Di lindung oleh tiang awan dan pohon-pohon hutan rawa dari terik matahari ketika itu. perjalanan saya menyusuri sejauh 80 kilometer dari Merauke ke Sota. Menuju perbatasan di tempuh dalam waktu sekitar dua jam melewati kawasan Taman Nasional Wasur. Kondisi jalan yang lurus, tidak ada lubang, dan pemandangan hutan pohon kayu puitih, danau rawa, akasia dengan rumah-rumah rayap setinggi 2 atau 3 meter yang tidak saya tahu awalnya nama dan filosofi dari rumah rayap ini. Sungguh menghibur perjalanan saya ke perbatasan.
Memasuki distrik Sota, sebuah tugu dengan patung burung Garuda di atasnya menyambut para pendatang . ini adalah tugu penanda titik nol kilometer Indonesia. Tugu semacam ini juga terdapat di berapa daerah di Indonesia, termasuk di Sabang, Nanggoro Aceh Darusallam. Kedua di kenal sebagai tugu kembar Sabang-Merauke.
Sesampai saya di perbatasan Sota. Saya mampir sekalian melaporkan diri ke pos Satgas Yonif 407 Padma Kusuma. Dari situ saya diperkenalkan oleh Yunus Kiaf, orang asli Merauke dengan pangkat Sersan Kepala yang ditugaskan menjaga situs perbatasan sota yang sudah sekitar 10 tahun. Dari pos jaga tersebut tidak jauh ada taman, tempat berjualan souvenir, dan melihat batas tapal Indonesia yang dibangun dengan bentuk tugu kecil bertuliskan “Team Survey Indonesia.”
Setelah itu Yunus mengajak saya melihat Musamus yang sering orang anggap itu rumah semut padahal adalah rumah rayap. Di perjalanan saya melihat bapak Yunus marah dan berkata menggutuk orang membuang sampah sembarangan di kompleks Taman perbatasan Sota. “Bangsat ! dasar pengunjung tidak mencintai tanah air,” katanya.
Lalu lupakan perkataan kasar itu katanya bapak Yunus kepada saya, sambil beliau menunjukan Musamus ( Rumah Rayap) kepada saya. Beliau menjelaskan filosofi dari Musamus yaitu orang Papua yang pernah rendah diri seperti rayap yang kecil itu ! Tetapi orang Papua harus bisa menunjukan dan bekerjasama dengan siapa saja untuk membangun karya yang besar dan kenal dunia seperti rumah rayap ini.
Di samping beliau menceritakan perbatasan Sota. Yunus kiaf juga menceritakan hal-hal sifat kemanusian (Humanis) selama beliau menjaga perbatasan Sota. Misalnya; “Setiap tanggal 17 Agustus, orang-orang dari PNG datang ke perbatasan ini untuk ikutan upacara bendera Merah Putih, makan-makan ataupun lomba bareng. Dan sebaliknya tanggal 16 September hari kemerdekaan Papua New Guinea. Kita berapa orang Indonesia ikutan acara di sana,” begitu harmonis yang di bangun oleh kearifan lokal.
Setelah beliau menjelaskan berbagai banyak hal dan menceritakan pengalaman selama sekitar 45 tahun lebih mengabdi sebagai tentara Republik Indonesia. saya memberanikan bertanyakan bagaimana pendapatnya soal apakah Papua akan lebih baik tanpa Indonesia ?
Beliau berhati-hati menjawabnya dengan makna Sabang sampai merauke menurutnya ialah; “ Orang yang ada dari Sabang sampai merauke ini harus menjaga keutuhan tanah ini yang sudah merdeka lebih 60 tahun. Sehingga dari orang Aceh sampai Papua jangan memilah-milah. Kita harus bersama-sama menjalankan program kesejahteraan yang merata yang sesuai dengan nilai-nilai dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat,”kata Yunus kiaf yang selalu bangga memakai tas songket kecil kerajinan tetangganya.
Semoga dengan pernyataan Yunus Kiaf dan orang-orang yang saya jumpai di Merauke menjadi bahan refensi pemerintah pusat untuk membuat program dan kebijakan yang lebih baik lagi kedepan.
Salam dari Gerbang besar perbatasan Sota yang bertuliskan ‘Good bye and See You Again Another Day'. ( max)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H