Mohon tunggu...
Rohayati Aya
Rohayati Aya Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer/A wife/A mother

S.KPm, IPB 2012 M.Si, IPB 2017 Pernah bekerja di lembaga pendidikan tinggi dan kementerian

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Akan Selalu Ada

20 Desember 2016   12:25 Diperbarui: 20 Desember 2016   12:33 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://www.satuharapan.com

Peristiwa kekerasan terhadap perempuan dan anak layaknya peristiwa gunung es. Dimana yang terlihat hanya beberapa bagian saja, padahal dibawah masih ada bagian yang tidak terlihat karena tertutupi oleh tingginya permukaan air laut. Sama saja dengan peristiwa kekerasan terhadap perempuan dan anak. Data yang ada selama ini hanya data atas kejadian yang dilaporkan. Bahkan jika kekerasan yang dialami tidak begitu parah, korban dan saksi tidak akan berani melaporkan kepada pihak yang berwajib. Harus menunggu hingga korban terlihat parah dan tidak berdaya baru melaporkan kejadiannya. 

Merujuk Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama (PA-BADILAG) dan layanan lembaga mitra Komnas Perempuan dilansir oleh Komnas Perempuan terdapat 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2016. Dari data itu saja sudah banyak, lalu kasus yang tidak terdata? Jawabannya sangat banyak. Kekerasan terhadap perempuan dan anak pun terjadi di berbagai ranah. Ranah personal seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), komunitas (publik), dan negara. 

Kekerasan Ranah Komunitas (Publik)

Sebagai perempuan, saya pun tidak luput dari kekerasan, terutama kekerasan seksual di transportasi umum. Suatu hari saat kereta ekonomi lintas kota tidak sebagus seperti sekarang ini. Saya berdua dengan teman perempuan saya, duduk berhadapan dengan seorang laki-laki umurnya sekitar 30an. Laki-laki itu mengenakan kaos dan celana jeans di atas lutut. Awalnya ia hanya berbincang biasa dengan kami, menanyakan asal kami, apa tujuan datang ke Jakarta, dan pertanyaan umum lainnya. 

Namun, ketika kereta sudah lengang dan tinggal kami bertiga di kursi, ia bertingkah aneh. Ia memaksa kami untuk memberitahu alamat lengkap kami dan meminta nomor handphone kami. Karena saya tidak ingin ada apa-apa terjadi, akhirnya saya pun mengatakan dengan permohonan maaf jika kami tidak dapat memberitahunya. Ia pun kecewa dengan jawaban saya dan mulai meracau tidak karuan. Sesaat kami hanya diam, namun tiba-tiba kaki laki-laki itu menggerayangi kaki saya. Saat itu saya mengenakan celana jeans panjang, sepatu kets lengkap dengan kaos kaki. Awalnya kakinya mulai bertumpu pada sepatu saya, lama-lama naik ke bagian kaos kaki saya. Saya dan teman perempuan saya tidak tahan dengan perlakuan laki-laki tersebut dan akhirnya kami langsung pergi ke gerbong lainnya. 

Jika saat itu saya sendiri dan tidak bersama teman perempuan saya, mungkin kejadian yang lebih parah dapat terjadi. Meskipun saat itu ada penumpang lainnya di gerbong kami, tidak ada satupun yang berani membela atau menolong kami. Padahal bisa saja kami laporkan kejadian tersebut kepada petugas kereta api, namun untuk alasan apa? Bisa-bisa malah kami yang dituduh melebih-lebihkan kejadian. 

Kekerasan Ranah Personal

Kasus di atas salah satu contoh kekerasan di tempat umum. Lalu bagaimana kekerasan terhadap perempuan dan anak di dalam rumah? Tidak perlu jauh-jauh, di lingkungan saya tinggal atau bahkan di semua lingkungan seperti orang tua, saudara, atau tetangga pasti ada yang melakukannya. Namun dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga seringkali saya terkecoh. Terkadang perempuan adalah penyebab kemarahan lelaki. Perempuan seringkali meluapkan kekesalannya dengan berbicara bahkan mengumpat suaminya. Dengan kondisi lelah, biasanya suami tidak akan segan untuk memukul istrinya atau menjambak rambutnya. Jika seperti ini, anak bisa jadi korban juga. Karena sedikit kesalahan anak, ayah atau ibunya akan memukul si anak, mengurung di dalam kamar, menyiramkan air ke wajahnya, atau menenggelamkan wajahnya ke kolam. 

Kejadian seperti di atas terjadi karena berbagai faktor. Dan pelaku kekerasan sebelumnya juga mendapat tekanan batin yang luar biasa sehingga sampai tega melakukannya. Menurut hemat saya, dari hasil pengamatan dan penjelasan dari berbagai sumber, hal yang paling mungkin menjadi penyebab kekerasan adalah faktor ekonomi keluarga, pernikahan dini, pendidikan orang tua yang rendah, tuntutan keluarga besar dan tetangga, dan lainnya. 

Program Three Ends

Bukannya pesimis, namun bagi saya kekerasan terhadap perempuan dan anak sulit untuk diminimalisir jika masalah lainnya di negeri ini pun mengantri untuk ditangani. Jika kita berkiblat pada negera-negara di benua Eropa atau Amerika, disana kesadaran untuk melaporkan tindak kekerasan sudah sangat tinggi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun