Tubuhku menjadi lunglai, semangatku yang tadi berkobar-kobar meredup seketika menyaksikan kekalahan timnas Indonesia dalam adu penalty. Indonesia kembali menangis, para pemain tertunduk lesu dihadapan puluhan ribu pendukung yang meletakkan harapan juara pada pundak-pundak mereka. Aku menangis di dalam hati. Bapak lantas masuk ke kamarnya karena kutahu beliau kecewa atas kekalahan timnas Indonesia untuk kesekian kalinya. Harga diri bangsa jatuh di antara teriakan-teriakan kegirangan pemain Malaysia yang berpelukan satu sama lain merayakan kemenangan dan meraih medali emas. Impian untuk revans tak terpenuhi. Tuhan ternyata lebih menghendaki negeri jiran itu menjadi sang Pemenang untuk kali ini mengulang sukses mereka di Sea Games sebelumnya.
Aku mematikan televisi, kudengar bapak mengomel didalam kamar mengapa Timnas tak memainkan Ferry Rotinsulu. Sinetron Tutur Tinular kesayangannya terlewatkan malam ini hanya demi menyaksikan kegagalan beruntun timnas Indonesia.
Tak ada gunanya lagi nonton acara apapun malam ini. Aku ingin lekas tidur dan berharap dalam mimpiku dapat melihat Timnas Indonesia meraih berbagai gelar dan lolos ke Piala Dunia. Ah, ternyata dalam mimpipun Tuhan tak mengabulkan doaku untuk Timnas Indonesia. Seakan Tuhan berkata ; “Benahi dulu kompetisi dalam negeri, sepakbola jangan di politisi. Baru kalian boleh bermimpi untuk meraih kejayaan timnasmu kelak suatu hari nanti!”
TAMAT