Bayangkan, dalam tiga tahun terakhir sejak ada pembangunan pabrik semen, data dari Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) menyebutkan sudah ada 42 mini market yang berdiri dan saat ini terus bertambah. Apa dampaknya? Ada ribuan pedagang kecil, toko sembako dan pedagang pasar tradisional mati perlahan-lahan.
Data dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Rembang juga mencatat angka pengangguran pada tahun 2016 telah mencapai 14.474 orang. Tingginya angka pengangguran menjadi bukti bahwa keberadaan pabrik semen tidak memberikan dampak terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan.
Faktor pendidikan warga yang sangat rendah di sekitar pabrik, baik di ring satu, dua, dan tiga hanya dimanfaatkan sebagai tenaga kasar untuk pengerjaan kontruksi pabrik seperti tukang batu dan tukang las. Itu pun setelah pembangunan selesai mereka tidak akan dipekerjakan lagi.
Jadi kesejahteraan yang dipropagandakan Semen Indonesia hanya menjadi mimpi buruk bagi masyarakat Rembang. Tumbuhnya ekonomi mikro, ketersediaan lapangan kerja dan berkurangnya kemiskinan hanya menjadi pepesan kosong dan tidak akan pernah terwujud.
Taat Hukum, Tunduk Kepada Alam
Publik tentu masih ingat dua tahun lalu, (27/4/2014) Gubernur Jawa tengah, Ganjar Pranowo menjadi pemberitaan di berbagai media. Saat itu Gubernur Ganjar menemukan praktek pungli yang dilakukan petugas jembatan timbang di Kabupaten Batang.
Ia marah besar karena praktek culas mempermainkan hukum masih terjadi di daerahnya. Pasca kejadian tersebut publik di Jawa Tengah mempunyai harapan besar, pemimpinnya akan menegakkan aturan, lurus dan tanpa pandang bulu.
Sayangnya ketaatan dan penghormatan terhadap hukum hanya ada di panggung – panggung talk show televisi, radio dan media sosial yang menampilkan dirinya. Gubernur Ganjar lupa bahwa saat ini, meminjam istilah Dandhy Laksono dari WatchDoc, ia sedang menghadapi panggung sejarah sesungguhnya. SK Gubernur No 660.1/30 tahun 2016 menjadi bukti konsistensinya pada penegakkan hukum sudah luntur, mulutnya lamis (tidak bisa dipercaya).
Saat ini publik disuguhi drama perselingkuhan antara korporasi yang memanipulasi informasi dengan penguasa yang tidak taat hukum. Perselingkuhan tersebut telah melahirkan ‘monster’ yang setiap saat membahayakan kehidupan masyarakat. Tidak hanya kerusakan lingkungan, para petani yang menolak pembangunan pabrik semen pun mulai dipolisikan.
Kembali ke “khittah” Jawa Tengah “Ijo Royo-royo” menjadi jalan terbaik bagi Ganjar Pranowo untuk membuktikan bahwa ucapannya tidak lamis. Pembangunan yang mengedepankan kedaulatan lingkungan, bukan pembangunan yang merusak lingkungan.
Mengembalikan kawasan gunung watu putih sebagai kawasan lindung geologi sesuai Perda Tata Ruang Kabupaten nomor 14/2011 dan melindungi kawasan watu putih sebagai Cekungan Air Tanah (CAT) sesuai Keputusan Presiden nomor 26/2011 merupakan kebijakan penguasa yang paling masuk akal dan beradab, kecuali sang penguasa memang tidak mau lagi tunduk kepada hukum, tetapi tunduk di ketiak korporasi.