Oleh: Ahmad Zainul Muttaqin
Kalau dulu saya pernah bicara tentang fenomena "awam religius", maka sekarang saya ingin mengangkat topik tentang "anak-anak puber" dalam berkeyakinan di negeri ini.
Bagaimana cirinya?
Biasanya mereka sangat doyan berdebat dengan orang-orang yang berbeda agama/mazhab demi menunjukkan "kesesatan" orang yang ia ajak debat.
Biasanya orang-orang tipe begini adalah orang-orang yang baru belajar bab awal dari ajaran baru yang dianggapnya keren. Merasa menemukan kebenaran (padahal baru bab 1) sudah semangat menunjukkan "kesesatan" orang-orang yang ia anggap sesat. Dan maaf saja, tidak sedikit muallaf yang begini.
Bukan hanya dengan yang berbeda agama. Di dalam islam sendiri ada beberapa pengikut Sunni yang baru mengenal ajaran Syi'ah (atau sebaliknya), lalu ia melihat kebenaran di dalam ajaran barunya, lalu dengan gaya "puber" nya rajin unjuk gigi dengan memamerkan kebenaran baru yang ia terima seraya menyesatkan ajaran lamanya yang ia anggap sesat.
Maklum masih puber, masih terpana dengan "pengalaman baru"nya lalu ingin pamer dan unjuk gigi dengan mengumbar "kesesatan" golongan lain seakan tidak punya urusan lain selain mengusik keyakinan umat lain yang telah ada ribuan tahun bahkan sebelum buyutnya lahir.
Anda dulu pernah sekolah? Apa sekolah anda dulu hanya memperbolehkan siswa dari agama anda saja yang belajar disana.
Dulu saat anda sekolah, bahkan anda tidak pernah peduli dengan agama teman sebangku anda. Saat anda belajar kelompok, anda tidak pilih teman-teman belajar kelompok karena agamanya (tapi karena pinternya). Bahkan sudah berapa kali dulu anda yang muslim belajar kelompok di rumah teman anda yang Kristen ditemani lukisan Yesus dan Bunda Maria?
Saat dulu di sekolah anda berkelahi, apa anda berkelahi karena agama? Paling anda berkelahi karena beda geng, rebutan sesuatu atau olok-olokan, lagi-lagi bukan karena agama. Saat itu kita terbiasa dengan perbedaan agama karena biasa bersama.
Satu hal yang sangat patut diapresiasi, budaya kita menanamkan sejak kecil berkelahi di sekolah karena agama adalah hal yang tabu dan malu-maluin, apalagi di sekolah negeri yang siswanya plural.
Tapi seiring bertambah dewasa, tabu itu hilang. Lingkungan-lingkungan kita yang eksklusif dalam belajar agama membuat kita paranoid terhadap yang berbeda agama, bahkan yang sekedar berbeda mazhab.
Efek dauroh mingguan kelompok A, menyalah-nyalahkan kelompok dauroh B. Pengikut Holaqoh 'anu' yang mengusung paham 'anu', menyalahkan pengikut jemaah Thoriqoh 'anu' yang mereka sebut ahlul bid'ah, ingkar sunnah, musyrik, bla..bla..
Sungguh mengerikan, begitu banyak hari ini yang salah kaprah dalam beragama. Semakin belajar agama, semakin paranoid terhadap yang berbeda agama. Semakin mengenal Tuhan, semakin menjauh dari sesama makhluq Tuhan. Beginilah persisnya cara belajar agama para teroris. Bukankah selalu terbukti bahwa lingkungan para tetangga teroris selalu berkata para terduga teroris itu selalu "eksklusif", jarang bergaul dengan tetangga, tapi mereka begitu akrab dengan sesama anggota jemaah kelompoknya sendiri.
Jika belajar agama membuat anda semakin jauh dari sesama hamba Tuhan, membuat anda membenci sesama makhluq Tuhan (bukan karena dia zalim atau berbuat kerusakan) maka pasti yang anda ikuti bukan "Agama Tuhan", tapi agama ashobiyyah (fanatisme kelompok).
Jika agama membuatmu menjadi semakin buruk sangka, membenci perbedaan, gampang men-cap buruk orang lain (bukan karena dia zalim atau berbuat kerusakan) maka kau harus mengecek yang kau sembah itu Tuhan atau egomu.
Caramu mempraktekkan agama lebih penting dari agama itu sendiri. Agama tidak membuatmu menjadi lebih mulia sampai tingkah lakumu dalam beragama yang membuatmu mulia.
Jadi teringat kata-kata Guru bangsa K.H Abdurrahman Wahid, "Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H