Mohon tunggu...
Muhammad Burniat
Muhammad Burniat Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa filsafat dengan hobi menulis, jalan-jalan dan aktivitas sosial. Menulis adalah cara saya untuk hidup dan berbagi. E-mail: muhammadburniat@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Musik di Era Digital: Marak MP3 Gratisan Membuat Kualitas Musik di Negeri Jadi Korban

3 April 2015   19:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:35 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_376503" align="aligncenter" width="560" caption="Dok. Pribadi"][/caption]

Erick Harvey menulis sebuah esai berjudul The Social History of MP3 di Pitchfork mengatakan bahwa inovasi produk musik dalam MP3 akan membuat masyarakat memproduksi dan mendistribusikan produk kebudayaan tersebut secara lebih bebas sehingga mampu mendapatkan para penikmatnya secara global. Selain itu, dengan adanya MP3 ini yang didorong oleh perkembangan internet akan meningkatkan kapasitas musik dalam jangkauan dunia sehingga akan memudahkan untuk berkolaborasi, memproduksi serta membentuk organisasi. Wadah jejaring sosial internet seperti MySpace, Youtube, Blogspot, dan sejenisnya juga akan membuat kaya referensi musik sehingga bisa dinikmati oleh  seluruh masyarakat di berbagai belahan dunia.

Harvey juga menambahkan bahwa selain dampak positif yang di atas, ia pun mengatakan bahwa ada dampak buruk atas penyebaran gratisan musik digital bagi industri musik, terkhusus bagi pihak yang masih mengandalkan produk musik dalam bentuk fisik. Di Amerika, penyebaran produk MP3 di Internet mengancam kapitalisme konvesional industri musik dan apalagi bagi yang independen. Penyebaran masif MP3 tersebut mereduksi fungsi pihak-pihak perantara dalam industri musik konvesional seperti; toko-toko produk musik fisik, media musik cetak, dan tempat-tempat distribusi musik independen dan radio.

Setelah membaca tulisan Erick Harvey di atas, muncul pertanyaan saya dan mungkin juga anda, sejauh ini, bagaimana perkembangan musik di tanah air? Dan bagaimana para musikus menyikapi dengan adanya era musik digital? Dan seperti yang disebutkan oleh Erick Harvey terkait dampak negatifnya, apakah ini juga berlaku di Indonesia dan bagaimana menyikapinya? Nah, dalam tulisan ini saya akan berbagi pengetahun terkait musik di era digital setelah beberapa hari yang lalu mengikuti sebuah kegiatan Kompasiana Ngulik MeetTheLAbles (27/3/15), bereng salah satu Band jebolan MTL 2013. Siapa mereka?

Mereka adalah Rigby. Salah satu band jebolan ajang Meet The Label 2013 yang berada di bawah asuhan Universal Musik Indonesia. Setelah berhasil menjadi juara, mengikuti rekan-rekan seperjuangannya; Rega, OneRoom dan Dissa, Rigby pun akhirnya bisa merasakan hal yang sama untuk mencicipi dunia musik sesungguhnya. Dengan lima personil, Dika (Vokalis), Rio (Bass), Lian (Keyboard), Andy (Drum) dan Teddy (Gitaris), melalui single hits-nya “Tuhan Jangan Lama-Lama” berhasil menggebrak dunia pasar musik kita. Lagu yang dirilis sejak Februari itu mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat Indonesia.

Rigby yang terinspirasi dari salah satu band musik tanah air, ternyata juga ikut mempengaruhi warna bermusik mereka. Sebut saja Sheila on7. Ya, berangkat dari kesukaan mereka terhadap band papan atas itu—ketika saya menyaksikan penampilan mereka di acara kompasiana ngulik—keduanya memiliki kemiripan, terlebih lagi untuk warna suara sang vokalis (Dika). Selain itu, mereka pun juga mengakui bahwa ketika tampil dalam acara-acara musik, mereka acap kali meng-cover lagu miliknya Sheila on7 untuk menghibur para fansnya. Akan tetapi, Walaupun mereka memiliki kemiripan dengan band yang lebih dulu mengisi belantika musik tanah air, Rigby tetap memiliki ciri khas yang berbeda. Seperti pepatah lama “Rambut boleh saja sama hitam, tapi di luar itu semua tetap berbeda.” Saya rasa hal ini pun bisa kita sandarkan kepada Rigby yang diakui banyak orang memiliki kesamaan dengan Sheila on7. Meskipun begitu Rigby tetaplah Rigby, bukan Sheila on7.

Era digital di mata Rigby dan Universal Musik Indonesia

Rigby adalah salah satu aktor musik yang terjaring dalam era musik digital. Dimana mereka memiliki cerita menarik yang bisa menjadi pelajaran kita saat ini. Apalagi keberadaan musik dari kalangan anak muda terus mengalir semenjak terbukannya lapak-lapak studio musik dan internet dimana-mana. Tak bisa dipungkiri, hal ini mempengaruhi segala aktivitas kita, salah satunya hal yang berbau dunia musik.

Dari cerita Rigby, semua aktor musik di era digital mendapatkan banyak kemudahan dalam melakoni dunia bermusik. Dengan tersedia beragam fisilitas di Internet seperti; Youtube, MySpace, SoundCloud dan platform perangkat musik digital lainnya, mereka pun dengan sigap memanfaatkan fisilitas yang sudah disediakan oleh Internet tersebut. Mencari referensi musik, membuat demo lagu, menyebarkan video klip dan sebagainya menjadi salah satu keuntungan yang tidak akan mereka lewatkan. Dari sini pula mereka pun  bisa melahirkan arus ide yang tiada ada hentinya bagi para penggemarnya.

Selain yang disebutkan di atas, menurut saya hidup di masa sekarang membuat orang-orang yang hendak mencoba menyalurkan bakat bermusiknya terbilang sangat mudah, salah satunya dalam melakukan proses latihan dan rekaman. Sudah banyak studio-studio musik yang beredar, memberikan sarana dan fasilitas yang lumayan mendukung. Tentunya berbeda dari era dulu dan sekarang, seseorang tidak perlu mengantri lama-lama hanya untuk menyalurkan hasrat bernyanyinya. Setelah berhasil melakukan rekaman, mungkin kita pun bisa mencoba peruntungan seperti yang sudah dilakukan oleh band-band sebelumnya—Rigby, Dissa, OneRoom, dan Rega—mengirimkan hasil rekaman ke pihak-pihak label yang kita tahu. Ya, siapa tahu saja ada yang kepincut dengan suara dan skill bermusik para personil yang bersangkutan.

Di zaman yang serba digital ini, soal promosi bukan sesuatu yang sangat sulit dilakukan. Keberadaan media cetak dan elektronik sudah menjamur dimana-mana. Masyarakat pun sudah terbuai dengan sajian-sajian yang ada di Televisi. Tak heran bahkan banyak masyarakat dari kalangan menengah ke bawah hingga atas, menghabiskan waktu-waktu mereka di depan layar kaca.

Menurut Bang Imam, personil dari label Universal Musik Indonesia mengatakan, keberadaan televisi dan radio sangat membantu para musisi. Lebih-lebih lagi bicara soal radio. Radio merupakan media yang paling setia dari dulu hingga kini menemani karya para musisi. Walaupun sifatnya tidak visual seperti televisi, tetapi radio menjadi tambatan yang tepat untuk menunjukan keberadaan musik-musik berkualitas di negeri sendiri. Mengapa? Dibanding televisi, radio benar-benar menyediakan peluang besar bagi industri musik untuk mempromosikan karya para musikus. Nah, beda lagi dengan televisi, walau juga ikut memberikan kesempatan dalam promosi lagu, tetapi hanya sedikit sekali televisi yang benar-benar memberikan peluang besar bagi penggiat musik untuk beradu keberutungan. Jauh sekali dengan radio yang notebene memberikan sajian musik yang bisa dinikmati dimana saja pun kita berada dan bisa dimanfaatkan dengan leluasa.

Soal radio dan teleivisi mungkin itu bagi yang memiliki fisiltas kurang memadai. Berbeda lagi dengan masyarakat menengah ke atas, dengan fasilitas handphone yang sudah mendukung, tak hayal kalau mereka pun bisa menikmati musik dengan beragam variasi setiap harinya. Entah itu di-download, atau hanya ditonton saja, istilah sekarang video streaming.

Pembajakan, kejahatan no. 1

Setelah mendapatakan informasi mengenai dampak positif yang dirasakan oleh Rigby di atas, tiba berikutnya kita melihat dampak negatif dari era digital. Dan bagaimana pihak label maupun para aktor musik menyikapi hal ini? Segala sesuatu pasti memilik lawan; baik-buruk, besar-kecil, naik-turun dan negatif-positif. Begitu juga yang terjadi dalam dunia musik. Dan bahkan seluruh aspek kehidupan pun berlaku hal yang sama. Era digital ternyata tidak membuat kita hanya duduk diam dan menikmati kejayaan masanya. Ada banyak peristiwa yang dapat kita lihat, dengarkan dan rasakan. Semua itu butuh perhatian lebih. Musik dalam hal ini pun terjebak dalam msalah dunia perbajakan. Nahas, setiap harinya memberikan peluang besar bagi pelaku-pelaku pembajakan untuk meraup keuntungan lebih. Jalan pintas yang dianggap pantas pun kerap ditempuh, tanpa memmpertimbangkan sebab-akibatnya. Padahal kalau ditelusur lebih jauh, ada banyak orng yang sudah dirugikan.

Siapa yang dirugikan itu? Yang pasti mereka adalah orang-orang  yang sudah susah payah memberikan hiburan untuk kita semua, para pendengar dan penikmat musik. Dari setiap tindakan pembajakan itu, mulai dari penyanyi, label dan pihak-pihak yang bekerja di dunia musik pun mengalami kerugian. Kadang masalah finasial menjadi sorotan yang mesti mereka pikirkan dengan hati-hati. Bahkan mungkin pernah terdengar oleh kita ada yang harus mengarahkan pada jalan lain untuk mencari nafkah gara-gara masalah dalam dunia yang mereka geluti. Pembajakan memang menjadi masalah yang sangat sulit untuk diselesaikan, bahkan sekali pun dihancurkan tidak akan mengubah apa-apa. Berbagai peraturan dan hukuman pun dibuat untuk membatasi pergerekan para pembajak. Hasilnya pun bisa saya katakan belum maksimal.

Musik-musik dalam bentuk digital yang kita nikmati pun masa sekarang tidak lagi menghargai para pembuatnya. Satu orang yang awalnya mendapatkan hasil yang tidak orisinil, kemudian disebarluaskan mengalami estafet yang berkelanjutan hingga membuat beberapa kali kerugian menghantam para pihak yang berkecimpung dalam dunia musik. Bahkan menurut Bang Iman, mereka pun harus saling bahu-membahu di antara para label dan artis untuk membeli karya mereka. “Ya kalau bukan kita yang menghargai karya mereka, siapa lagi” ujar bang Iman.

Pembajakan di era digital  merupakan ancaman besar musisi. Dimana para pelaku tidak perlu lagi membuka lapak-lapak mereka di jalanan atau di tempat-tempat terbuka agar jualannya laku. Era yang sudah mengubah bentuk fisik menjadi digital membuat pelaku punya cara lain pula yang tanpa disadari adalah tindakan pembajakan. Salah satunya adalah dengan keberadaan MP3 gratisan yang sudah menjamur di kehidupan kita sekarang.

Sebagai mahasiswa, musik menjadi sebuah kebutuhan yang menemani saya ketika suntuk dan menumpuknya tugas yang diberikan dosen. Tak jarang, ketika membuat tugas, atau hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas saya pun, musik kerap menjadi pendukung sekaligus pengobat kesibukan saya. sehingga saya tidak bisa melepaskan dari kebutuhan yang satu ini. Entah itu ketika saya di kampus, di mobil, di jalan, sedang membaca buku dan sebagainya.  Nah, untuk mendapatkan musik-musik yang terbaru dan sedang mem-booming di hati masyarakat, biasanya saya akan mencari lagu-lagu baru itu di Internet dengan mendowload MP3 gratisan yang sudah disediakan pastinya.

Karena terlalu suka dengan musik, saya pun melewatkan sesuatu yang sebetulnya tidak mencerminkan diri saya sebagai mahasiswa. Setelah mengikuti kegiatan “Kompasiana Ngulik” berbicara tentang musik di era digital, saya sadar ada sebuah kebiasaan yang saya biasa lakukan dan mungkin bagi yang lainnya juga. Saya menyangka awalnya hal itu adalah sebuah tindakan yang biasa saja; tidak mengundang kerugian dan dampak bagi siapapun dan apapun, namun ternyata salah. Apa yang saya lakukan adalah sebuah tindakan yang salah dan mesti dicermati ulang. Ya, keberadaan MP3 yang menyebar di Internet dan begitu sangat mudah kita dapatkan, ternyata membuat sebagian orang merasa dirugikan. Hal ini pun juga dapat menurunkan kualitas musik yang sedang berkembang. Namun di balik itu pula terisisp cerminan tindakan prilaku manusia Indonesia. Oleh sebab itu, kita dituntut untuk cerdas memilih mana yang benar-benar orisinil dan berbayar yang intinya untuk menghargai karya musisi, dan mana yang tidak.

Bagaimana menyikapi tindakan pembajakan?

Seperti yang sudah saya katakan bahwa pembajakan merupakan salah satu masalah besar di tanah air. Dan bahkan untuk menuntaskannya pun tidak cukup dalam tindakan yang kecil. Beragam aturan dan hukum sudah dibuat, tetap saja membuat pelakunya bermunculan. Ini menjadi PR kita semua, bukan hanya para musisi dan para aparat pemrintah saja.

Dengan adanya aturan baru pemerintah soal pembajakan, paling tida membuat sedikit napas lega bisa terhempus dari balik paru-paru para musikus. Aksi-aksi para jalang pembajakan bisa sedikit dibuat kucar-kacir apabila ketahuan. Yang menjadi PR besar saat ini pula adalah bagaimana semua rakya Indonesia menyatukan persepsi untuk membrantas tindakan pelanggaran tersebut.

Menurut Bang Imam, saat ini yang bisa dilakukan olehnya dan para pihak lain yang berkecimpung dalam dunia musik adalah menyuarakan anti pembajakan yakni dari satu mulut ke mulut lain. Memberikan edukasi kepada masyarakat akan pentingnya menghargai sebuah keorisinalan sebuah karya adalah jalan alternatif yang bisa ditempuh. Karena masyarakat menjadi orang-orang terdekat yang menerima karya musik yang ada yang sudah diedarkan di pasaran. Orang yang nantinya menjadi penentu atau hakim bagaimana cerita selanjutnya dari apa yang sudah anak bangsa kerjakan.

Selain itu, bang Imam juga berceita kalau mereka sudah bekerja sama dengan iTunes. Langkah ini dilakukan untuk menjual karya para musisi dalam bentuk orisinil.  Cara ini dianggap bisa menjadi sebuah jembatan untuk mengurangi pembajakan. Hanya saja tambah Bang Imam memang masih menemui kendala, soal pengguna kartu kredit yang tidak dimiliki setiap orang. Dimana hanya orang-orang tertentu saja yang memilikinya, sehingga pihak label dan segenap pihak lain akan mencari terobosan baru lagi untuk soal ini.

Keberadaan RBT juga membantu mempromosikan karya para penyanyi yang nilainya juga bersifat orisinil. Tapi sayang, untuk yang satu ini, menurut Bang Iman tidak terlalu menjamin lagi seperti dulu. Dimana masyarakat sudah bisa mendengarkan lagu secara langsung yang berbentuk MP3 atau sebagainya. Namun menurut bang Imam, untuk yang satu ini juga nantinya akan dipikirkan lagi oleh pihak label bagaimana terobosan ini bisa mengalami variasi baru dan tetap bisa menjadi salah satu cara menggalang penghargaan terhadap karya para musisi.

Setelah menyantap hidangan informasi yang disampaikan oleh Bang Iman dan Rigby sendiri, Sebetulnya timbul pertanyaan akhir yang muncul dari diri saya.  Adalah bagaimana kita mesti bertindak? Jawabnya adalah kembali kepada pribadi masing-masing lagi. Pihak-pihak yang bersangkutan sudah banyak melakukan cara untuk membuat kualitas musik Indonesia tetap terjaga. Tapi sayang oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab masih saja tidak jera dan tidak pantang menyerah.

Dalam hal ini juga berangkat dari respon masyarakat memang masing lemah. Terbuai dengan hal-hal yang murah dan praktis adalah pola pikir yang mesti disadarkan. Oleh karena itu seharusnya kita mesti memperhatikan setiap apa yang kita lakukan. Soal donwload musik bajakan di internet, sebetulnya kita mesti paham mana yang memang sifatnya berbayar dan mana yang tidak. Mana yang memang memberikan penghargaan kepada musisi dan mana yang tidak. Intinya adalah bagaimana kita harus bekerja sama antar satu dan yang lain.

Hal yang patut anda bayangkan adalah bagaimana jika itu posisi anda. Ya, bayangkan kerugian dan masalah besar yang akan dihadapi hingga akhirnya membuat kehidupan anda banyak masalah. Oleh sebab itu, mari kita berusaha untuk menelurkan kebaikan dalam setiap tindakan. Salah satunya menghargai jasa para musisi tanah air.

Dari penyampaian saya, mungkin anda bisa menyimpulkan sendiri bagaimana kualitas musik di tanah air kita. Kualitas itu sangat terlihat ketika para penikmatnya bisa melakukan tindakan lebih terhadap para penciptanya. Memberikan sebuah apreasiasi adalah sebuah kewajiban bagi kita sebagai penikmat karena sudah menikmati hasil keringat para musisi.

Jadi Katakan!

Anti Pembajakan!

Bunuh Pembajakan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun