Mohon tunggu...
Fahmi
Fahmi Mohon Tunggu... Bankir - Suka baca hoby menulis

Pecinta Literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Memahami Pendukung Jokowi dan Prabowo

9 Desember 2018   09:40 Diperbarui: 9 Desember 2018   10:20 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak pilpres tahun 2014, persoalan dukung mendukung belum juga selesai. Meski Jokowi jadi presiden sekalipun, sepertinya pendukung Jokowi belum puas melampiaskan hasrat mencaci makinya pada pendukung Prabowo---begitupula dengan pendukung Prabowo, tidak menerima dengan kekalahan dan dianggap kemenangan Jokowi sebagai kecurangan. Mencaci maki ini akan selesai manakala salah satu dari dua calon tersebut dipanggil oleh yang maha kuasa. Ibarat film, ketika musuhnya meninggal maka tamatlah filmnya.

Saya heran dengan pendukung Jokowi dan Prabowo yang berseliweran di media sosial, sepertinya mereka hidup 24 jam tidak pernah tidur. Hanya untuk saling mencaci maki, nyinyirin statmen Prabowo soal Gojek atau nyinyirin kebijakan Jokowi yang menaikkan TDL. Terkadang, keduanya saling adu gagasan dengan otak atik gathuk biar terlihat ilmiah yang sejatinya ngarang---persis seperti anak tetangga saya ketika bertengkar dengan temannya.

Entahlah, pendukung Prabowo dan Jokowi ini hidup dimana, apakah mereka tinggal di perumahan elit yang tidak saling sapa antar tetangga dan satpamnya begitu jeli pada setiap tamu yang ada. Kehidupan mereka terkurung dalam rumah, komunikasi yang mereka lakukan hanya lewat dunia maya, teman media sosial pun sedikit sehingga untuk mencari kesenangan dengan mencaci maki Prabowo atau pun Jokowi sebab setiap komentar bernada sarkas pasti akan ada yang membalasnya. Selain itu, ia bisa mendapat ketenaran diantara sesama pemakinya, mendapat gelar the king of maki-maki.

Saya yakin, pendukung keduanya yang bermental maki-maki adalah orang-orang yang tidak pinter-pinter amet. Bisa jadi, itu dari kalangan tukang becak, karena menganggur sepi orderan kalah dengan Gojek dan Gober, sehingga mereka memanfaatkan waktu kosongnya diatas becak sambil tiduran untuk maki-maki pemerintahan Jokowi yang telah berhasil menaikkan harga BBM. 

Sementara yang membalasnya adalah mahasiswa yang malas main ke perpustakaan, kerjaannya hanya di kontrakan jarang kuliah, sukanya hanya belajar dari youtube tanpa harus baca buku, setelah itu ya memuaskan nafsu memakinya dengan mencaci maki Prabowo.

Dalam kehidupan bermasyarakat di pedesaan, mencaci maki memang hal biasa, dirasani juga hal biasa. Namun, itu tidak berlarut-larut seperti film episode. Misalnya, ketika tidak datang ke acara tahlilan, paling jadi trending topi hanya 2 sampai 3 hari dikala sedang tidak pergi ke sawah, setelah itu selesai, mereka lebih sibuk memikirkan apa yang akan dimakan besok, atau pekerjaan apa yang belum terselesaikan dibandingkan melakukan pekerjaan yang tidak ada gunanya. 

Seperti tetangga saya, Rohman dan Istrinya Sri Dahlia dan anaknya Deo Sutomo, mereka bertiga enggan membeli gadget dengan layar empat inci, sebab menurut mereka akan menjauhkan keluarga. Duduk makan bersama bertiga sambil ngobrol itu lebih menyenangka dibandingkan seharian pegang gadger untuk memuaskan hasrat caci maki.

Meski dikritik berkali-kali, mereka ini tidak akan mempan, justru yang mengkritiklah yang akan disalahkan, pengkritiknya lah yang kurang kerjaan atau bisa-bisa pengkritiknya akan dibully habis-habisan, dipermalukan di media sosial sampai orang tuanya pun ikut dampaknya meski sebenarnya tidak tau apa-apa, saudaranya sampai sahabatnya. 

Pendukung Jokowi dan Prabowo itu sudah seperti batu, dan mengkritik menurut mereka harus diletakkan cermin pada si pengkritik agar kembali dan bila perlu sumpal mulutnya si pengkrtik. Keduanya enggan bila Jokowi dan Prabowo adalah orang yang fasis sementara kedua pendukungnya seorang yang fasis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun