Mohon tunggu...
Muhammad Burniat
Muhammad Burniat Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa filsafat dengan hobi menulis, jalan-jalan dan aktivitas sosial. Menulis adalah cara saya untuk hidup dan berbagi. E-mail: muhammadburniat@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ajarkanlah Anak Lelaki Untuk Merantau

18 September 2016   14:06 Diperbarui: 18 September 2016   14:14 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. https://2.bp.blogspot.com

Orang pandai dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah , kau akan mendapatkan pengganti dari kerabat dan kawan__Imam Syafi’i

Sebagai anak lelaki pertama, tentu tidak mudah meninggalkan keluarga, apalagi dengan posisi saya yang belum berpenghasilan tetap, malah sekarang masih berstatus mahasiswa.

Sementara di samping itu, saya juga punya tanggung jawab besar untuk keluarga setelah ayah tidak bersama lagi. Jujur, saya tidak bisa berbuat apa-apa, sebab takdir Tuhan berbicara demikian. Untuk itu, saya pun berusaha mengejar apa yang mesti saya lakukan agar kehidupan menjadi lebih baik di masa mendatang. Tidak bisa dielakan memang, kadang masalah-masalah keluarga yang ada membuat saya tidak konsen menjalani pendidikan. Tetapi itu lah tantangan yang mesti saya hadapi dan akan menjadi pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan.

Menjadi anak lelaki pertama beban cukup berat, selain sebagai pengganti sosok ayah, tentu perubahan sangat diharapkan datang dari anak lelaki. Kalau perempuan pada akhirnya mereka harus ikut dengan sang suami, tidak terlalu banyak bisa membantu. Di samping keuangan berasal dari suami, ia pun juga harus fokus dengan kehidupannya sendiri. Sedangkan lelaki, ia punya otoritas besar akan dikemanakan uang, selama itu bisa dibagi sesuai dengan kebutuhan. Kemudian, ia juga tidak terikat dengan kemauan istri apalagi soal keinginanya membantu keluarga, kecuali kalau suaminya takut istri.

Empat tahun sudah saya putuskan untuk merantau ke Jakarta. Entah mengapa feelingsaya begitu kuat kalau nanti bisa meraih kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Meski tidak memiliki sanak saudara, namun saya begitu bahagia bisa merasakan kehidupan kota besar.

Di Jakarta kebetulan saya mendapatkan beasiswa penuh dari salah satu universitas Islam, dan merasakan kebersamaan bersama berbagai anak dari pelosok negeri. Itu lah salah satu yang menjadikan saya betah dan bahkan giat mengarungi kehidupan kota besar yang penuh dengan serba-serbi panorama. Semakin jauh saya melangkah, semakin saya menemukan banyak hal yang tidak terduga. Semakin banyak saya bergerak, semakin saya pun tahu akan kemana saya tujukan hidup ini.

Mengapa harus merantau?

Merantau memang memberikan dampak yang begitu besar bagi hidup seserang. Berbicara kemandirian tentu sudah pasti, namun di balik itu ada yang penting lagi yakni mengasah nilai-nilai spritual kita sebagai manusia. Saya menyadari betul hidup dengan sendirin begitu berat, kadang ketika masalah menerpa dan tidak ada tempat mengadu, tiba-tiba Tangan Tuhan datang membantu dari hamba-Nya.

Semakin saya bersemangat pula, semakin banyak saya menemukan keajaiban-keajaiban yang terduga. Mungkin ini adalah hasil dari usaha dan impian besar saya untuk terus melangkah kaki di bumi Tuhan tersebut. Kuncinya memang jangan pernah putus asa, apalagi sampai mencela Tuhan terhadap berbagai masalah. Saya sangat meyakini bahwa Tuhan itu tidak pernah menyengsarakan umat-Nya, kecuali untuk menguci kekuatan dan memberikan apresiasi berdasarkan ujiannya itu. Jadi, semakin besar ujiannya kita, semakin besar pula kesempatan kita mendapatkan sesuatu dari Tuhan.

Terlahir dari keluarga yang tidak berkecukupan menuntut saya harus mampu memposisikan diri. Saya juga harus banyak menutup mulut agar keluarga di seberang sana tidak merasa khawatir dengan keadaan saya. Kalau merengek minta uang tentu sudah pasti tidak akan pernah bisa dilakukan, sebab itu adalah tanggung jawab saya sendiri, begitu keadaan kalau sudah menyandang status “perantau.” Anak lelaki yang merantau memang dituntut kreatif dan cerdas, istilahnya harus bisa survive. Kalau kita pernah dengar mahasiswa yang jual koran, mengajar, dan sebagainya, maka begitu cara mereka mandiri dan belajar. Nah tentu hal-hal ini tidak akan didapatkan bagi anak-anak manja.

Walaupun saya merasakan banyak tidak enaknya di perantauan, namun saya begitu bangga saat ini dengan pencapaian-pencapaian yang diraih. Saya sudah tidak cengeng lagi, bahkan kebal dihantam berbagai masalah; keuangan, kerinduan, teman, dan lain sebagainya. Dipikiran ini hanya tertantam kalau sudah merantau harus sukses, apapun alasannya. Kadang saya mengejek diri sendiri “malu juga sudah merantau, eh tahu-nya sama aja. Mending diam di kampung dan berbuat sesuatu yang terbaik buat orang di tanah kelahiran. ” Pikiran itu kadang menjadi rambu-rambu saya tiap kali melangkah. Bukan saya takut akan kegagalan, hanya saja mencoba berhati-hati dan harus mampu membawa perubahan besar bagi diri sendiri maupun keluarga disana.

Anak lelaki memang sudah sepatutnya diberikan pengajaran hidup di dunia nyata. Memanjakan akan membuat anak menjadi lemah, terutama dalam memutuskan sebuah perkara. Hal ini dikarenakan tidak adanya kesempatan mengeksplor diri, berinteraksi dengan dunia luar seorang diri, pada akhirnya segala keputusan dilimpahkan kepada orang tua semua.

Banyak anak-anak masa sekarang yang kita bisa temui ketika sebuah perkara harus jatuh di tangan orang tua dan ia pun akhirnya tak mampu menerima. Maka dari itu, memberikan pengajaran hidup kepada anak tentang arti kemandirian, tentu akan memberikan prubahan besar, terutama kualitas diri. Kalau punya anak laki-laki tidak perlu khawatir, sebab saya selalu percaya kalau lelaki itu memang ditakdirkan sebagai petualang. Tidak akan ada yang menimpa dirinya selama berjalan luru dan penuh kebaikan, kecuali perempuan yang memang rentan menjadi korban para lelaki.

Hal yang patut diperhitungkan sebagai orang tua adalah semakin memanjakan anak, semakin kita mendapati kebergantungan anak kepada orang tua. Banyak kasus di tengah kehidupan kita dimana anak tetap menjadi tanggung jawab keluarga setelah menyandang status rumah tangga. Menurut saya pribadi, hal ini tidak lain dan tidak bukan karena sikap kita terlalu memanjakan anak.

Akan tetapi memang segala sesuatu diikembalikan kepada pribadi masing-masing. Yang jelas, memberikan kesempatan anak untuk mengarungi hidup dengan  penuh tantangan akan menjadikan anak yang kita harapkan. Bisa kita lihat perbedaan anak yang hidup dengan penuh tantangan dengan yang tidak, bagaimana ia dalam keseharian dan sosialnya akan kentara di mata orang lain. Sebab hidup ini bukan berbicara nyaman dan tidak nyaman saja, namun harus ingat kalau kita juga diwajibkan hidup bersama dengan orang lain. Dan satu hal yang selalu disampaikan orang besar bahwa kita memang harus keluar dari zona nyaman agar tercipta menjadi orang-orang berkualitas.

*Perantau dari negeri Sebrang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun