Mohon tunggu...
Farid Muhammad
Farid Muhammad Mohon Tunggu... penikmat kopi dan buku -

read, share, happy...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Banda", di Antara Historisitas dan Sakralitas

18 Agustus 2017   14:36 Diperbarui: 18 Agustus 2017   16:36 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melupakan sisi perjuangan rakyat Banda, tanpa sadar, akan berimplikasi pada hilangnya sakralitas Banda itu sendiri. Padahal, Reza dengan bobot suaranya sudah sangat baik menutup film ini dengan sajak Chairil Anwar berjudul "cerita buat Dien Tamaela" yang berkisah tentang Negeri Para Datuk.

Faktual, Banda adalah wilayah yang sangat kuat sisi spiritual. Philip Winn dari Australia Nastional University bahkan memotret wilayah ini dalam disertasinya dengan judul "Tana Barakat" (TheBlessed Island), yang menekankan sisi religiusitas yang kuat tertanam dalam kehidupan orang Banda, dimana Adat dan Islam adalah pondasi utamanya. Kedua entitas (adat dan islam) ini ibarat dua sisi mata uang yang sama. Bisa dibedakan tapi sulit dipisahkan.

Begitu sentralnya adat dan Islam bagi Banda, sehingga memposisikan tokoh-tokoh adatnya memiliki status istimewa yang punya hak dan otoritas dalam urusan agama, adat, dan juga sejarah. Sangat disayangkan memang, akhirnya sejarah Banda turut "disakralkan", sehingga menjadi relatif tertutup. Dalam kurun waktu yang lama, sejarah Banda seperti "terlarang" untuk diperbicangkan khalayak. Boleh jadi, ini diakibatkan pengalaman traumatic pasca pembantaian JP. Coen yang sadis terhadap penduduk Banda. Sehingga siapapun yang berbicara sejarah Banda seakan-akan membicarakan aib para datuk.

Sejarah Banda menjadi eksklusif, dikonsumsi hanya oleh kalangan terbatas, dan dikhususkan kepada mereka yang dianggap "pantas". Yaitu mereka para anak keturunan Banda yang diyakini lebih mengerti dan memahami psikologis penderitaan para datuk mereka di masa lalu. Adapun untuk kalangan di luar itu, dipandang tidak layak berbicara adat, apalagi sejarah. Dalam konteks ini, kita bisa memahami mengapa ada sebagian kelompok keturunan Banda yang menolak penayangan film TDFT sampai hari ini. Tampak ada semacam "keterusikan" psikologis terhadap versi sejarah dalam film TDFT ini.

Tapi sukar juga dibantah, bahwa publikasi sejarah Banda sudah ada dan dibuat banyak orang jauh sebelum Jay membuat film Banda. Ada banyak sarjana Belanda, Australia, Amerika, dan ilmuan local seperti Des Alwi. Karya-karya mereka, sekalipun ada kritik, tapi cukup diterima orang Banda tanpa masalah. Karya Des Alwi bahkan punya keunggulan, yang hemat saya, punya kombinasi unik dari referensi Eropa dan juga cerita-cerita local Banda. Itulah Des, yang oleh Goenawan Muhammad disebut "seonggok sejarah yang padat".

Keping Sejarah yang Berserak

Bagi saya, sejarah Banda seharusnya dipahami sebagai keping-keping yang masih berserak. Maka, klaim superioritas sumber sejarah, mana yang asli atau palsu, antar kelompok Banda sesungguhnya tidak perlu terjadi. Selain hanya akan membuka duka lama, juga akan menghabiskan energi kreatif anak-cucu Banda itu sendiri.

Dalam situasi disparitas sejarah Banda seperti ini, maka yang pantas dilakukan adalah kesediaan setiap orang untuk mendengar cerita orang lain dengan kedewasaan sikap yang tinggi. Karena sulit rasanya untuk mengklaim satu versi cerita sejarah Banda sebagai itu yang sempurna, lalu mengabaikan versi lainnya, alih-alih menganggapnya tidak orisinal.

Setelah itu, mulailah dengan mengumpulkan keeping-keping yang berserak itu. Memungutnya satu-persatu dari cerita-cerita para orang-orang tua, lalu memadukannya dengan berbagai sumber historis modern. Dan lihatlah apa yang akan dihasilkan nanti. Bukan mustahil ditemukan hasil temuan terbaru yang lebih mencengangkan!

Karya Jay Subiyakto dalam TDFT ini adalah sebuah langkah awal yang baik yang patut diapresiasi oleh siapapun, terlebih kita orang Banda. Tentu saja tidak ada yang sempurna, dan sebagai sebuah karya selalu bebas untuk dikritik. Tapi lakukanlah dengan bermartabat.

Muhammad Farid, Editor Buku "Sejarah Banda Naira, Dosen Sejarah STKIP Hatta-Sjahrir, Banda Naira.  Email: mfarid01@yahoo.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun