Mohon tunggu...
selvia yuliawati
selvia yuliawati Mohon Tunggu... -

hidup itu pilihan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seratus Perak

10 Januari 2014   10:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:58 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seratus Perak

Aku tidak akan tau apa yang akan terjadi denganku jika hari ini aku tidak bekerja. Mugkin aku akan kelaparan karena tidak punya uang untuk membeli makanan. Mungkin aku juga akan kehausan karena tidak bisa membeli sebotol soda minuman favoritku. Jangankan untuk membeli sebotol soda,segelas air putih pun tidak mampu aku beli jika penghasilanku hari ini tidak mencapai dua ribu rupiah. Kadang aku haya menelan air ludahku sendiri untuk mengobati rasa haus yang tak tertahankan, terkadang aku juga hanya memita segelas air putih kepada penjual minuman di setasiun dengan tampang memelas. Itu pun jika merek mau memberiku segelas air putih dengan Cuma-uma.

Ya, aku hanya seorang anak kecil berusia 14 tahu yang mejadi seorang glandangan di ibu kota. Bayak orang yang memandangku tidak berharga, bahkan ada yang memandang diriku seperti sampah ibu kota yang tidak berguna.

Berawal dari bakatku bernyayi dan sebuah gitar kecil tua dalam genggamanku aku berinisiatif untuk mencari uang untuk menyambug hidupku dengan menjadi seorang musisi jalanan. Bahasa kasarnya aku hayalah seorang pengamen jalanan.

Di lampu merah aku menukarkan suaraku dengan uang seratus perak, di perumahan aku mengetuk pintu setiap rumah peduduk berharap mereka memberiku sekeping uang seratus perak atau berharap selembar uang hijau yang diberikannya padaku. Itulah kesibukan sehari-hari yang aku jalai dibawah kolong langit ini. Bergelut degan panasnya matahari siang, bertahan dari sesaknya udara-udara kotor kota metropolitan ini. Kehidupan yang berat bagi seorang anak kecil sepertiku.

Aku tidak habis pikir megapa semua ini terjadi padaku, aku tidak habis pikir mengapa jalan hidupku sesulit ini. Pernah aku berpikir ini adalah anugrah dari Sang Maha Esa, pernah juga aku berpikir ini adalah kutuka dari Sang Maha Esa. Namun jika ini anugrah mengapa yang kurasakan sesakit ini? toh kata orang anugrah itu mengembirakan, namun apa sebaliknya? Dan jika ini kutukan, kesalahan fatal apa yang pernah aku lakukan? Ini nampaknya menjadi misteri bagi diriku sendiri dan tak tahu kemana aku mencari jawaban atas teka-teki kehidupan ini.

Walau kehidupanku amat berat tapi aku masih bisa mesyukurinya. Banyak orang di luar sana lupa akan hal mengucap syukur karena mereka berkelimpahan harta. Mata mereka seakan-akan buta karena sebuah kekayaan dan kekuasaan yang tidak lain itu hanyalah kenikmatan sesaat di dunia. Mereka sering lupa atau pun tidak mau untuk sekedar member sedekat kepada orang-orang kecil seperti ini.

Sisi lain di kehidupan jalan sering pula banyak kutemuhi hal-hal yang menimpang. Teman-teman seperjuanganku sering mencopet dompet-dompet tebal milik anak kuliahan atau milik tante kaya. Namun aku tidak ikut-ikutan hal yang buruk itu. Aku masih diberi kekuatan, ketabahan dari yang Maha Pencipta untuk terus berjuag walau dengan cobaan yag begitu berat ini. Mengamen adalah caraku bersyukur dan beribadah karena dari mengamen aku mampu memahami tentang arti syukur itu. Toh didalam hidup ini kita sebagai manusia haya bisa berusaha dan berusaha hasilnya Allah SWT yang menentukan.

Untung saja aku punya teman seperjuangan yang masih bisa menguatkaku untuk menjalani hidup, Doni namanya. Doni sangat mengerti keadaanku begitupun aku mengerti keadaan Doni. Nasib kita hampir sama. Jika Doni menjadi pengamen karena kedua orang tuanya telah meninggal lain halnya denganku. Orang tuaku masih hidup tapi akau tidak tahu dimana mereka berada karena berawal dari sebuah perceraian akhirnya aku menjadi pengamen jalanan hingga saat ini.

Hari demi hari aku lalui bersama sahabatku Doni. Kita megamen bersama, aku bermain gitar dan menyanyi,Doni memukul drum yang terbuat dari peralon bekas bangunan. Sesederhana itu kami menjalaninya dan hasilnya juga sederhana sekali. Beruntung sekali jika kita mendapat uang receh banyak. Sisanya masih bisa kita tabung, sisanya lagi kadang dipalak oleh pengamen-pengamen stasiun, dan sedikit sekali untuk kami gunakan makan dan minum.

Hingga suatu ketika masalah menimpa Doni sahabatku. Hal yang tidak pernah aku bayangkan bisa terjadi. Aku melihat Doni tergletak ditengah jalan simpang lima. Mirisnya lagi tidak ada orag yang perduli pada Doni. Tidak ada yang mau menolong ataupun membopong Doni kepinggir jalan. Aku sempat berpikir apakah karena kita adalah orang-orang kecil hingga tidak ada yang meolong ditengah kondisi miris. Terpaksa aku lari miniggalkan warung minuman yang aku singgahi tadi menuju jalanan besar simpang lima untuk membopong Doni ke pinggir jalan.

Heranya orang-orang hanya melihat dari kejauhan memandangiku membopong seorang pengamen yang tengah terluka dibagian kepala hingga mengakibatkan pendarahan yang tak henti-henti di bagian kepala. Namun ada seorang tukang becak menghampiri kami di tepi jalan.

Dia berkata, “ Nak naikan temanmu ke becak abang, nak!” dengan nada garang.

Aku pun langsung menaikkan Doni ke dudukan becak itu dan abang becak segera mengayuh becak menuju rumah sakit terdekat. Sesampai di rumah sakit tukang becak itu berkata, “Tuhan hanya suka kepada orang-orang yang tabah hati dan mensyukuri segala sesuatu dengan iklas”.

Nampaknya benar omongan tukang becak itu di sisi lain tentu Allah SWT tidak adil dengan kehidupan ini. Banyak orang dapat tertawa terbahak-bahak sedangkan aku disini hanya berkelimpahan air mata buka berkelimpahan harta dunia. Aku hanya dapat berkesimpulan bahwa aku hanya bisa sabar dan pasrah dengan keadaan ini.

Setelah beberapa jam kami menunggu, akhirnya pintu kamar UGD terbuka dan tampak dokter keluar segera menghampiri kami berdua. Dokter haya menatapku saja tanpa sepatah kata yang terucap. Aku beranikan untuk bertanya kepada dokter tersebut mengenai keadaan Doni sahabatku. Yah, sempat terpikikan oleh ku bahwa keadaan Doni buruk hingga bisa membungkam mulut dokter yang seakan menutupi suatu rahasia besar.

Aku terus berpikir positif mengenai keadaan Doni, dan akhirnya dokter itu mulai menjelaskan kepada kami berdua dengan sangat hati-hati dan tampak lirih, kekawatiranku akhirnya terungkap. Sepatah dua kata yang keluar dari mulut dokter itu bagaikan pedang yang menghujam jantungku. Doni sudah tidak bernyawa karena kehabisan darah. Sudah ku pastikan dari tadi hasilnya akan seperti ini. Ternyata keajaiban tidak berpihak pada Doni . Doni sekarang sudah tiada.

Aku meghela napas panjang untuk menenagkan perasaanku yang campur aduk rasanya. Air mata ini mulai tak terbendung lagi membasahi pipiku. Abang tukang becak mengelus-elus kepalaku seakan mencoba memberiku semangat agar kuat meghadapi cobaan ini.

“ Kamu harus kuat Nak,” bisik abang tukang becak itu ditelingaku.

“ Iya,” jawabanku singkat.

“ Minum air putih ini Nak untuk menenagkanmu”

Segera aku minum air putih itu lalu aku membiarkan badanku dikursi ruang tunggu pasien. Mulai berat mata ini untuk terbuka, mulai letih badan ini untuk berbaring. Tanpa sadar aku mulai tertidur hingga esok hari.

Hari-hari pertamaku tanpa Doni terasa sangat berat. Sekarang aku hidup sediri lagi tidak punya harta dan tidak punya seorang sahabat. Satu hal yag dapat aku petik dari peristiwa tertabraknya Doni adalah hidup itu harus berjalan. Sebuah semangat yang selalu berkobar, senyum lebar yang menghiasi wajah itu, dua kaki yang selalu berjalan mengelilingi kota untuk mencari seratus perak. Itu semua adalah sikap doni yang selalu aku inggat.

Satu hal yang membuatku tersentuh adalah ketika aku meemuka sebuah gitar kecil yang masih terbungkus plastik toko disela-sela kardus. Aku memandagi gitar tersebut dan aku inggat ini adalah gitar yang ingin aku beli saat bersama Doni, saat itu aku berkata kepada Doni suatu saat aku ini membeli gitar ini dengan hasil mengamenku karena gitar ku sudah tidak bisa dipakai lagi. Aku berfikir mungkin ini adalah gitar pemberian Doni.

Mulai saat itu aku bangkit dari keterpurukan. Aku berjalan menyusuri pinggiran kota untuk mengamen. Walau hanya seratus demi seratus yang dapat aku kumpulkan untuk meyambung hidup. Satu keyakinan pada diriku sedikit demi sedikit lama-lama akan menjadi bukit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun