Mohon tunggu...
Muh. Syukur Salman
Muh. Syukur Salman Mohon Tunggu... Guru -

Seorang Guru Sekolah Dasar di Parepare, Suawesi Selatan. Telah menerbitkan 6 buah buku dengan genre berbeda.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stop! Kekerasan pada Anak

28 Oktober 2014   14:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:28 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mengondisikan lingkungan sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat dewasa tentu tak akan sulit. Orang dewasalah yang membentuk dan mengatur sendiri lingkungan tersebut. Oleh karena itu, kondisi lingkungan yang mengarahkan masyarakat dewasa menjadi berprilaku negatif, jelas yang dipersalahkan adalah orang dewasa juga. Bagaimana dengan masyarakat anak-anak? Apakah jika kondisi lingkungan anak-anak yang mengakibatkan prilaku dan tindakan negatif  terjadi, maka anak-anak pula yang dipersalahkan? Tentu tidak!

Anak-anak Bukan Orang Dewasa Mini

Orang dewasa harus memahami hal ini. Arogansi dan monopoli terhadap pengondisian lingkungan yang dilakukan orang dewasa selama ini, sering melupakan anak-anak. Mereka (orang dewasa) seakan melihat anak-anak adalah orang dewasa yang berbentuk mini. Padahal, anak-anak adalah anak-anak. Satu bentuk masyarakat yang nyata dan beraktivitas serta memunyai “regulasi” sendiri. Masyarakat anak, juga berdiam dan saling berinteraksi pada lingkungan yang sama dengan orang dewasa. Pada titik inilah sering terjadi ketidakpedulian terhadap anak-anak.

Hampir semua lini kehidupan di lingkungan masyarakat hanya berpatokan pada kenyamanan orang dewasa. Sangat jarang memikirkan anak-anak yang menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dengan orang dewasa itu sendiri. Hal inilah yang sering berakibat sikap dan prilaku anak seakan bertindak layaknya orang dewasa. Orangtua sebagai salah satu bagian dari orang dewasa dan berkewajiban sebagai pembekal pertama dan utama pada anak-anak, juga sering melupakan fungsinya tersebut. Anak-anak diberi kebebasan untuk mengeskplorasi lingkungan yang nyata-nyata pengkondisiannya hanya untuk orang dewasa tersebut. Anak-anak dengan  bebasnya “browsing” di dunia maya dan pertelevisian. Tak ada panduan dan tuntunan dari orangtua. Pendampingan jarang dilakukan karena kealpaan orang dewasa bahwa anak-anak bukanlah orang dewasa mini.

Beberapa regulasi berkenaan dengan anak-anak memang telah diupayakan serta diberlakukan, namun kondisinya belum berubah, bahkan terkesan semakin runyam. Kasus kekerasan dan pelecehan anak yang terakhir terjadi di Bukit Tinggi dan Makassar jelas telah merupakan “bola salju.” Insiden-insiden semacam ini mungkin akan sering terjadi jika keadaan seprti saat ini tidak berubah. Orang dewasa yang terdiri dari orangtua, guru, pemerintah, ulama, akademisi, anggota parlemen, dan lainnya harus “bergerak” mengubah suasana yang hampir tak terkendali ini. Jika anak-anak itu dizinkan untuk meneriakkan kegelisahannya, maka mereka akan mengumpat semua stakeholder negeri ini yang tak memberi ruang terhadap anak-anak untuk berada pada lingkungannnya sendiri.

Kekerasan Anak adalah Kesalahan Orang Dewasa

Orang dewasa (orangtua, guru, pemerintah, dll) harus menunjuk diri jika kekerasan anak terjadi. Kekerasan yang selama ini di secara vulgar disaksikan langsung atau melalui media oleh anak di lingkungannya akan berdampak negative pada sikap dan prilaku anak. Anak adalah peniru handal, sehingga lingkungan yang dikondisikan sesuai dengan orang dewasa akan mudah ditirunya.

Orangtua dan guru sebagai orang dewasa yang paling dekat dengan anak-anak adalah yang paling bertanggungjawab terhadap kejadian kekerasan dan pelecehan yang terjadi pada anak. Orangtua harus kembali mengingat kodratnya sebagai orang dewasa yang diberikan amanah anak oleh Allah SWT. Tidak ada jalannya orangtua lepas tangan terhadap tanggungjawab untuk membentuk sikap, prilaku, dan karakter anak. Selama ini, masih banyak orangtua yang menuntut anak untuk mengerti orangtuanya tanpa memberikan ruang yang cukup sebagai bentuk tanggungjawab orangtua terhadap anak. Jelas pemerintah melalui regulasi terhadap siaran di media TV dan internet juga harus bertanggungjawab. Namun, pendampingan orangtua saat anak menikmati TV harus terus dilakukan. Arahan mendidik saat anak menonton TV sangat urgen dilakukan orangtua agar akibat buruk dari tontonan yang tidak mendidik dapat diantisipasi. Melarang anak menonton suatu acara TV juga kurang bijak dilakukan. Temani anak menonton apa kesukaannya selanjutnya berikan penjelasan saat menonton terhadap prilaku dan keadaan yang dilihat dalam tontonan tersebut. Harapnnya, dengan teknik mengarahkan, anak akan dengan sendirinya meninggalkan acara-acara TV yang tidak mendidik, seperti perkelahian smackdown, sinetron Manusia Harimau/serigala, acara kasih sayang anak SMP, dan masih banyak lainnya.

Guru dan atau sekolah juga harus mengantisipasi kekerasan dan pelecehan terhadap anak. Sekolah sebagai tempat pembinaan karakter, tentu sangat disayangkan jika tindak kekerasan anak terjadi di institusi tersebut. Kepedulian pihak sekolah, terutama guru terhadap prilaku siswa mungkin tak diragukan lagi. Hal yang saat ini penting dilakukan adalah meminimalisir atau bahkan menghilangkan keadaan atau aktivitas-aktivitas yang dapat menyulut terjadinya tindak kekerasan anak tersebut. Sekolah tidak boleh kosong saat anak-anak masih ada dalam kelas atau ruang lainnya. Tidak boleh ada ruangan di sekolah yang tidak terjangkau dari pengawasan.  Terakhir yang paling penting adalah guru harus menjadi teladan bagi anak-anak (siswa).

Kepedulian terhadap kondisi yang cukup mengkhawatirkan dengan semakin seringnya terjadi kekerasan dan pelecehan terhadap anak, haruslah didukung semua pihak. Pemerintah termasuk pemerintah daerah haruslah memastikan daerahnya steril dengan kejadian serupa. Oleh karena itu, tak salah jika pemerintah daerah mendorong daerahnya menjadi “ramah anak”. Ciptakan kondisi dan infrastruktut serta regulasi di daerah juga turut memikirkan anak-anak sebagai bagian siginifikan masyarakat daerah itu sendiri. SEKIAN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun