Tumpukan buku yang jumlahnya ribuan, tersusun rapi di rak dan lemari perpustakaan sekolah. Ratusan di antara buku itu, mungkin tak pernah tersentuh pembaca. Masih mengkilat dan antara  satu dengan yang lainnya jika dipisahkan seperti ada perekatnya. Beberapa siswa yang masuk di perpustakaan hanya mengobrol saja dan tidak lebih dari dua orang siswa yang membaca buku. Petugas perpustakaannya hanya sering berteriak, "jangan ribuut!" kepada siswa yang ngobrol tadi.Â
Buku catatan pembaca dan peminjam perpustakaan telah lusuh, namun isinya hampir-hampir kosong. Aku mencari tahu jenis buku apa saja yang ada di perpustakaan sekolah itu. Satu demi satu aku perhatikan tampilan dan isi bukunya, hanya sedikit sekali yang menarik untuk dibaca. Lalu, bukunya ternyata lebih banyak buku paket sekolah, dan kalaupun bukan, buku-buku yang ribuan jumlahnya tadi perolehannya dari proyek pengadaan buku, yang langsung didrop ke sekolah.
Jangankan siswa, aku saja sebagai kepala sekolah enggan membaca buku-buku seperti yang ada di perpustakaan itu. Itu awal dari keprihatinanku melihat kondisi siswa-siswa SD Negeri 71 Parepare yang sangat jauh dari gemar membaca. SD Negeri 71 Parepare sebenarnya dari kondisi pisik perpustakaan sudah representative, namun aktivitas membaca siswanya yang hampir tidak ada. Berdasarkan pengamatan dan pemeriksaan tadi berkenaan dengan buku, aku simpulkan bahwa buku-buku yang ada di perpustakaan sekolah, tidak menarik untuk dibaca oleh siswa.Â
Buku-buku paket atau buku pelajaran serta buku-buku yang tebal dan semua lembarannya berisi tulisan, tentu bukan pilihan siswa untuk dibaca. Kalaupun siswa terlihat membaca buku tersebut dengan pengawasan guru, saat belajar atau tugas membaca di perpustakaan, itu hanya pisiknya saja. Sebenarnya, mereka tidak memahami apa yang dibacanya. Hal ini tentunya wajar, karena mereka membaca karena "dipaksa", bukan karena mereka memang mau membaca. Bagaimana bisa memahami apa yang dibacanya, mereka sebenarnya tak mau membaca.
Siswa Sekolah Dasar (SD) masih usia anak-anak. Kemampuan membaca dalam artian membaca kalimat yang satu dengan kalimat lainnya dalam satu wacana, baru saja dikuasainya. Kemampuan itulah yang menjadi modal utama untuk membaca yang sebenarnya. Membaca yang sebenarnya inilah sering diidentikkan dengan literasi dasar. Buku adalah gudang ilmu, dan membaca adalah kuncinya. Kata-kata bijak itu telah familiar didengar untuk menegaskan pentingnya membaca.Â
Awal memperkenalkan literasi dasar tadi kepada siswa SD tentu bukan dengan "paksaan". Termasuk membaca 15 menit dengan diawasi oleh guru dengan tujuan sekadar menjalankan program sekolah, tentu juga bukan merupakan solusi awal yang tepat. Lalu, bagaimana? Kembali kepada kesimpulan temuan awal, yakni buku-buku yang ada di perpustakaan sekolah tidak menarik siswa untuk membacanya.Â
Harus ada cara sehingga siswa dengan senang hati mau membaca. Jika sudah tidak ada lagi buku di perpustakaan sekolah yang menarik untuk dibaca oleh siswa, maka harus memasukkan buku baru. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana jika buku baru itu pun tidak menarik bagi siswa. Oleh karena itu, aku memutuskan agar sekolah memasukkan buku baru dari hasil pilihan siswa. Tercetuslah program yang aku diberi nama Pilih Buku.
Selama hampir dua tahun kegiatan Pilih Buku ini rutin dilaksanakan setiap bulan, hasilnya pelan tapi pasti sudah terlihat. Kegiatan ini berupa kunjungan ke toko buku.Â
Setiap bulannya petugas perpustakaan sekolah memilih 10 siswa untuk ikut kegiatan pilih buku ini. Siswa yang terpilih adalah siswa yang paling sering masuk membaca di perpustakaan sebulan itu. Kesepuluh siswa tersebut dengan mengendarai angkutan kota atau kendaraan orangtua siswa, pergi ke toko buku. Di toko buku, siswa memilih buku yang disukainya.Â
Siswa bebas memilih buku apa saja yang disukainya. Tentu masih ada batasnya, misalnya yang mengandung unsur pornografi dan unsur kekerasan, tentu tidak boleh. Selama pelaksanaan kegiatan Pilih Buku ini, belum pernah juga siswa memilih buku-buku seperti itu, semuanya memang buku khas anak-anak. Buku komik dan buku-buku yang isinya diselingi gambar adalah yang paling banyak dipilih siswa. Buku-buku yang dipilih siswa dikumpulkan selanjutnya dibeli dengan menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).Â
Rerata setiap kali pilih buku, dana yang dikeluarkan Rp. 500,000,-.Buku yang telah dipilih siswa dipinjamkan selama maksimal 10 hari kepada siswa yang memilih buku tersebutuntuk dibaca sampai tamat. Setelah selesai, buku dikembalikan ke perpustakaan untuk dipinjamkan kepada teman-teman siswa lainnya.
Program pilih buku ini, sungguh telah meningkatkan minat baca siswa SD Negeri 71 Parepare. Buku yang dipilih oleh siswa adalah buku yang disukainya, sudah barang tentu siswa yang bersangkutan akan senang membacanya. Kegiatan ini juga bernuansa rekreasi, maklum sekolah ini terletak di luar kota sehingga siswa akan sangat gembira jika diajak ke toko buku yang berada di pusat kota. Hal ini membuat siswa yang lain sangat ingin mengikuti kegiatan bulanan tersebut. Mereka pun beromba-lomba masuk ke perpustakaan untuk membaca, sehingga bisa terpilih mengikuti kegiatan pilih buku ini.
Pilih Buku ini memang membutuhkan dana dalam pelaksanaannya. Namun, hasil dari kegiatan ini sungguh sangat besar. Para siswa saat ini telah meningkat pesat yang gemar membaca. Penganggaran dari dana BOS pertriwulan sekitar Rp. 1.500.000,-. Hal ini tentu didukung oleh regulasi berupa Undang-undang No. 43 tentang Perpustakaan yang menekankan penganggaran untuk perpustakaan minimal 5% dari total anggaran. Kurangnya toko buku di Kota Parepare, sedikit membuat kegiatan ini terkendala. Toko buku yang ada dan semuanya telah dikunjungi adalah Toko Artis, Toko 1001, Arrayyan, dan Alfarabi. Ada toko buku yang telah berulang sampai 5 kali, sebagai objek Pilih Buku.
Dua tahun sudah Pilih Buku telah terlaksana. Ratusan buku tambahan bahan bacaan siswa sudah ada di perpustakaan Merah Putih SD Negeri 71 Parepare. Hari itu, seperti biasanya aku menyempatkan masuk  ke perpustakaan setiap minggunya. Jelas sekali perbedaan suasana perpustakaan dengan dua tahun lalu itu. Dua puluh sampai tiga puluhan siswa asyik membaca di perpustakaan.Â
Suasana itu sudah tampak beberapa minggu lalu. Tentu dan jelas sekali pengaruh dari kegiatan Pilih Buku itu. Pilihan-pilihan buku yang diminati siswa untuk dibaca sudah semakin banyak. Hebatnya lagi, ada kondisi dimana siswa "berebutan" meminjam buku-buku pilihan, hasil dari Pilih Buku tadi. Para siswa bahkan ada yang meminjam buku yang masih dipinjam siswa lainnya. Beberapa minggu yang lalu, melihat kondisi perpustakaan yang mulai "gaduh" karena antusias siswa membaca, maka aku pun bergerak cepat.Â
Perpustakaan Merah Putih dilengkapi dengan dua Air Conditioner (AC) agar siswa semakin nyaman di perpustakaan membaca. Petugas perpustakaan yang semakin sibuk mencatat buku pembaca dan peminjaman, difasilitasi dengan alat barcode. Hanya dengan mendekatkan alat barcode ke kartu perpustakaan siswa serta buku yang dibaca dan dipinjam, semuanya telah terekam di komputer.
Aku belum puas sebelum siswa-siswaku puas. "Kami senang membaca!!." Yah, aku mau mereka mengatakan itu, meski hanya tergambar dari raut wajahnya. Mendampingi kegiatan Pilih Buku, ada kegiatan Reading Tour. Siswa-siswa yang rajin membaca di perpustakaan dan teras baca, diajak ke tempat-tempat yang asyik. Semacam tempat rekreasi sederhana di Kota Parepare.Â
Sebulan sekali mereka pergi ke tempat-tempat itu, untuk membaca. Mereka memang telah membawa buku untuk dibaca di tempat itu. Senyum mulai merekah di wajah mereka. "Ternyata asyik juga kalau kita rajin membaca." Itulah yang terbaca diraut wajah mereka setelah pulang dari Reading Tour. Jika keduapuluh siswa yang ikut tadi menceritakan asyiknya membaca di tempat itu kepada 5 orang temannya, maka imbasnya akan dahsyat. Ada 100 siswa yang mendengar asyiknya Reading Tour itu. Setengahnya saja yang tertarik, maka ada 50 siswa mulai rajin membaca.
Usaha-usaha masif dalam gerakan literasi memang harus dilakukan. Kalau tidak, maka pengaruh-pengaruh masif yang menjauhkan generasi ini dengan budaya baca, akan melenggang sukses. Sudah bukan waktunya, sekolah hanya melihat pisik siswa membaca, lalu mengatakan budaya baca telah tertanam. Biarkan siswa mengatakan "Aku senang membaca, karena asyik." baik dengan mulut maupun hanya dengan raut wajah. Itulah keberhasilan yang sebenarnya. SEKIAN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H