Mohon tunggu...
Didik Fitrianto
Didik Fitrianto Mohon Tunggu... Administrasi - Mencintai Laut, Lumpur dan Hujan

Terinspirasi dari kata-kata ini "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bima Arya Bertobatlah!

29 Oktober 2015   09:35 Diperbarui: 29 Oktober 2015   09:35 1292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bima dalam dunia pewayangan adalah sebuah nama yang lekat dengan keperkasaan, gagah berani, jujur, kuat, patuh dan ditakuti musuh. Bima walaupun kasar tapi hatinya lembut penuh kasih sayang, tanpa basa-basi, konsisten pada prinsip kebenaran dan sumpahnya. Bima lahir dari rahim kunti, perempuan yang mendapatkan karunia dari Dewa Bayu. Begitu juga Bima Arya Sugiharto saat dilahirkan pada 17 Desember 1972 di kota Bogor orangtuanya berharap, kelak ia seperti Bima yang mempunyai kekuatan dan nyali untuk melakukan perubahan.

Bima muda digembleng oleh maha guru Drona, seorang kstaria ahli strategi perang. Bima Arya Sugiharto juga tidak kalah, digembleng di kawah candradimuka lembaga pendidikan terkemuka, S1 Hubungan International Fisip Unpar, Master of Art, study ilmu pembangunan di Monash University Melbourne dan Doktor  ilmu politik di Australian National Canbera Australia. Karir keduanya juga moncer, Bima jagoan perang di medan tempur dan Bima Arya menjadi pengamat politik terkemuka dan puncak karirnya menggenggam kekuasan menjadi walikota Bogor.

Bima Arya Penghianat Konstitusi

Saat terpilih menjadi walikota Bogor ada banyak harapan yang digantungkan pada sosok intelektual muda ini, kota Bogor akan menjadi lebih baik. Sayangnya selama menjadi walikota Bogor tidak ada perubahan, boleh dikatakan jalan di tempat. Dibandingkan dengan pemimpin muda lainnya seperti Ahok, Ridwan Kamil, Abdullah Azwar Anas, Dedi Mulyadi dan Nurdin Abdullah, kepemimpinan Arya Bima tidak ada apa-apanya, beda kelas.  Prestasi Bima Arya hanya membuat mobil curhat keliling, lempar gelas di tempat hiburan malam, dan bergaul dengan gerombolan intoleran.

Puncak prestasi Bima Arya yang menakjubkan adalah diterbitkannya Surat Edaran No. 300/321-Kesbangpol yang melarang perayaan Asyura bagi penganut Syiah di Kota Bogor. Seakan belum puas dengan menyegel Gereja GKI Yasmin, dengan alasan sama yakni mengganggu ketertiban umum perayaan Asyura oleh penganut Syiah pun dilarang diadakan di kota Bogor. Anehnya surat edaran tersebut hanya merujuk kepada sikap MUI kota Bogor, rapat musyawarah pimpinan daerah, dan surat pernyataan ormas intoleran, ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah tidak dilibatkan. Padahal sebagai pemerintah harusnya Bima Arya mempertimbangkan konstistusi dan undang-undang sebagai acuannya, bukan tunduk kepada gerombolan penebar kebencian. Sebagai orang yang melek tentang hukum dan ketatanegaraan, Bima Arya mengerti bahwa urusan persoalan agama bukan wewenang pemerintah daerah tetapi sudah menjadi wewenang pemerintah pusat. Barangkali otak dan nyali Bima Arya sudah dicuci gerombolan tersebut sampai konstitusi pun dikhianati dan perayaan agung Asyura dilecehkan. Sebagai seorang intelektual Bima Arya sudah melacurkan diri pada kekuasaan yang pragmatis, dan sikapnya tersebut tentunya merupakan aib bagi komunitas Paramadina yang telah membesarkannya.

 

Syiah tidak dilarang di Indonesia

Perayaan Asyura merupakan peristiwa bersejarah dimana cucu Nabi Muhammad SAW , Imam Husein dibantai secara keji di padang karbalah oleh gerombolan Yazid bin Muawiyah. 10 Muharram kemudian memiliki kedudukan khusus bagi kaum Syiah, mereka memperingatinya sebagai hari kedukaan dan ziarah historik untuk mengenang penderitaan dan syahidnya Imam Husein. Di Indonesia perayaan Asyura sudah menjadi tradisi dan dirayakan di berbagai daerah, di Jawa, Sumatera Barat, Bengkulu, Aceh, Sulawes, dan Madura. Perayaan tersebut tidak hanya oleh kaum Syiah tetapi juga kaum Sunni.  Menolak perayaan Asyura adalah tindakan tak berdasar dan melawan konstitusi.

Pelarangan perayaan Asyura dengan alasan ketertiban umum merupakan tindakan kesewenang-wenangan penguasa, sebaliknya yang melarang, mengancam membubarkan  dan mendemo justru yang berpotensi mengganggu ketertiban umum. Di kalangan umat Islam sendiri yang diwakili oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak ada fatwa bahwa ajaran Syiah dilarang. Fatwa MUI pada tahun 2004 juga menjelaskan MUI tidak memiliki posisi untuk menyatakan bahwa syiah sesat, fakta yang tidak bisa dibantah oleh siapa pun. Anehnya fatwa MUI tersebut selalu digunakan oleh gerombolan intoleran bahwa Syiah sesat dan harus dibubarkan. Selain MUI ormas Islam seperti  NU dan Muhammadiyah juga tidak mengeluarkan fatwa tentang syiah sesat, yang dikeluarkan hanya berupa himbauan untuk mewaspadainya. Deklarasi Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 4 – 6 Juli 2005 yang kemudian ditegaskan lagi pada sidang OKI ke 17 tahun 2016 di Yordania juga menyatakan bahwa Syiah adalah Islam, terang benderang bukan?

Nyali ciut yang dipertontonkan oleh Bima Arya dengan surat edaran pelarangan Asyura atas tekanan gerombolan intoleran sungguh sangat melukai rasa kebhinekaan kita, akal sehat kita seakan mati melihat pejabat publik yang dipilih oleh rakyat justru melukai rakyatnya dengan senjata diskriminatifnya. Konstitusi kita sudah jelas bahwa “Negara menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing  dan beribadah menurut kepercayaannya”. Tidak ada kata terlambat bagi Bima Arya untuk melakukan pertobatan dan kembali ke jalan yang lurus karena sudah melakukan pengkhianatan konstitusi dan pelecehan pelarangan perayaan asyura. Sebagai seorang intelektual yang masih punya akal sehat, tidak ada salahnya Bima Arya meminta maaf kepada kaum Syiah di Indonesia atas kebijakan driskriminatifnya.

Perang Bharatayudha dalam cerita Mahabarata sudah berakhir, Bima sudah menggunakan senjata gadanya untuk mematikan lawan-lawannya yang telah melakukan kejahatan, tetapi ‘perang’ sesungguhnya untuk melawan driskriminasi dan intoleransi baru dimulai. Bima Arya sudah saatnya menggunakan senjata ‘kekuasaan’nya untuk melawan gerombolan penyebar kebencian, memberikan perlindungan terhadap minoritas , dan membuat kebijakan yang mensejahterakan rakyat. Kelak Bima Arya akan dikenal tidak hanya sebagai orang yang tercatat di MURI karena rekornya mengajar 17 jam non stop, tetapi juga akan tersimpan dalam memory kolektif rakyat Indonesia khususnya masyarakat Bogor sebagai pemimpin yang melayani 24 jam tanpa diskriminasi.  

               

               

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun