Oleh: Ahmad Zainul Muttaqin
Sungguh menyakitkan ketika kemarin saya baca di media The Independent bahwa para Tentara yang melakukan "kudeta" militer kemarin ternyata tidak menyadari bahwa mereka adalah bagian dari aksi kudeta. Dari hasil interogasi terungkap keterangan bahwa mereka tidak tahu menahu dengan kudeta. Yang mereka tahu bahwa mereka hanya diperintahkan para komandannya untuk melakukan "manuver militer" di perkotaan sebagai bagian dari latihan. Apa yang anda pelajari dari pengakuan ini?
Melihat fakta ini rasanya sangat menyakitkan bahwa keluguan para tentara muda berpangkat rendah yang tidak tahu menahu soal politik ini sedang dimanfaatkan sebagai bidak-bidak catur untuk melakukan "kudeta" sporadis tak terkonsolidasi oleh kalangan elite yang coba menaikkan popularitas seorang penguasa guna memberinya alasan untuk melakukan pembersihan terhadap faksi-faksi militer yang tak sejalan dengannya.Â
Operasi false flag, ya sejauh ini saya sudah 75% percaya bahwa ini adalah operasi false flag seperti yang dilakukan Adolf Hitler pada tahun 1933. Mungkin anda berpikir operasi tipu-tipu kok sampai menghancurkan gedung Parlemen sendiri dan menewaskan ratusan orang? Kalau anda lihat sejarahnya Hitler juga dulu menghancurkan gedung Parlemennya sendiri pada peristiwa Reichstag Fire dimana dia menggunakannya sebagai alasan untuk mengekang kebebasan sipil dan melakukan penangkapan massal terhadap musuh-musuhnya. Bahkan tragedi WTC yang terindikasi kuat false flag pun dilakukan dengan menjadikan ribuan nyawa warganya sebagai tumbal.Â
Ya, semua demi pretext untuk aksi yang lebih besar. Jika USA dulu juga terindikasi melakukan false flag demi pembenaran untuk menginvasi Timur Tengah, maka tidak mustahil rezim Turki hari ini meniru cara Hitler untuk menaikkan reputasi Erdogan yang sedang redup di dalam negerinya sendiri. Dan juga sebagai lisensi bagi penangkapan massal terhadap musuh-musuhnya politiknya.Â
Sebagaimana yang disampaikan Jurnalis senior Turki Selim Caglayan semalam di TV One, bahwa kudeta militer kemarin penuh dengan kejanggalan bahkan ia menyebutnya sebagai "kudeta kosong". Ia berkata reputasi Erdogan di dalam negeri sedang redup karena kasus korupsi, isu kemitraan bisnis dengan ISIS, pembredelan pers, sampai kasus Ijazah palsu yang menimpanya. Belum lagi tentang pemulihan hubungan rezimnya dengan Israel dan politik kotornya di Suriah. Walau belum sampai pada kesimpulan akhir, indikasi ini memang sangat kuat.
Ya, jika memang kudeta kemarin hanyalah "false flag" dari rezimnya, setidaknya itu sudah berhasil karena sejak kejadian itu popularitas Erdogan melonjak. Permainan "playing victim" yang dilakukannya sukses mendatangkan simpati padanya, simpati dari negara-negara luar pun berdatangan.Â
Obama langsung melakukan pernyataan pers mengutuk kudeta dan mengajak seluruh pihak di Turki untuk bersatu mendukung Erdogan, bahkan dua kekuatan regional yang saling berseteru yaitu Israel dan Iran menyampaikan penolakan yang sama pada aksi kudeta kemarin. Termasuk tokoh oposisi Erdogan seperti Fethullah Gulen yang ia tuduh mendalangi kudeta tersebut juga turut mengecam aksi kudeta sporadis itu.Â
Tujuan skenario "kudeta" tampaknya sukses. Dan satu lagi, ia sekarang punya alasan kuat untuk bersikap tangan besi dengan melakukan pembersihan besar-besaran pada seluruh stakeholder di Turki yang berseberangan darinya. Dan sekarang tidak ada yang mampu menghentikannya untuk mendapatkan lebih banyak power di negara prakarsa Mustafa Kemal Ataturk itu, selain Tuhan.
Saya masih teringat dulu saat Erdogan terpilih pada pemilu 2014 kemarin dengan perolehan suara 52%, ia langsung berpidato, "Saya tidak hanya akan menjadi Presiden bagi 52% pemilih saya, tapi saya akan menjadi Presiden bagi seluruh 77 juta rakyat Turki." Dan kita lihat hari ini ternyata semua itu tak lebih dari sekedar ungkapan pencitraan. Dalam beberapa bulan saja Erdogan telah melakukan "pembersihan" terhadap para oposisinya, 2000 warga telah ditangkap karena dianggap menghina dirinya baik itu yang sekedar membuat status kritik di medsos sampai yang membuat meme lucu-lucuan menyamakannya dengan Gollum. Dan hasil tangkapan besar di "kudeta" kemarin, ia menjebloskan 2.893 Tentara yang dituduh terlibat kudeta dan memburu 2.745 hakim di seluruh Turki yang tak berpihak pada Rezimnya. Inilah perang sipil yang sebenarnya, dan ini belum akan berakhir.
Sangat "demokratis" bukan? Jangan lupa semua yang ia bersihkan itu adalah warga Turki asli. Jangan coba bandingkan dengan Presiden Suriah Bashar al Assad yang memerangi puluhan ribu pemberontak yang mayoritasnya militan asing yang "berjihad" di Suriah dengan disponsori dan dipersenjatai negara-negara Barat dan Teluk (info website SOHR 70% militan pemberontak berasal dari 126 negara). Sekarang perhatikan, walau hanya menghadapi jumlah pemberontakan yang jauh lebih sedikit dan jauh lebih lemah dibanding para misionaris yang melawan Assad, Erdogan sudah melakukan pembersihan besar-besaran terhadap para oposisinya yang notabene warganya sendiri dengan membabi-buta.
Sesuai skenario, kudeta militer "jadi-jadian" telah gagal. Namun jika Erdogan merespon moment bersejarah ini dengan cara yang salah, jangan kaget bila ini justru akan menghasilkan kudeta demokratis yang sebenarnya dalam waktu dekat.
Jangan lupakan juga fakta bahwa Erdogan pada pemilu 2014 kemarin hanya meraih 52% suara. Artinya suara rakyat tidak mutlak memilihnya, ada hampir setengah Turki yang tidak menjatuhkan pilihan padanya. Beda dengan Assad di Suriah yang meraih suara mutlak 88.7% suara rakyat. Bila ia terus bertangan besi dan bermain kotor di kawasan, jangan salahkan bila kemenangannya yang sedikit itu tak akan banyak menolong.
(Tulisan ini sudah saya post di akun Fans Page saya Ahmad Zainul Muttaqin pada sehari yang lalu dan mendapat tanggapan antusias yang beragam)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H