Membaca Perilaku Agresif
Oleh: Mukhlisin[*]
Fenomena Carok di Madura dan Klithih di Yogyakarta keduanya fenomena brutal. Carok dan Klithih persamaannya memakan korban. Carok melahirkan jagoan sementara Klithih melahirkan pengecut. Dilihat dari salurannya perilaku agresif melalui berkelahi, melukai, menyerang hingga membunuh orang lain.
Perilaku agresif bukan sifat bawaan sejak lahir pelakunya, melainkan berasal dari lingkungan sosial yang membentuknya. Dill (1998) melihat perilaku agresif dilakukan berdasarkan pengalaman dan adanya rangsangan situasi tertentu sehingga menyebabkan seseorang melakukan tindakan agresif. Tindakan agresif bisa dilakukan secara terencana, spontan atau karena rangsangan situasi. Tindakan agresif merupakan tindakan anti sosial yang tidak sesuai dengan norma masyarakat maupun agama.
Dinamika penyebab perilaku agresif bisa dibaca dengan tiga pendekatan, yaitu: pendekatan biologis, pendekatan psikologis dan pengaruh situasional. Dalam pandangan biologis, perilaku agresif disebabkan meningkatnya hormon testosteron (Tieger, 1995). Meski hasil kajian mengenai peningkatan hormon testosteron terhadap meningkatnya perilaku agresif tidak konsisten. Selain itu perilaku agresif juga bisa disebabkan adanya abnormalitas anatomis, misalnya kelainan pada jaringan syaraf otak.
Pendekatan Psikologis
Secara psikologis, menurut Krahe (2001), bagaimana munculnya perilaku agresif setidaknya ada empat perspektif agresif dalam ranah psikologikal. Pertama, perspektif psikoanalisis seperti yang dijelaskan Freud bahwa dalam diri manusia selalu mempunyai potensi bawah sadar yaitu suatu dorongan untuk merusak diri atau thanatos. Operasionalisasinya dapat dilakukan melalui perilaku agresif, dialihkan pada objek yang dijadikan kambing hitam atau korban.
Kedua, hipotesis frustrasi-agresi (frustration aggression hypothesis) yang menyatakan bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku untuk melukai orang atau sasaran yang menyebabkan frustrasi. Meski frustrasi menimbulkan perilaku agresif tetapi perilaku agresif dapat dicegah jika ada hukuman terhadap pelaku.
Ketiga, perspektif neo-asosianisme kognitif yakni peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakkan akan menstimulasi perasaan negatif. Kemudian, perasaan negatif akan menstimulasi secara otomatis dan reaksi motorik yang berasosiasi dengan reaksi melawan atau menyerang. Asosiasi ini menimbulkan perasaan marah (emosi) dan takut. Kekuatan respon menyerang tergantung faktor genetik, pengalaman masa lalu, faktor kognisi, dan faktor-faktor situasi.
Keempat,pembelajaran sosial, bahwa perilaku agresif merupakan perilaku yang dipelajari dari pengalaman masa lalu apakah melalui pengamatan langsung (imitasi), pengukuh positif, dan karena stimulus diskriminatif. Perilaku agresif juga dapat dipelajari melalui model (modeling) yang dilihat dalam keluarga, lingkungan sosial dan pengaruh media massa.
Masuk dalam kelompok budaya agresif seperti gang remaja, kelompok militer, maupun kelompok olah raga beladiri. Perilaku agresif yang disertai pengukuh negatif juga mampu meningkatkan perilaku agresif. Dalam hal ini, perilaku agresif dilakukan karena seseorang menjadi korban dari stimulus yang menyakitkan separti diejek atau diserang orang lain dan ia melakukan pembalasan. Munculnya perilaku agresif juga bisa disebabkan adanya efek penjualan senjata.
Lingkungan Sosial
Perilaku agresif sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana pelaku tinggal. Ligkungan yang permisif akan menghasilkan anak sekehandaknya sendiri termasuk perilaku negatif. Pola pengasuhan orangtua yang otoriter juga cenderung menghasilkan anak berperilaku agresif. Demokrasi yang tidak tumbuh dalam keluarga maka kekerasan menjadi solusi sepihak orangtua.
Penyebab dan pencetus perilaku agresif sejatinya tidak berdiri sendiri namun saling mengkait. Untuk itu diperlukan penanganan yang mampu melemahkan perilaku agresif. Dalam ranah pelaku, pendekatan boleh dilakukan secara individu (mikro) dengan tetap meminta dukungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Meski belum terbukti ampuh, ”latihan mengelola amarah” perlu digalakan.
[*] Mukhlisin, Mahasiswa S2 Komunikasi Korporat FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta, Peneliti Muda Center for Media and Political Institute.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H