Mohon tunggu...
Qhety Biring
Qhety Biring Mohon Tunggu... -

simple

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Multikulturalisme

28 Mei 2011   05:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:07 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah berapa kali kumpulan cerpen ini dicetak ulang. Seribu Kunang-kunang di Manhattan, yang meraih penghargaan cerpen terbaik versi Majalah Horison pada tahun 1968, pertama kali diterbitkan dalam satu kumpulan cerpen dengan judul yang sama pada tahun 1972. Dan Grafiti mulai menerbitkan ulang kumpulan cerpen ini pada tahun 2003 untuk mengenang satu tahun meninggalnya Umar Kayam

Seribu Kunang-kunang di Manhattan diterjemahkan dalam 13 bahasa daerah. Cerpen ini bersetting Amerika, karena cerpen ini menampilkan problem sosiologis perubahan-perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industri, cerpen ini juga merekam simbol-simbol modernitas yang sangat sukar dialihkan pada nuansa sosiologis bahasa daerah, selain itu tokoh-tokohnya tetap tampil dengan karakter yang tidak bisa larut, masing-masing tetap pada pandangan dunianya.

“Bulan itu ungu, Marno.”
“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu?”
“Ja, tentu saja, kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu bukan?”
“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”
Dari dapur Jane mencoba berbicara lagi.
“Tommy, suamiku, bekas suamiku, kau tahu…..Marno darling.”
“Jaa, ada apa dengan dia?”
“Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.”
Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke sofa, kali ini duduknya mepet Marno.
“Di Alaska. coba gambarkan di Alaska.” Op.Cit.
[…]
“Tapi minggu yang lalu kau bilang dia ada di Texas atau Kansas. Atau mungkin Arkansas.”
“Aku bilang, aku merasa Tommy ada di Alaska.”
“Oh.”
“Mungkin djuga dia tidak di mana-mana.”
[…]
Lampu-lampu yang pada berkelip di belantara pencakar langit yang kelihatan di jendela, mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.
[…]
“ Marno waktu kau masih kecil….Marno kau mendengarkanku ‘kan?”
“Ja”
“Waktu kau masih kecil pernahkah kau punya mainan kekasih?”
“Mainan kekasih?”
“Mainan jang begitu kau kasihi hingga kemanapun kau pergi selalu harus ikut?” “Aku tidak ingat lagi Jane. Aku ingat sesudah agak besar aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si Djlamprang”.
“Itu bukan mainan, itu piaraan:
“Piaraan bukankah untuk mainan djuga?”
“Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom”.

Kedua tokoh dalam cerpen di atas mewakili dua kultur yang berbeda. Masing-masing tokoh mencerminkan keterasingan karena perbedaan kultur yang tegas dan perbedaan kepentingan. Jane memikirkan suami dan masa kanak-kanaknya. Sedangkan Marno mengenang dusunnya di Indonesia. Dari ketinggian apartemen, Marno melihat lampu-lampu yang berkerlip dari gedung-gedung bagaikan kunang-kunang di sawah kakeknya di desa. Keduanya berpijak pada dunia masing-masing dan berdialog dengan pikiran masing-masing. Umar Kayam mempertemukan keduanya, mendialogkan dalam konteks multikulturalisme.

Kekhasan karya Umar Kayam menyebabkan cerita-ceritanya tak pernah hanya memiliki satu arti. Ia memberi kebebasan penuh pada pembaca untuk menyimpulkan dan menafsirkan cerita. Ia sekadar memberi gambaran suasana tertentu dan melalui suasana yang terbias dari batin tokoh-tokohnya. Sejumlah tema bisa muncul, pembaca dapat menemukan tema cerita dari banyak segi, sesuai dengan horison harapan masing-masing. Unsur inilah yang membuat karya-karyanya istimewa.

Karya sastra Umar Kayam membawa genre baru sebagai “kisah suasana”. Dalam cerpen maupun novelnya, suasana setting kisah begitu kuat hingga pembaca tenggelam mengimajinasikannya. Ia adalah seorang materialis radikal dalam bersastra maupun dalam kesehariannya. Properti-properti yang disajikan untuk mendukung suatu kisah dalam novelnya diuraikannya secara mendetail. Kemampuan inderawinya menyeluruh dan tajam, mampu menangkap detail-detail, dan partikularis. Sebenarnya gambaran semacam ini juga untuk mengatakan “style” Umar Kayam sebagai seorang ilmuwan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun