RECOVERY KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL
Oleh :Â HERY SUSANTO, MSi
Direktur Eksekutif KomunaL
Krisis energi nasional, terus menjadi perbincangan yang mengemuka di tengah ruang publik kita. Mengapa, karena saat ini cadangan sumber daya energi nasional yang konon berlimpah seolah hanya sebuah pepesan kosong. Fakta di lapangan banyak ditemukan kasus kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) yang semakin melambungkan harga komoditinya. Alih-alih pemerintahan Jokowi-JK pun mengawali kinerja pemerintahannya dengan menaikkan harga BBM. Ditambah lagi, hadirnya investasi asing sektor energi migas di Indonesia, kerap menyedot hasil migas ke luar negeri.  Kenaikan harga BBM pada tahun 2014 pun mengakibatkan inflasi menjadi naik sebesar 7-8%.  Ini berimplikasi pada kenaikan harga-harga barang lainnya yang memperlemah daya beli dan taraf hidup masyarakat. Sudah bisa dipastikan, makin menambah deret ukur masalah pengelolaan energi dan sumberdaya mineral nasional.
Sebuah negara ada yang tidak memiliki aset sumber daya energi, namun mempunyai stok energi yang memadai guna menunjang kebutuhan masyarakatnya dengan harga yang terjangkau, dan mampu menunjang kegiatan produksi industri untuk menyangga pertumbuhan ekonominya. Kedaulatan energi adalah hak setiap negara dan bangsa, dengan cara mempertegas kemandiriannya dalam menentukan arah, strategi dan kebijakan pengelolaan energi untuk kebutuhan bangsa sendiri dan tidak bergantung dengan pihak asing.
Ancaman Krisis Energi dan Dominasi Asing
Ironis, situasi terkini jumlah cadangan minyak di Indonesia kian menyusut. Minyak bumi merupakan sumber daya energi yang tidak terbarukan, karena pembentukannya memakan waktu yang sangat lama hingga ratusan tahun dari proses kimiawi dalam perut bumi. Â Akibat dieksplorasi dan dikonsumsi setiap hari tentu lambat laun akan habis. Seluruh cadangan minyak bumi di dunia ditaksir akan bertahan sampai 300 tahun. Â Berdasarkan badan statistik energi dunia tahun 2012, cadangan minyak bumi di Indonesia berkisar sekitar 0,3% dari cadangan minyak dunia. Kondisi itu berbeda jauh dengan Venezuela yang mempunyai cadangan minyak bumi hingga 300 milyar barel. Negara Arab Saudi mempunyai cadangan minyak sekitar 270 milyar barel. Dengan sisa cadangan minyak sekitar 3,6 miliar barel, Indonesia pun terancam krisis energi. Jika tidak dikelola dengan baik, dalam waktu belasan tahun saja, dikaitkan dengan tingginya tingkat produksi yang dialami, ditambah tidak ada stok cadangan minyak baru, semakin menggerus ketahanan maupun kedaulatan energi nasional. Â Butuh biaya yang sangat besar untuk menggali ladang minyak baru, minimal sejumlah 30 juta dollar, itu pun jika ditemukan minyaknya, jika tidak maka beresiko kerugian yang sangat besar pula.
Blok migas di Indonesia, saat ini masih dikuasai oleh perusahaan asing. Perusahaan yang menguasai eksplorasi migas yakni, Chevron 44%, Total E&P 10 %, Conoco Philip 8%, Medco 6%, CNOOC 5%, Petrochina 3%, BP 2%, Vico Indonesia 2%, Kodeco Energi 1%, lainnya 1%. Indonesia mempunyai perusahaan yang bergerak di bidang migas yakni PT Pertamina. Namun, perusahaan ini hanya mampu mengeksplorasi 16% saja. Pemerintah Indonesia belum mampu memberikan ijin pengelolaan blok migas yang lebih besar lagi untuk perusahaan dalam negeri itu. Pemerintah sebagai representasi negara tidak tampil memposisikan dirinya untuk kedaulatan energi nasional. Â Â Alih-alih, negara malah ikut andil dalam penjualan aset bangsa kepada pemodal besar yang kebanyakan dari pihak asing.
Hadirnya globalisasi menuntut terjadinya persaingan pasar global yang berdampak terhadap harga sebuah komoditas di negara manapun. Bergabungnya Indonesia sebagai anggota OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries), justeru semakin memperparah posisi harga minyak dalam negeri. OPEC mengatur produksi dan menentukan harga minyak dunia. Akibatnya, Indonesia pun harus menyuplai minyak mentah ke luar negeri. Setelah menjadi minyak siap pakai lalu Indonesia mengimpornya untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri, tentu dengan biaya yang lebih tinggi. Harga minyak pun menjadi mahal, jelas berpengaruh terhadap daya beli masyarakat kita sendiri yang masih belum pulih total dari krisis ekonomi.
Keikutsertaan Indonesia dalam keanggotaan OPEC menunjukkan tidak berdaulatnya negeri ini dalam pemenuhan energi. Dimana kuota konsumsi dalam negeri harus bergantung pada tingkat konsumsi ekonomi global. Pemerintah Indonesia ke depan musti banyak belajar dari negara yang mempunyai cadangan migas seperti Iran, Venezuela, Ekuador, Bolivia dan negara Amerika Latin. Sebab, negara-negara tersebut meski alami embargo ekonomi dan politik dari pihak asing (baca : Amerika Serikat), tetapi cadangan migas nya mampu direalisasikan untuk kebutuhan rakyatnya sekaligus pula menunjukkan kedaulatan energi nasional. Bagaimanapun juga persoalan ketersediaan sumber daya energi bangsa ini harus segera diatasi untuk dikelola secara maksimal oleh bangsa sendiri bukan pihak asing.
Misalnya, pengelolaan sumber alam berupa emas di Propinsi Papua, yang semestinya dapat menjadikan warganya sejahtera, malah dikelola secara dominan oleh PT Freeport Indonesia. Begitu pula terjadi di wilayah pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan seluruh wilayah NKRI lainnya yang mempunyai stok kekayaan alam berupa sumber daya energi dan mineral, yang umumnya daerah kaya SDA tetapi masyarakat sekitarnya miskin. Hasil eksploitasi SDA yang ada tidak merubah kesejahteraan warga di daerah tersebut bahkan tetap masih saja tertinggal. Â Masih banyak sekali warga di daerah itu yang tidak terjangkau jaringan energi listrik. Kondisi masyarakat di daerah itu pun kembali memperjelas ketiadaan kedaulatan energi nasional.
Recovery Kebijakan Energi
Pemerintah Indonesia harus menata ulang regulasi dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya sumber energi berupa gas, minyak bumi dan mineral. Regulasi yang dimaksud harus bisa mengatasi ancaman krisis energi. Â Guna terwujudnya kedaulatan energi nasional, pemerintah mustinya menekankan prinsipPrivate Public Partnership. Prinsip yang mengedepankan pola kemitraan proporsional, bukan menjadikan Indonesia menjadi ordinat bahkan sub ordinat. Pemerintah Indonesia dalam menjalin kerjasama dengan investor asing, harus tetap menjaga kedaulatan energi bangsa ini, bukan malah melepasnya. Disini sangat diperlukan objektifitas dan rasionalisasi terhadap tawaran investasi, diversifikasi portofolio maupun prioritas kerjasama usaha dari kedua belah pihak secara proporsional. Dengan kata lain, kerjasama investasi tersebut musti menunjukkan lisensi usaha eksploitasinya, memperjelas kewajiban perusahaan dalam reinventarisasi modal dan keuntungannya untuk industri pengolahan bahan baku, membatasi ekspor bahan mentah, mengalokasikan biaya lingkungan yang optimal, serta kewenangan untuk memberikan maupun mencabut insentif fiskal.
Saat ini, kinerja Kabinet Jokowi-JK, sangatlah diharapkan mampu mengemban tuntutan publik untuk menghadapi ancaman krisis energi nasional. Harapan itu tentunya harus tertuang dalam program 5 tahun ke depan. Berikut tawaran 5 agenda program pembangunan guna recovery kebijakan energi nasional.  Pertama, Mengembalikan tatakelola migas nasional sesuai Pasal 33 UUD 45 dengan penyelesaian revisi UU Migas. Kedua, Membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi dan air dengan kapasitas 10.000 MW dan melaksanakan penyediaan listrik nasional mencapai ratio 100 persen sampai tahun 2019. Ketiga, Mendirikan kilang-kilang minyak bumi, pabrik etanol dan pabrik DME (pengganti elpiji) serta infrastruktur terminal penerima gas dan jaringan transmisi/distribusi gas baik oleh BUMN dan atau swasta. Keempat, Memperluas konversi penggunaan BBM kepada gas dan energi terbarukan dalam pembangkit listrik PLN; melakukan investasi langsung untuk peningkatan kapasitas, pemeliharaan, dan peremajaan infrastruktur transmisi dan distribusi listrik guna meningkatkan kehandalan pasukan; serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya air dan pembangkit listrik mikrohidro bagi pemenuhan listrik daerah-daerah terpencil. Kelima, Mengurangi subsidi BBM khusus terhadap orang kaya melalui mekanisme pajak dan cukai, serta membangun sistem subsidi energi yang lebih tepat sasaran dan lebih berkeadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H