Mohon tunggu...
Qinimain Zain
Qinimain Zain Mohon Tunggu... profesional -

Scientist & Strategist (QPlus Management Strategies - Consultant)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masalah (Kedaluwarsa Teknologi) Indonesia

16 Februari 2016   03:45 Diperbarui: 16 Februari 2016   09:58 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 Science Valley 26: (Kedaluwarsa Teknologi) Indonesia

Lalu, apa masalah (kedaluwarwa teknologi) Indonesia (dan dunia)?

SATU mesin dapat melakukan pekerjaan lima puluh orang biasa. Tidak ada mesin dapat melakukan pekerjaan satu orang yang luar biasa (Elbert Hubbard).

Kali ini, kembali melanjutkan membahas buku FILSAFAT ILMU – Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Koento Wibisono Siswomihardjo, Ali Miudhofir, Imam Wahyudi, Rizal Mustansyir, Sri Soeprapto, Noor Ms Bakry, Abbas Hamami M, dan Sindung Tjahyadi – Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakutas Filsafat UGM, 1996).

Paradigma Lama: Bab VII: Metode Ilmiah. Bab VII: Kebenaran Ilmiah. Bab IX: Ilmu, Teknologi, dan Kebudayaan. Etika Keilmuan (Hal. 126-182).

“Metode siklus empirik ini mencakup lima tahapan yang disebut observasi, induksi, deduksi, eksperimen, dan evaluasi. ... Sifat ilmiahnya terletak pada kelangsungan proses yang runtut dari segenap tahapan prosedur ilmiah tersebut, meskipun pada prakteknya tahap-tahap kerja tersebut seringkali dilakukan secara bersamaan (132)....Ilmu-ilmu sosial dan humanistik pada umumnya menggunakan metodologi yang disebut metode linier. Metode linier memiliki tiga tahap, yaitu persepsi, konsepsi dan prediksi. Persepsi adalah penangkapan data melalui indra. Konsepsi adalah pengolahan data dan penyusunannya dalam suatu sistem. Prediksi adalah penympulan dan sekaligus peramalan (Sri Soeprapto: 133).

Teori kebenaran selalu paralel dengan teori pengetahuan yang dibangunnya (138) Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang bersifat objektif, maksudnya ialah bahwa kebenaran dari suatu teori – atau lebih tinggi lagi aksioma atau paradigma – harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam keadaan objektivannya (Abbas Hamami M: 144).

Sering muncul polemik, terutama di negara berkembang , manakah yang lebih penting, antara mengembangkan “ilmu” melalui pengembangan “ilmu murni” (pure science) dan “ilmu dasar” (basic science) dengan mengembangkan ”teknologi” melalui “alih teknologi” maupun industrialisasi (147). ... Dari berbagai pertanyaan-pertanyaan dan polemik tersebut setidak-tidaknya tersirat adanya kekaburan pengertian tentang “ilmu”, “teknologi”, maupun “kebudayaan”. Tersirat pula di dalamnya kekaburan pemahaman tentang hubungan antara ilmu, teknlologi dan kebudayaan (148).

Secara etimologis, akar kata “teknologi” adalah “techne” yang berarti serangkaian prinsip atau metode rasional, yang berkaitan dengan pembuatan suatu obyek atau kecakapan tertentu (151)....Dalam bahasa Yunani, “logos” memiliki arti yang luas mengacu baik tata pikir maupun keteraturan benda ...(152) ... Dari tinjauan secara etimologis, sudah terlihat adanya potensi “kekaburan makna” dalam istilah “teknologi”. ... Apakah “teknologi” termasuk dalam “pengetahuan ilmiah” (ilmu) ataukah “pseudo-ilmiah”, ataukah “pengetahuan biasa”. ... Karl Mark menggunakan istilah “teknologi” dalam tiga makna yang berbeda, yakni sebagai “alat kerja”, “pengajaran praktis dari sekolah industrial”, dan “ilmu tentang teknik” (151-152). Dari berbagai pengertian batasan di atas tersirat luasnya – atau kaburnya – kandungan pengertian “teknologi” (154-155). ...Jaques Ellul ... memakai istilah “technique” identik dengan “technology” dan dalam pengertian “keseluruhan metode rasional untuk mencapai efesiensi mutlak dalam semua bidang aktivitas manusia” (Sindung Tjahyadi: 155).

Masalah dasar bagi etika khusus adalah bagaimana seseorang harus bertindak dalam bidang atau masalah tertentu, dan bidang itu perlu ditata agar mampu menunjang pencapai kebaikan hidup manusia (Abbas Hamami M: 175)

Paradigma Baru Milenium III: Teknologi (Bahasan bandingan ringkasan Bab VII: Metode Ilmiah. Bab VIII: Kebenaran Ilmiah. Bab IX: Ilmu, Teknologi, dan Kebudayaan. Bab X: Etika Keilmuan (Koento Wibisono Siswomihardjo, dkk: Hal. 126-182).

Sebenarnya, Bab VII sampai Bab X, sudah dibahas pada buku terdahulu, selain tentang teknik. Untuk Metode Ilmiah, lihat Science Valley 14: (Kedaluwarsa Metode Ilmiah) Indonesia. Untuk Kebenaran Ilmiah, lihat Science Valley 6: (Kedaluwarsa Golongan Filsafat Ilmu) Indonesia tentang TQZ Philosophy of Science dan TQZ - Filella Philosophy of Reference Frame. Untuk kebudayaan, serta hubungannya dengan ilmu dan teknik, lihat Science Valley 19: (Kedaluwarsa Kebudayaan dan Pendidikan) Indonesia. Untuk Etika Keilmuan, lihat Science Valley 18: (Kedaluwarsa Aksiologi: Ilmu dan Teknologi) Indonesia.

Mengenai Ilmu, Teknologi, dan Kebudayaan, yang luput dicermati adalah (sistem) Ilmu dan (sistem) Instrument (atau teknik), adalah alat bantu. Ilmu adalah alat bantu pikiran, dan instrument adalah alat bantu indra. Ilmu memiliki tahap ilmu dasar, ilmu terapan dan ilmu pengembangan. Instrument juga demikian, memiliki tahap instrument dasar, terapan dan pengembangan. Tahap dasar cenderung penelitian akademis untuk jangka panjang, tahap terapan penelitian perusahaan atau industri untuk jangka menengah, dan tahap pengembangan penelitian praktis pelaku usaha untuk jangka pendek (Lihat, Science Valley 15: (Kedaluwarsa Struktur Ilmu) Indonesia). Dan, penelitian ketiganya dapat dan harus berjalan berbarengan.

Mengenai kata teknologi, lebih tepat istilah “technique”, dalam paradigma baru Hukum XV TQZ C(ompetency) = I(nstrument). S(cience). M(otivation of Maslow-Zain), bukan “teknologi” tetapi instrument. Lihat bahasan, Masalah (Kualitas Manusia) Indonesia dan Masalah (Sensesopia: Mati Daya Peka) Indonesia pada Science Valley 18: (Kedaluwarsa Aksiologi: Ilmu dan Teknologi) Indonesia.

Tambahan, dalam penelitian peneliti terikat dengan alat bantu penelitiannya. Untuk ilmu, jika seseorang alih ilmu teori baru dengan mudah ia membawa teori baru ke mana saja atau ke negaranya. Tidak demikian dengan alat bantu teknik. Semakin penting dan mahal peneliti terikat di mana alat bantu itu berada, karenanya peneliti yang belajar di luar negeri tidak bisa pulang atau enggan pulang karena di negara asal alat bantu teknik itu tidak ada. Tanpa alat bantu teknik, ia tak berdaya sehingga kedaluwarsa dibanding sekolah atau negara tempat belajar. Lihat, Masalah (Indigo Society) Indonesia pada Science Valley 21: (Kedaluwarsa Tujuan Kegunaan Penelitian) Indonesia. Lebih jelas lagi, lihat Rujukan: Masalah (Sekolah Terbaik) Indonesia.

Jadi, jelas masalah (kedaluarwa teknologi) Indonesia (dan dunia)? Mari belajar, mengajar dan mengelola apa pun dengan sistem ilmiah ilmu dengan Paradigma Baru Milenium III yang dalam, jelas dan luas, agar lebih baik.

PENGETAHUAN ilmiah diandalkan adalah bebas nilai dan tidak memiliki nilai moral atau etika. Ilmu memberitahu kita bagaimana dunia ini. Bahaya dan masalah etika muncul hanya ketika ilmu diterapkan sebagai teknologi (Lewis Wolpert).

Bagaimana Strategi Anda?
Rujukan: Copyright © Qinimain Zain
1. Koento Wibisono Siswomihardjo, dkk., FILSAFAT ILMU – Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Koento Wibisono Siswomihardjo, dkk – Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakutas Filsafat UGM, 2003: 126-182, Liberty Yogyakarta, Cetakan ketiga, Yogyakarta).
2. Qinimain Zain, Catatan Akhir: “Buku FILSAFAT ILMU – Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Koento Wibisono Siswomihardjo, dkk – Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakutas Filsafat UGM, harus dibaca mahasiswa atau siapa pun yang bergelut dengan ilmu untuk disiplin ilmu apa pun, karena sangat luas mengutip berbagai referensi Filsafat Ilmu, meski menjadikan sajian bertele-tele dan belum mencapai tahap sistem ilmu. Tentu dengan berbagai perbaikan tambahan oleh Paradigma Baru Milenium III menjadi memadai”.
3. Qinimain Zain, Strategi (R)Evolusi Sistem Ilmu, Tablomagazine BISNIS No. 17/II/27 Februari – 12 Maret 2005 : 10 (TQZ Scientific System of Science Diagram).
4. Qinimain Zain, Strategi (R)Evolusi Filsafat Definisi, Tablomagazine BISNIS No. 53/II/Oktober 2007 : 10 (TQZ Philosophy of Definition Diagram).
5. Qinimain Zain, Masalah (Sekolah Terbaik) Indonesia: Kompasiana, 20 April 2012, (Dikutip lengkap):

Masalah (Sekolah Terbaik) Indonesia
(Kompasiana, 20 April 2012)

Masalah (Tempat Sekolah Terbaik) Indonesia

JANGAN harap untuk menemukan gading di mulut kucing (Pepatah Cina).

LALU, di mana sih (tempat sekolah terbaik) Indonesia?

Debat kusir (polemik) buku Lembar Karya Siswa (LKS), Buku Pedoman Belajar (BPB), Ujian Nasional (UN), kurikulum, Standarisasi Bahan Ajar (SBA), guru, dosen, sekolah, universitas, pendidikan, sumber daya manusia, tak habis-habisnya. Bila didalami, semua bertujuan mendidik (maha)siswa agar menjadi berkualitas unggul dibanding (bangsa) yang lain. Seperti dijelaskan pada Masalah (Pendidikan) Indonesia (Kompasiana, 22/01/02): “Intinya, tanpa ada milik (Indonesia) sendiri penemuan baru materi ajar paling unggul di bidangnya, tak akan pernah unggul dari yang lain”, Masalah (Kualitas Manusia) Indonesia (Kompasiana, 28/01/02): “Intinya, jika (manusia Indonesia) ingin berkualitas tercerdas harus memiliki alat teknik atau teori termaju (dibanding siapa pun di mana pun) di bidangnya” dan Masalah (Rasional Manusia) Indonesia (Kompasiana, 14/02/02): “Intinya, jika (manusia) Indonesia ingin unggul tanpa memiliki dan menguasai alat sistem ilmu dan alat teknik termaju dibidangnya dibanding yang lain adalah tidak rasional. Mimpi!”. Alat bantu pikiran berupa teori (sistem) ilmu (soft techneque) dan alat bantu panca indera berupa alat teknik (hard techneque). Dalam prakteknya keduanya terpadu satu.

Artinya, sekolah terbaik untuk belajar adalah tempat (di mana pun) yang mengajarkan (siapa pun) alat iptek paling maju (dibidangnya). (Maha)siswa lulusannya memiliki keahlian atau keterampilan (sistem) ilmu dan alat teknik yang diajarkan, dapat menerapkan serta mengembangkannya mandiri di dunia kerja. Selama tidak ada penemuan alat iptek baru yang mengakibatkan perubahan berarti pada bahan ajar lama, sekolah dan pengajar di mana pun tidak masalah. Jika ada, maka bahan ajar lama dinyatakan ketinggalan, bahkan keliru sehingga harus direvisi, bahkan dibuang. Fasilitas mewah, pengajar bergelar, bahan ajar luar negeri bergengsi pun, percuma.

Intinya, jemput pulang ilmuwan dan ahli teknik Indonesia kategori “summa cum laude” untuk mengajar di dalam negeri. Kategori istimewa ini pasti tidak banyak (dan bukan siapa pun kategori “di bawahnya” meski bernilai sempurna). Beberapa negara sangat melindungi ketat dan memanjakannya, karena berpengaruh besar bagi keunggulan bangsanya dan kemajuan dunia. Sejarah dunia mencatat kepindahan Albert Einstein dari Jerman dan Enrico Fermi dari Itali ke Amerika Serikat, contoh kerugian dan keuntungan bagi negara yang ditinggalkan dan menyambutnya.

Untuk apa mengirim beasiswa mahal belajar ke luar negeri (kecuali tidak ada pilihan lain), yang selesai pun belum tentu “summa cum laude” atau belum tentu diwariskan alat iptek terbaik dari pengajarnya (mungkin karena tidak ada ikatan emosional bangsa). Bila pengajar kategori istimewa didatangkan maka jumlah (maha)siswa diajar banyak, biaya relatif lebih murah dan pengaruh berganda dahsyat. Murid hebat sering karena gurunya hebat. Plato belajar dengan Socrates. Johannes Kepler belajar dan mewarisi Tycho Brahe. Niels Henrik David Bohr belajar dengan J.J. Thompson dan kemudian Ernest Rutherford. Tetapi, yang lebih strategis kepindahan mereka membuat keunggulan bangsa sekaligus melemahkan bangsa lain. Dan jangan lupa, mereka kategori istimewa ini mungkin saja ada di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), perguruan tinggi, pemerintahan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), lembaga lain atau mungkin di bengkel desa terpencil. Mungkin saja.

JADI, jelas masalah tempat (di mana dan pada siapa belajar) sekolah terbaik Indonesia? Dan, tinggal terus debat kusir hal belajar mengajar tak habis-habisnya atau berbenah di akar persoalan sebenarnya dulu!

MANUSIA dapat berada pada tingkat imajinatif lebih tinggi, tidak terletak pada kenyataan memiliki daya imajinasi lebih halus, melainkan karena dapat membuat peralatan yang lebih baik (Alfred North Whitehead).

BAGAIMANA Strategi Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun