Mohon tunggu...
Muhammad Choirur Rokhim
Muhammad Choirur Rokhim Mohon Tunggu... -

memberikan apa yang saya bisa, berjuang demi sesuatu hak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Antara Menulis dan Tradisi Intelektual

9 Maret 2015   23:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:55 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kegiatan menulis bukan demi tujuan eksis maupun narsis, tidak ingin tenar, apalagi terkenal. Juga bukan karena bayaran, alias “malaikatan”. Menulis hanya menyuarakan isi hati,” pepatah bijak epistoholic.

Pada dasarnya menulis bukanlah sekedar kemampuan dalam menuliskan ulang bentuk-bentuk huruf ke dalam lembaran kertas putih. Melainkan lebih pada kemampuan dalam mengomunikasikan sebuah ide atau gagasan kepada orang lain melalui bentuk tulisan. Sebuah ide atau gagasan biasanya hadir tanpa harus diundang. Ia selalu menghampiri di mana saja, dan kapan saja. Tidak dipungkiri, ketika kita sedang dalam perjalanan, ide gagasan tersebut mengambang dalam otak dan pikiran. Kalau pun tidak kita ikat dengan tulisan, dan menuliskannya, maka gagasan itu tak hayal akan hilang ditelan angin, atau waktu. Jelas suatu kerugian yang sangat bernilai.

Sedemikian penting kegiatan menulis itu bagi kehidupan saya, Anda, dan kita semua. Kalau pun Anda orang yang sukses, akan tetapi tidak pernah menulis dan tidak ada yang menuliskan kesuksesan Anda, maka kesuksesan tersebuthanya miliki Anda dan keluarga Anda sendiri. Barangkali benar apa yang disampaikan oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Begitulah setidaknya bahwa “menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Karena abadi , maka ia hidup dalam jangka panjang. Hingga penulis Helvy Tiana Rosa mengatakan “ketika sebuah karya selesai ditulis, maka pengarang tak mati. Ia baru saja memperpanjang umurnya lagi”. Wawan Susetya dalam bukunya yang berjudul “Menulis Dengan Hati, Menulis Merdeka; Bekerja Untuk Keabadian (2014)” menilai bahwa—menulis—misalnya, jika buah tangan tulisan kita adalah bermuatan tentang ilmu yang bermanfaat, tentu ia akan termasuk salah satu yang dikatakan oleh Baginda Nabi Muhammad Saw., mengenai tiga hal yang tidak akan putus meskipun orang yang bersangkutan meninggal dunia, yaitu, amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak sholeh. Sepanjang buku karya tersebut terus dibaca banyak orang dan memberikan kemasalahatan bagi masyarakat luas, niscaya pahalanya akan terus mengalir kepada si penulisnya, meski yang bersangkutan telah wafat sekalipun.

Oleh karena itu, orang yang mau dan mampu menulis, bisa dikaitkan dengan tradisi intelektual yang baik. Secara implisit mahasiswa—bahkan civitas academica—memiliki kedekatan tradisi intelektual yang tinggi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia intelektual memiliki arti seorang cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan atau disebut juga cendikiawan. Terkait pengertian intelektual Prof. Jalaluddin Rakhmat (1992), atau lebih sering disapa Kang Jalal, menjelaskan bahwa kaum intelektual bukanlah sarjana yang hanya menunjukkan kelompok orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana. Mereka juga bukan sekedar ilmuwan yang mendalami dan mengembangkan ilmu dengan penalaran dan penelitian. Mereka adalah kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami setia orang, mencarikan strategi dan alternatif pemecehan masalah.

Kita pasti mengenal Presiden pertama, yakni Soekarno, KH. Abdurrahman Wahid, Soe Hok Gie, Rhenald Kasali, dan masih banyak lagi, merupakan dari kalangan mahasiswa di masanya. Ia dengan ikhlas bergelut dengan buku-buku bacaan semasa hidupnya serta bergelut dengan realitas kehidupan.

Maka tak aneh, jika orang seperti Bung karno, Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid)—mantan Presidem RI dan mantan Ketua Umum PBNU—disebut seorang ‘kutu buku’. Sangking keranjingannya terhadap buku. Ia melahapnya buku-buku tersebut hingga ia harus menyuap petugas perpustakaan kampus, agar setiap malam bisa membaca dan melahap tumpukan buku-buku tersebut. Dan karena itu, waktu studi di Baghdad, Gus Dur menyampaikan kelakar yang nyaris menjadi fatwa: “adalah bodoh, orang yang mau meminjamkan bukunya, dan lebih bodoh lagi, orang yang meminjam buku lalu mengembalikannya.”

Kegiatan membaca dan menulis memang tidak bisa dipisahkan di kalangan mahasiswa, dosen, atau pun sarjanawan(ti). Karena mereka memiliki tradisi intelektual semasa penggodokan di kawah candradimuka, yang disebut perguruan tinggi itu. Digadang-gadang sebagai agen perubahan (agent of change), mahasiswa dan seluruh civitas akademik mempunyai semangat dan memiliki kepercayaanuntuk memajukan bangsa dengan ilmu dan pengetahuan yang didapat. Maka marilah menulis sesuai yang kita kuasai dan kita sukai. Dan perdalamlah skiil menulis tersebut dengan menyelami aksara dengan membaca. Meminjam istilah Rhenald Kasali, jadilah Self Driving untuk menjadi besar karena menulis. Karena “Orang yang paling bahagia adalah orang menulis.” dan “Orang besar adalah yang menulis atau ditulis.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun