Mohon tunggu...
mufid fiddin
mufid fiddin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

saya adalah pribadi yang sangat suka dengan kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Dilema Kebiasaan Suatu Adat yang Harus Diikuti Sebelum Melakukan Pernikahan

18 Oktober 2014   02:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:37 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang teman bercerita, bahwa ada suatu pengalaman dalam kehidupannya berkaitan dengan pernikahan yang dibalut oleh adat dari suatu suku yang masih memegang teguh adat itu. Yakni sebuah peraturan yang harus diikuti sebelum melakukan persetejuan untuk menikah antara pihak laki-laki dan pihak perempuan.

Ceritanya adalah, salah satu dari temannya selepas kuliah, dan telah menemukan calon yang dianggap cocok ingin segera menikah. Kebetulan calonnya itu-si pria-tidak satu suku dengan teman sahabatku itu.

Untuk dapat mempersunting sahabat dari temanku itu, si pria harus bersedia memenuhi permintaan pihak perempuan yakni memberikan sejumlah uang yang sangat besar bagi ukuran pria itu. Pria itu tidak sanggup memenuhinya karena terlalu tinggi katanya kira-kira. Dan pria itu hanya sanggub sekitar 10 % nya saja dari jumlah yang di patok oleh pihak perempuan.

Karena si pria itu tidak sanggup memberi yang dijadikan syarat oleh keluarga pihak perempuan, maka pria itu pun ditolak. Dan rencana untuk mempersunting sahabat dari temanku itu pun kandas.

Lantas, dengan terjadinya penolakan itu, karena mungkin cinta sudah tertanam begitu dalam, si perempuan marajuk. Mengurung diri dalam kamar dengan tangisan yang tak jeda-jeda, dan itu terjadi selama berhari-hari. Nasi dimakan hanya sedikit sehingga mengakibatkan tubuhnya menjadi pucat dan sakit.

Karena iba, orang tua yang sangat mencintai buah hatinya tentu tidak tega. Dengan berat hati, bersiap menanggung resiko di sudutkan oleh masyarakat sesuku, orang tua perempuan itu memberi kesempatan sang pria untuk menikahi anak perempuan itu tanpa harus memberi sejumlah uang yang dijadikan syarat tadi. Walau dari hati yang paling dalan tidak ikhlas melepasnya.

Pernikahan pun terjadi. Tapi karena orang tua kurang ridho dan tanpa ada persyatan adat sebagaimana biasanya, pernikahan dilakukan dengan sangat sederhana. Hanya mengadakan do’a syukur mengundang beberapa masyarakat kampung setelah ijab qobul yang jadi inti pernikahan itu terlaksana. Tanpa ada pesta sebagaimana biasanya mempelai menjadi raja dan ratu walau hanya 1 hari.

Setelah prosesi pernikahan itu selesai, kesedihan dari kedua mempelai itu mulai muncul. Masyarakat kampung tidak ada yang suka, tokoh masyarakat tak menganggabnya mulia, bahkan orang tua dan keluarga dekatnya pun tak memberikan mereka ruang untuk berbagi bahagia karena tidak menggunakan syarat utama tadi. Mereka sangat sedih, terutama sang pria. Hidup di kampung itu bagai hidup di neraka pikirnya kira-kira.

Dan, di suatu hari yang sepi, karena keluarga di rumah itu ada undangan pernikahan dari saudara di kampung sebelah, mereka pun angkat kaki melarikan diri untuk mencari kebahagian di kampung lain. Walau sebenarnya mereka sadar sulit menemukan kebahagiaan tanpa ridho dari orang tua, tapi mereka tidak punya pilihan. Mereka tetap pergi dan mencari kesejukan batin di tempat lain yang mungkin bisa menyegarkan hati mereka. Sampai dikarunai anak, mereka pun masih jauh dari keluarga yang ditinggalnya itu. Dari informasi yang diberikan kepada temanku itu, katanya mereka sudah menemukan kebahagiaan walau tidak sebahagia seperti hayalan mereka. Walau kondisi ekonomi masih seperti nafas orang yang habis naik tangga, tetapi mereka bisa tersenyum lega karena mereka merasa bebas dari muka-muka masam keluarga yang tidak mendukungnya.

“dampak dari kebiasaan sebuah adat, yang padahal sulit jika diterima logika agama. Tetapi masyarakat yang memegang adat itu tidak benari apakah meninggalkan kebiasaan leluhurnya. Entah mana yang mau didukung pun jadi bingung. Apakah ada pendapat dari para pembaca????”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun