[caption caption="Foto vauzi.com "][/caption]Lenggaong bagi masyarakat di Brebes, Tegal, Pemalang dan Pekalongan pada tahun 1945 adalah sebuah nama yang keramat, ditakuti, dibenci tetapi juga dicintai. Lenggaong merupakan salah satu peletak dasar gerakan revolusi sosial yang kemudian dikenal dengan nama Peristiwa Tiga Daerah.
Lenggaong  adalah gerombolan bandit-bandit revolusioner yang melawan pejabat-pejabat korup, dan menindas rakyat. Mereka tak segan membunuh dan merampok harta para penguasa untuk dibagikan ke rakyat.
Munculnya lenggaong akibat perilaku menjijikkan para penguasa yang korup, kejam, amoral dan antek penjajah. Pertanyaannya apakah Ahok seorang pejabat yang korup, kejam dan antek asing atau aseng? seperti yang dituduhkan oleh lawan-lawan politiknya, ataukah Ahok ‘lenggaong’ yang  justru mengganyang pejabat-pejabat korup?
Sejarawan Anton E Lucas dalam bukunya Peristiwa Tiga Daerah menyebutkan, kemunculan Lenggaong merupakan manifestasi kemarahan dan frustasi rakyat terhadap kondisi politik pasca kemerdekaan. Kondisi ekonomi yang amburadul, kelaparan dan pengangguran, memantik perlawanan rakyat terhadap penguasa lokal.
Pengganyangan massal dilakukan rakyat kepada pejabat korup dari mulai Lurah, Wedana, sampai Bupati. Pengganyangan massal ini dikenal dengan istilah ‘dombreng’ yakni mempermalukan pejabat korup dengan cara mengarak dan menelanjanginya di jalanan.
Salah satu tokoh lenggaong yang paling ditakuti dalam Peristiwa Tiga Daerah adalah Kutil, sosok revolusioner yang keras kepala, pemberani, bicaranya kasar, dan kejam tetapi dianggap sebagai juru selamat bagi rakyat yang teritindas. Lenggaong menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap penguasa lokal yang anti perubahan, korup dan memanipulasi hukum.
Latar belakang Lenggaong yang berasal dari kampung, tidak berpendidikan dan tidak beretika justru menjadi sumber inspirasi rakyat untuk melakukan perlawanan. Sebaliknya para penguasa yang tutur katanya lembut, selalu mengatasnamakan agama, dan mengandalkan gelar-gelar feodalnya justru mencuri hak-hak rakyat dan berlindung diketiak penjajah.
Di era demokrasi saat ini, dimana rakyat bisa menyuarakan apa saja dan media social menjadi salah satu senjatanya, kemunculan lenggaong barangkali tidak relevan lagi. Sayangnya, pejabat korup, penegakan hukum yang lemah, dan kemiskinan  masih merajalela.
Bayangkan, Indonesia yang memiliki 34 Provinsi, 416 Kabupaten dan 98 kota hanya bisa melahirkan Gubernur atau Walikota yang ‘layak’ memimpin tidak lebih dari 10 orang, inilah bentuk kegagalan bernegara yang sangat memprihatinkan.
Kegagalan melahirkan pemimpin-pemimpin yang berpihak kepada rakyat tentunya akan melahirkan perlawanan baru, baik terhadap partai politik maupun penguasa. Sebaliknya rakyat akan mendukung pemimpin yang berpihak kepada rakyat, sekalipun pemimpin tersebut dianggap tidak beretika, kafir, gila dan kasar. Â
Birokrat yang korup, kebijakan public tidak berpihak kepada rakyat, hukum belum menjadi panglima, dan merajalelanya penguasa-penguasa lokal (preman dan ormas) di Jakarta, mirip dengan kondisi saat Peristiwa Tiga Daerah terjadi.