Wanita biasa yang tidak menjadi wanita yang tak biasa. Anak desa begitulah mungkin kalau kita mendengar awal-awal ceritanya. Banyak suka duka yang harus dihadapinya di awal dia harus bertahan hidup demi pendidikan yang diusahakannya. Wanita ini lahir dari kota atau desa ciamis yang mana pendidikan sangat atau masih minim yang ada. Terlahir dari orang tua yang broken home dan sejak kecil dia akhirnya di titipkan kepada neneknya seorang diri dan dimulailah penderitaan rakyat jelata untuk memulai dengan yang namanya pendidikan. Akankah dia berpangku tangan atau menyerah begitu saja dengan yang namanya pendidikan.
Ternyata wanita kecil manis ini tidaklah seperti yang kita kira. Karena dari penderitaan yang dimilikinya dia malah menghasilkan atau memikirkan pihak-pihak yang sepihak dengannya untuk dapat lebih maju lagi. Inilah masalah krusial yang selalu dialami oleh bangsa Indonesia dimana masyarakat Indonesia yang minim finansial sebenarnya mendapat perlakuan yang sama untuk mengenyam pendidikan. Biar tokoh Heni Sundani begitu biasa dia diasapa ini  bukan hanya menjadi bias tokoh seorang diri yang maju untuk terus memberikan pendidikan yang sebaik yang harus diterima layaknya yang berada di level yang atas juga.
Heni bila diberikan kesempatan untuk menceritakan apa yang menjadi cita-citanya dia tetap dengan lugunya bahwa ia hanya dari rakyat jelata yang beruntung. Jarak tempuh bukan menjadi alasan bagi kita untuk mengusahakan apa yang seharusnya kita dapatkan akan tetapi apakah cita-cita kita akan terus ada di kepala kita kelak. Biar pertanyaan dan jawaban itu yang terus akan kita perjuangkan sampai kapan pun dan tentunya kita belajar dari semangat juang dari Bu Heni ini.
Dari sejak dia mengenyam pendidikan di sekolah dasar dia harus diharuskan apakah dia mau untuk menempuh jarak selama berjam-jam untuk dapat sampai ke seberang desanya. Dimana desa yang dia diami yaitu Ciamis masih sangat minim dengan yang adanya pendidikan yang merata. Karena itu dikatakan olehnya sudah dari sd yang ada Ibu Heni ini sudah berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang semestinya dia dapatkan tanpa berusaha untuk mengeluh sedikitpun. Bagaimana dengan kita sekarang ini? Dengan adanya fasilitas yang serba berkecukupan untuk saat ini masihkah kita tidak mempergunakan dengan sebaik-baiknya pendidikan yang telah kita dapatkan sampai saat ini?
Masih  tetap belum terlepas ketika dia sudah menyelesaikan pendidikannya setelah SD dan tetap harus menikmati penderitaanya. Apakah Bu Heni akan menyerah begitu saja lagi-lagi? Jawabannya tentu tidak Heni tetap menikmati untuk menempuh perjalanan kaki setiap harinya ke Sekolah Menengah Pendidikan selama 3 tahun. Heni tergolong orang yang tidak banyak berbicara dan mempunyai banyak teman. Karena mungkin dalam benak kecilnya ia malu mengakui berasal dari orang yang tidak berada dan tidak ada yang  mau berteman dengannya.
Karenanya ia selalu berteman dengan buku-buku yang ada di dalam perpustakaan di jam istirahat. Buku-buku yang dibacanya juga bukan sembarang buku yang pada kebanyakan orang membacanya. Heni sudah terbiasa sejak kecil membaca buku-buku orang ternama seperti N.H Dini dan lain sebainya. Bayangkan saja anak yang masih berusia anak seusia 12 tahun sudah terbiasa dengan buku bacaan berat seperti itu. Ternyata manfaatnya sangat terasa setelah itu. Heni pun sangat bersyukur karena pendidikan pasif yang dia dapatkan saat itu.
Menginjak lulus dari sekolah menengah pendidikan itu ; jarak yang harus ditempuh Heni bukan main-main. Sepertinya kalau dijumlah waktu yang akan ditempuhnya akan menghabiskan setengah dari setiap harinya. Karenanya dia berniat untuk menyewa seadanya sebuah kamar selama dia bersekolah di sma. Itu pun uang makan sehari-harinya sewanya harus di simpan sedemikan rupa agar bisa disisakan untuk membayar sewa rumahnya per bulannya. Heni pun semakin gigih untuk dapat menyelesaikan pendidikannya di sma tentunya. akhirnya ia pun selesai sma selama 3 tahun tetapi ternyata ada pilihan yang tersisa setelah itu.
Apakah dia tidak akan mempergunakan ijazahnya ataukah yang sebalilknya ia akan menyelesaikan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Yang ada di benaknya dia masih mempunyai seorang emak yang masih harus ia urus. Heni semenjak kecil hanya diurus dengan seorang emaknya. Ia sepertinya berada di dalam dilemma yana harus ia putuskan. Tetapi dengan berat hati dengan membawa cita-citanya yang sudah ia pendam dalam hati bahwa ia harus dapat menempuh pendidikan setinggi-tingginya bukan karena ia berada di dalam ruang lingkup orang miskin.
Heni pun akhirnya berangkat dan memutuskan menjadi seorang TKI di Hong kong. Di sinilah dimulai pengalaman baru yang akan ia tempuh. Pelajaran bahasa Inggris yang ia peroleh selama dia bersekolah tidak dipakainya karena kebanyakan orang Hong Kong tidak bisa berbahasa Inggris apalagi majikannya sendiri. Heni pun tetap berniat agar dapat menyelesaikan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu kuliah. Ini tidaklah mudah karena seperti yang kita ketahui Heni bekerja sebagai seorang TKI dan waktu luang yang dimilikinya hanyalah pada saat week end saja. Betapa berat pekerjaan yang harus ditempuh seorang anak buruh tani ini. Tetapi justru itulah yang menjadikannya cambuk agar ia dapat menempuh pendidikan yang ia cita-citakan setinggi mungkin. Akhirnya yang ia cita-citakan dengan pantang menyerah begitu saja pun tercapai dimana ia berhasil lulus dengan predikat cum laude di universitas saint. Marry. Bisa kita bayangkan seorang buruh tani dapat berhasil lulus dengan predikat cum laude bukankah predikat yang bisa dibanggakan.
Terlebih dari itu ketika ia berusaha untuk memberi tahu kepada emaknya yang sudah sekian lama ia tidak bertemu. Emaknya hanya bisa membalas apa yang kau maksuda dengan sarjana Neng Heni? Seperti yang diuraikan sebelumnya emaknya juga orang yang buta huruf yang tidak pernah mengenyam pendidikan yang layak. Heni adalah anak tidak pernah mengenal siapakah orang tuanya sebenarnya sejak ia baru menginjak usia satu tahun.