Mohon tunggu...
Max Andrew Ohandi
Max Andrew Ohandi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Saya seorang penulis dan social enterpeneur

Saya superhero kocok yang berprofesi sebagai Jurnalis Warga\r\n\r\nFacebook : Max Andrew & Newhope \r\nTwitter : @maxandrewohandi\r\n\r\nHuhaaa....@Pahlawan Bertopeng :P

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Dagang dari Etnis Tionghoa di Ranah Minang

16 Januari 2015   03:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:03 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14213273721547509799

[caption id="attachment_346539" align="aligncenter" width="300" caption="Engeline Tjia bersama Nasabah Koperasi Sejahtera (dok.Pribadi)"][/caption]

Kehadiran Engeline Tjia Marketing Director Lotte Mart di tengah-tengah nasabah Koperasi Sejahtera. Membuat aku penasaran lebih dalam soal dagang etnis Tionghoa di Ranah Minang. Aku bongkar banyak buku dan mencari berbagai sumber literature online yang dapat membedah atau memetakan sejarah yang panjang dari Engeline Tjia. Sebuah sejarah menarik untuk diselusuri eksistensi warga keturunan serta pengakuannya di Nusantara tercinta.

Ketika Engeline memulai sharing kepada  nasabah koperasi Sejahtera yang kebanyakan pedagang kecil. Etos kerja di miliki oleh Engeline berlatar belakang dari pahit gentir hidup ! Ketika Ayah datang ke Indonesia. Saat itu usia ayah 7 tahun yang tidak mengerti apa-apa. Dengan tanpa sanak saudara ataupun family sampai di Ranah Minang. Di Padang Ayah menjadi seorang kuli yang bodoh tidak mengerti bahasa padang. Setiap hari kerja hanya memangkul karung berat sekitar 20 sampai 30 KG. Sang Ayah pelan-pelan belajar berbicara, membaca, dan menulis bahasa Padang. Namun kalau si kuli kecil ingin pintar pasti sang Datuk sangat marah sekali dan memukulnya. Dengan keterbatasan sang ayah belajar diam-diam dalam otaknya membaca dan berbicara bahasa padang.

Setelah meninggal datuk. Ayah pun bebas dari budak menjadi kuli. Dengan tanpa modal UANG ! Hanya modal hafalan dan sempoa. Ayah mulai membuka toko dagang. Singkat cerita dapat bersaing dengan orang-orang padang yang pandai juga berdagang. Dari artikel yang saya baca dari Emmy Kuswandari, “Hopeng, Hongsui, Hokki di Ranah Minang”, Sinar Harapan (30 Mei 1998). Menjelaskan dengan bagus kunci sukses dari pedagang Tionghoa ada tiga hal yaitu Hopeng, Hongsui, dan Hokki.

Hopeng adalah cara untuk menjaga hubungan baik dengan relasi bisnis. Bagi orang Tionghoa, hubungan dengan relasi sangat penting. Sebagian besar usaha orang Tionghoa berasal dari keluarga atau teman-teman dekat. Sebagaimana ditulis Vleming, peneliti mengenai perilaku dagang masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda sebelum kemerdekaan, “Selama berabad-abad bangsa China mempunyai pandangan bahwa individu adalah sebagian dari keluarga, keluarga bagian dari klan, dan klan merupakan bagian dari bangsa. Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa dalam berdagang pengusaha China selalu bermitra dengan anggota keluarga dan sahabatnya.”

Bentuk usaha perkongsian (hui) tumbuh subur di kalangan Tionghoa karena dianggap sebagai bentuk yang paling tepat untuk mewadahi kepentingan ekonomi keluarga, klan, atau bahkan bangsa. Tujuan seorang Tionghoa  dalam mengepalai suatu kongsi atau perseroan adalah untuk menggalang kerja sama dengan sesama anggota keluarga atau kawan dekat mereka. Hopeng dalam hal ini berkisar seputar relasi keluarga, suku, dan bangsa;

Kepercayaan terhadap Hongsui adalah kepercayaan pada faktor-faktor alamiah yang menunjang nasib baik dan buruk manusia. Hongsui menunjukkan bidang atau wilayah yang sesuai dengan keberuntungan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun peruntungan perdagangan. Misalnya, peruntungan sebuah rumah memerlukan perhitungan rumit dari para ahli hongsui agar rumah tersebut membawa rejeki bagi yang menempatinya. Dengan teori geomancy, keberadaan sebuah tempat disesuaikan dengan waktu dan suasana;

Nilai yang satu ini masih memiliki kaitan dengan unsur sebelumnya (baca: hongsui). Hokki merupakan peruntungan nasib baik. Para pengusaha Tionghoa memegang suatu konsep pengelolaan resiko yang dilandasi dengan melakukan suatu pengelolaan nasib atau takdir melalui hongsui, sehingga terlihat bahwa hokki ini tidak terpaku pada sikap fatalistik. Hokki lebih dipersepsikan bagaimana menyiasati nasib agar selalu mendapat nasib baik dan keuntungan.

Terlepas dari nilai prinsip dagang tersebut yang membuat Engeline Tjia anak ke-12 dari 12 bersaudara tersebut dapat sukses melalui menjadi lulusan terbaik dari Univversitas Gajah Mada (UGM) dan jadi leader marketing di berbagai perusahaan besar. Kunci seperti dijelaskan oleh artikel online dari link http://mannajemen-unnes.blogspot.com/2008/04/budaya-dagang-tiong-hoa.html. yang menjelaskan Etos kerja masyarakat Tionghoa adalah etos yang luar biasa. Sejak kecil warga keturunan di Indonesia selalu diajarkan untuk tahu diri karena mereka merupakan kaum minoritas, sehingga dalam bertindak tidak boleh terlalu menonjol atau berlebihan meminta bantuan kepada orang lain. Dalam pekerjaan, masyarakat Tionghoa harus mampu menguasai banyak jenis pekerjaan, mulai dari yang paling mudah hingga yang paling sulit. Mereka menanamkan suatu ideologi bahwa setiap usaha / pekerjaan tidak selalu permanen, seperti layaknya roda berputar, suatu saat di atas, lain waktu di bawah. Modal bagi masyarakat Tionghoa bukan berupa uang saja, tapi juga berupa keterampilan, semangat, dan kepercayaan dari relasi, yang kesemuanya itu akan membuahkan suatu hasil.

Dari penjelasan ini saya mau deskripsi kehidupan masa kecil Engeline Tjia sampai dewasa. Bayangkan anak bontot ke-12 ini mungkin paling sial dan tidak diharapkan kehadirannya. Karena orang tua sudah lengkap punya anak-anak. Di rumah sudah ribet, kacau, makin banyak biaya membengkak karena pasti kebutuhan anak-anak berbeda. Jadi pepatah yang bilang punya banyak anak maka banyak rejeki itu salah ! Harus ditambahakan dengan catatan boleh punya banyak anak kalau perencanaan dan jarak anak satu dengan yang lain sesuai. Tetapi dalam perhitungan sebenarnya keluarga sejahtera punya paling banyak anak adalah 5 anak maksimal. Karena mendidik, memenuhi kebutuhan, dan kasih orang tua tidaklah mudah. Jadi masa kecil Engeline selalu paling dapat sisa-sisa dari koko dan cicinya.

Ayah sudah sakit-sakit di masa anak-anak sampai remaja Engline. Memaksanya menjaga toko, merawat ayahnya dengan cara memasak, memberikan makan, obat, dan sebagainya. Belum kegiatan sekolah dan mengerjakan pr di larut malam. Namun hal tersebut membuat Engeline menjadi wanita dewasa yang tangguh.

Mengejar ilmu sampai ke negeri cina. Itulah prinsip orang cina dalam pendidikan. Engeline Tjia pun pergi ke Jakarta. Kuliah dengan uang terbatas dan berharap lulus ujian Negara. Akhirnya pun Engeline adaptasi yang baru berada di Yogya dengan kultur yang berbeda di Padang. Mulai dari makanan yang pedas jadi malas. Hingga bahasa jawa yang sulit dia pelajari. Meskipun dengan sangat cepat Engeline 3 tahun dalam kuliahnya.

Jadi sarjana muda pada zaman order baru sama dengan lagu Iwan Fals yang berjudul Sarjana Muda. Engeline yang mempunyai harapan dengan nilai bagus dari UGM akan mudah dapat kerjaan dambaannya. Namun realitas berbeda. Kerja serabutan seperti kurir dan membuat undangan beliau kerjakan.  Sambil melamar 7 perusahaan setiap harinya.

Namun seperti Firman Tuhan dalam Yesaya 65 : 6 mengatakan Mereka tidak akan mendirikan sesuatu, supaya orang lain mendiaminya,y dan mereka tidak akan menanam sesuatu, supaya orang lain memakan buahnya; sebab umurz umat-Ku akan sepanjang umur pohon,a dan orang-orang pilihan-Kub akan menikmati pekerjaan tangan mereka.

Akhirnya Engeline Tjia mendapatkan pekerjaan di Nestle sebagai perusahaan pertama kali dia mengembangkan karirnya sebagai marketing. Sekarang sudah 15 perusahaan yang sudah memakai Jasa Engeline Tjia sebagai marketing.

Hampir semua produk yang dipercayakan olehnya untuk dijualan. Bisa di bilang selalu berhasil di terima masyarakat. Permintaan konsumsi atas barang-barang yang dijualnya sangat tinggi. Belajar dari kehidupan Engeline Tjia ini semangat etnis Tionghoa  dalam berkarya di Indonesia.

Menjadi Warga keturunan Merupakan Nasib. Namun jadi Warga Indonesia merupakan Pilihan Kami yang dapat dipertanggungjawabkan,” Max Andrew Ohandi ( Acibon artinya anak Cina Ambon)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun