tentang perlakuan Belanda yang membentuk mental inlander masyarakat pribumi. Ada sebuah foto keluarga Belanda bertuliskan “Keluarga Bahagia” yang di dalamnya terdapat suami-istri (Belanda) duduk di kursi bersama kedua anaknya, sementara seorang perempuan pribumi duduk di lantai bersama seokor anjing. Cara yang lebih masif, di setiap toko dan fasilitas umum milik Belanda bertuliskan, “Anjing dan Inlander Dilarang Masuk.”

Sutan Sjahrir pernah bercerita tentang pengalamannya bersama Bung Hatta saat dievakuasi oleh tentara Belanda sewaktu tentara Jepang mulai mendarat untuk menaklukkan pasukan Belanda dan Amerika di Maluku. Menggunakan pesawat Catalina milik Angakatan Laut Amerika, mereka mendarat di Surabaya dalam kondisi gelap dan hujan lebat. Lima prajurit marinir Belanda menyambut Hatta, Sjahrir dan dua anak angkatnya dengan bentakan dan perintah yang diucapkan sangat kasar. Mereka diminta untuk membawa sendiri barang-barang mereka yang sangat banyak itu dengan berjalan secara berbaris. Seorang pilot Amerika yang merasa iba dengan kondisi mereka, bertanya kepada sersan mayor Belanda mengapa para marinir yang kekar itu tidak bisa membantu Sjahrir dan Hatta karena tidak mungkin seorang bayi dan anak kecil usia tiga tahun membawa barang mereka sendiri. Namun, bintara Belanda itu dengan kasar menjawab bahwa begitulah caranya dan tidak ada cara lain.

Apa yang dilakukan oleh penjajah Belanda terhadap bangsa pribumi memang di luar batas kemanusiaan, sekalipun pada saat kebijakan politik etis yang dijalankan oleh Ratu Wilhelmina di tanah Hindia Belanda. Kebijakan politik etis bukan merupakan niat tulus mencerdaskan masyarakat yang dijajah, melainkan hanya dilakukan sekedarnya untuk menjaga harga diri dari kecaman negara-negara lain. Maka, isu pendidikan adalah senjata bagi Bung Karno dan para pejuang kemerdekaan melakukan propaganda meminta dukungan dunia internasional untuk melawan penjajahan Belanda.

Tahun 1940, media massa internasional gencar memberitakan soal penindasan dan angka buta huruf di Indonesia sebagai yang terbesar di seluruh dunia akibat penjajahan Belanda selama 300 tahun. Publik dunia mulai menyadari tentang gelapnya kolonialisme Belanda yang selama ini mengampanyekan pendidikan sebagai jalan bagi Hindia Belanda untuk menyiapkan pemerintahan sendiri.

Pendidikan menjadi jalan satu-satunya bagi pembentukan sifat mental dan kesadaran untuk hidup merdeka. Mental terjajah lahir dari ketidaksadaran atas kondisi keterjajahan dan kesadaran itu lahir dari pendidikan. Keluhuran budi pekerti, kehalusan watak dan kebaikan perangai tidak menjadi modal bagi tercapainya kemerdekaan atau kemajuan suatu bangsa jika tidak lahir kesadaran.

Menurut laporan seorang perwira Amerika yang melukiskan tentang para pekerja pribumi di perkebunan Belanda pada tahun 1931 menulis (dalam buku 50 Tahun Amerika Serikat-Indonesia): “Kuli orang-orang Jawa mempunyai sifat damai. Dalam beberapa hal ia seperti anak-anak, tanpa beban dan tanpa menyiapkan sesuatu untuk masa depan. Selama ia diperlakukan dengan baik dan bersahabat dengan kawan-kawannya, ia tidak mempunyai keinginan meninggalkan perkebunan dan hidup di tempat lain. Sama seperti seorang anak, pikiran bahwa nanti akan ada hukuman, menyebabkan ia terus bekerja sewaktu ia sendiri sebenarnya ingin santai.”

Buku yang disusun oleh Paul F. Gardner itu menyebutkan laporan intelejen prajurit Angkatan Laut AS: “Saya harus berkata bahwa sikap umum kaum pribumi terhadap orang Belanda ialah kepatuhan oriental dengan menahan nafsunya. Mereka tidak tahu cara lain dan tidak pernah belajar bahwa mungkin ada cara lain. Massa di sini selalu ditindas oleh penguasa-penguasa sebangsanya sendiri dan itu masih berlangsung dalam hal tertentu… Hak-hak dan kebebasan pribadi kecuali secara sangat terbatas, di luar jangkauan petani.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun