Mohon tunggu...
Boil
Boil Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bekerja dalam soenyi

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Coretan Limbah

25 Mei 2011   02:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:16 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Langit, hujan badai, jendela ngamuk, pintu terkunci.
" ah, imanku goyah...

Rupiah-rupiah membuat atap dan langit-langit penuh sarang laba-laba, seisi rumah berdebu dan berantakan.

Awan berarak memenuhi kornea mataku, kepalaku ikut terbuai bersama bayu yang lincahnya tak beraturan, sejenak kucoba berpasrah mengganti sudut tatapanku menuju sebuah sungai. Lalu lalang sampan di sungai Martapura sedikit menyegarkan.

'' Olala, jamban-jamban menghiasi pemandangan yang mengalir.
'' Sebagian mereka mandi dan mengambil airnya sungai, dimanakah gerangan mata air tersenyum sepanjang hari ?

Imagiku segera melayang kearah bebukitan lintang selatan, teringat akan sebuah waduk diantara bukit-bukit yang kokoh berdiri, bersama gagahnya sang pembangkit energi listrik diantara desa-desa yang dulu pernah ada sebelum pembangkitnya ada disana. Sepanjang anak sungai yang tak jauh dari sang mata air, mesin-mesin domping berjajar rapi dan bernyanyi sepanjang hari, bersama keringat-keringat para penambang yang bercucuran diatasnya menari-nari senyum sang bromocorah berhidung mancung dan bermata sipit.

'' Harga emas, semakin gila. Teriak salah seorang yang turun dari dalam mobil mewah yang mirip seperti milik para tentara Amerika.

'' Terus nyalakan domping, jangan takut solar habis !

Semangatnya terus berpacu, senyumnya semakin mengalir dan menyatu bersama pasir dari mesin penghisap, meninggalkan mercury dalam sungai-sungai yang mengalir menuju keperkampungan yang dimana banyak berjejer jamban beserta keramba-keramba penyambung nyawa.

*****
Hantu2 bergentayangan, memenuhi rumah kosong dan pohn2 besar.
"ah, dasar gelandangan mistik, tak punya investasi sewaktu hidup.

Terus menyetubuhi angka-angka, tanpa memikirkan lepasnya nyawa dari urat nadi, tetangga dan langit teriak, kau terus saja menyetubuhi nikmatnya angka yang mengangkara.

Ah, sungaiku kotor...
sekotor senyuman para manusia yang telah menjelma iblis neraka.

-------------
pinggir trotoar 25052011

by

bvb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun