Lima tahun yang lalu, saya adalah seorang sarjana muda yang masih ingusan dan mencoba peruntungan untuk mencari pekerjaan di Ibukota. Pikir saya saat itu, setelah lulus saya akan bekerja di perusahaan dan mendapat gaji besar lalu dari gaji itu saya mampu membeli ini dan itu. Tak lupa saya pun berfikir untuk bisa memberikan uang kepada orang tua saya di kampung setiap bulannya. Saya yakin, hampir semua sarjana muda punya mimpi yang sama dengan saya.Â
Dua bulan pasca kelulusan, saya masih bertengger di kampus membantu urusan akademik dosen di tempat saya menimba ilmu dulu. Sambil saya terus mengajukan lamaran dari perusahaan A sampai Z. Sampai suatu saat saya mendapat panggilan psikotest dari salah satu perusahaan. Saya pun dengan riang gembira datang dan menjalani serangkaian psikotest. Namun hasilnya masih nihil.Â
Datang lagi panggilan dari perusahaan lain, tetap dengan sistem yang sama, psikotest, setelah itu tidak ada kabar lagi. Begitu terus sampai akhirnya saya jenuh dan berpikir ulang. Berpikir jika sebenarnya saya telah bekerja dan mendapat gaji tiap bulannya, lantas kenapa saya harus mencari lagi? Mungkin pekerjaan ini tidak terlihat keren, karena penampilan saya tetap saja seperti mahasiswa tidak seperti pekerja kantoran lain yang terlihat seperti eksekutif muda.Â
Lima tahun kemudian, saya adalah seorang mahasiswa magister, seorang istri, dan juga seorang ibu. Tidak mudah bagi saya menjalani ketiga peran tersebut. Padahal sebagai seorang mahasiswa tingkat akhir, saya sudah tidak punya banyak aktivitas di kampus dan lebih sering di rumah. Lantas saya merefleksi diri, jika saja saat itu saya benar bekerja di suatu perusahaan perlente mungkin urusannya akan lebih rumit dari saat ini. Mendengar cerita teman-teman yang berperan sebagai working mom, seringkali mereka mengeluh dengan kondisi pekerjaan yang tidak mengenal waktu. Belum lagi urusan rumah, suami, anak bahkan dengan teman sekantor. Lantas tidak sedikit dari mereka yang akhirnya resigndari kantor. Meski keputusan untuk resign menuai pro dan kontra, namun mereka berhasil melewati itu.Â
Saya mengamati teman-teman saya dan mendapati banyak pelajaran dari mereka. Pertama, ketika memilih resign, banyak sekali pandangan sinis dari keluarga dekat, saudara jauh, dan para tetangga yang berkata "sarjana kq cuma jadi ibu rumah tangga" atau "suaminya punya gaji gede sih, jadi keluar dari kerjaan".
Kedua,ternyata setelah resign dari pekerjaan, mereka jenuh dengan aktivitasnya yang itu-itu saja atau mereka rindu dengan teman-teman sekantor.Â
Ketiga,membuka bisnis online shop adalah salah satu pilihan yang mereka lakukan untuk mengusir kejenuhan.Â
Keempat, bagi working mom seringkali anak dititipkan ke ibu atau saudara sehingga banyak sekali memeyang menggambarkan seorang nenek atau ibu paruh baya yang menggendong anak kecil dan bertuliskan "iki sakjane anakmu opo anakku toh". Â
Dari meme itu mereka berpikir, menjadi working mom membuat mereka tidak dapat 24 jam menjaga dan merawat anak. Mereka bukan lagi orang pertama yang melihat perkembangannya.Â
Menjadi ibu yang secara full mengurus anak dan suami atau working mom adalah sebuah pilihan. Mereka punya alasan masing-masing kenapa harus resign atau harus tetap bekerja. Tidak perlu menghakimi setiap keputusan yang mereka ambil. Jangan terlalu bangga ketika dirinya bisa bekerja sambil mengurus anak, atau bangga karena dirinya sebagai ibu full mengurus anak. Yang terpenting adalah tetap happy dan bersyukur sama Sang Pencipta hidup.Â
Tangerang, 27 September 2017
Ditemani rintik hujan yang tak kunjung berhentiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H