Mohon tunggu...
J. Shiddiq
J. Shiddiq Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

"Santri UIN Syahidt , jurusan theology. Beberapa kali ngikut sayembara nulis gak pernah lolos edit. Hahaha"

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menuju Baduy Luar

27 Maret 2016   17:23 Diperbarui: 27 Maret 2016   17:34 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

Flying Camp kami menyebut konsep pelatihan alam pada kali itu. Berpindah-pindah tempat setiap harinya dari satupos camp ke pos camp lainnya. Stasiun Rangkas kami posisikan sebagai garis start dan Baduy Luar sebagai garis finish. Satu hari sebelum pelaksanaan acara, dua dari kami, Fiki dan Ari mengabarkan kabar darurat. Titik-titik yang awalnya sudah dipastikan legal permission, mendadak dikabarkan berstatus sengketa. Beberapa pihak mengakui tanah yang akan kami gunakan pos camp adalah hak mereka dan meminta upah atas perizinannya.

 Barangkali begitu kondisi real tanah-tanah kosong daerah Lebak menuju Baduy. Terpaksa, keduanya semalaman mengikuti rapat pemutusan hak milik tanah itu dengan warga setempat. Meski begitu kami coba profesional, tetap keep calm, dihadapan peserta. Kegiatan tetap berjalan sesuai rundown acara. Tim advance memastikan tempat dan terus berkoordinasi via sms, karena sinyal di sana terbilang limited. Tim acara mengkondisikan peserta, Tim konsumsi, pemateri, dan lainnya menjalankan tugas masing-masing.

Usai sarapan, peserta secara beregu diberangkatkan dari kampung utan menuju stasiun Rangkas. Kami membekali mereka uang senilai dua puluh lima ribu selama perjalanan. Ini kami maksudkan untuk menguatkan daya komunal, team work, dan kreatif peserta. Bagaimana mereka mampu bertahan hidup dalam kondisi serba terbatas. Dari kampung Utan menuju stasiun Rangkas mereka harus mampu memanfaatkan secara efisien uang saku dari panitia untuk lima orang dalam masing-masing regunya. Pada pemberangkatan kali itu terdapat lima kelompok dengan masing-masing anggota lima kepala dan satu pendamping dari panitia. Para pemateri dan panitia juga sudah kami tempatkan pada beberapa titik, guna input materi dan pemantauan.

Sesampainya di Stasiun Rangkas kami menghabiskan waktu untuk makan siang dan ibadah. Tepat pukul 13.00 WIB sebanyak lima regu diberangkatkan dengan jeda waktu masing-masing regunya lima menit. Sebelumnya kami juga lakukan switc team atau mengacak peserta antar kelompok. Hal ini kami maksudkan supaya antar anggota saling mengenal, tidak terbatas pada satu tim saja.

Pos Camp I

Pos ini merupakan pos yang sebelumnya dikabarkan oleh Fiki dan Ari mengalami sengketa tanah. Ajaib, keduanya berhasil menyelesaikan kasus ini. Mereka menempatkan kami pada lahan berukuran 10 x 10 meter, tepat di samping rumah proyek. Di sebelahnya galian gunung kapur dan hutan pinus yang awalnya kami putuskan sebagai singgahan Pos Camp I. Pukul 16.00 seluruh regu berhasil menyelesaikan perjalanan, kemudian mendirikan tenda dilanjut membersihkan tubuh mereka di tempat pemandian tidak jauh dari lokasi proyek.

Pukul 19.00 WIB kami memulai materi pelatihan pertama, yakni pembebasan diri. Dipandu oleh Om Dewo, pemusik jebolan Bengkel Teater Rendra memberi materi rangsangan pada peserta. Materi ini dirasa tepat karena para peserta telah mencapai titik lelah berkepanjangan. Bayangkan, berjalan kaki sekitar 25 km dari stasiun Rangkas, masa gak capek!. Melalui instruksi pemateri, peserta diminta menatap telapak tangan meraka sembari memejamkan mata. Tidak lama setelah itu, peserta bergerak bebas, mengikuti keinginan mereka. Instruksi pemateri seakan-akan menghipnotis peserta. Begitu seterusnya. Syukur alhamdulillah, tantangan kami di Pos Camp I selesai, kami pun siap terbang ke Pos Camp II.

Setelah mengemasi tenda dan barang bawaan, peserta kembali kami switc dan diberangkatkan dibekali 4 lontong dan sepotong ayam per anggotanya. Air minum sudah kami instruksikan untuk dipersiapkan dari mata air sumber yang ada di dekat Pos Camp I.

Pos Camp II

Hari kedua, sekitar pukul 11.00 WIB kami istirahatkan peserta pada pos bayangan antara Pos Camp I dan Pos Camp II. Panitia sudah terlebih dahulu stand by, siap memberi materi penjernihan. Di sebuah tempat penuh pepohonan, peserta diperbolehkan mengisi air minum dan makan perbekalan. Terlebih dulu, peserta diharuskan mengikuti materi relaksasi yang disiapkan oleh panitia. Pukul 13.00 WIB kami tiba di Pos Camp II. Tantangan kembali datang...

Pada sebuah pekarangan kosong, kami persilakan peserta mendirikan tenda peristirahatan. Datang seorang petani kebun membawa arit mengaku-ngaku tempat yang kami singgahi adalah kebun kepunyaannya. Setelah kami konfirmasi, memang benar, dialah pemiliknya. Ujarnya, beberapa tanaman singkong yang ada di sekitar  Pos Camp II adalah miliknya. Meski begitu, Panitia belum melepas nafas lega, karena tindak tanduknya aneh. Dengan parang dan aritnya, tidak henti ia memangkas dan menebang ranting-ranting daun yang menurut kami tidak selayaknya ditebang. Tidak hanya itu, sedikit bicaranya membuat kami semakin ngeri. Tidak lama setelah itu, sekumpulan orang datang beramai-ramai meminta pihak panitia meminta legal lissence dari mereka.

 Mereka juga mengatasnamakan diri mereka sebagai tuan tanah, dan meminta kami menyerahkan uang sewa tanah. Saya dan beberapa rekan panitia terpaksa berunding di kediaman mereka, sementara beberapa panitia lainnya kami minta mengkondisikan peserta dan materi sesuai rundownnya. Dalam perjalanan menuju kediaman salah satu orang ramai itu, saya menghubungi Mang Saldi, orang Baduy Dalam yang satu minggu lalu mengantarkan kami survey hingga Baduy Dalam. Jantungku terus berdegup kencang, tidak tahu hendak berucap apa. Untungya, di tengah perdebatan kami, dari luar terdengar suara Mang Saldi yang langsung menuju ruang tengah tempat kami berdebat.

 Ia berhasil menyelamatkan kami. Ia berdalih, tanah itu legal huni, karena tanpa pemilik. Kami pun lega, semalaman Mang Saldi mengirimkan kerabat saudaranya, menemani kami sepanjang malam. Sementara tukang kebun yang juga mengaku-ngaku tuan tanah pertama, masih tetap dengan aktifitas semula.

Post Camp III

Suasana sejuk menyegarkan kami, suara gemericik air di antara bebatuan dan tanah merah menjernihkan indera kami. Kami tiba di Ciboleger, 10 menit lagi menuju Post terakhir. Masing-masing regu melakukan registrasi dan memasuki kawasan Baduy Luar. Melihat tantangan saat survey, kami memutuskan untuk memilih Baduy Luar sebagai garis finish. Di situ kami melangsungkan aktifitas pematerian selama satu hari satu malam. Kami menggunakan salah satu rumah, milik menantu Mang Saldi, penjual kain tenun bernama Hardiman.

 Konon, puterinya menikah dengan Hardiman, jejaka yang sudah turun status kesukuannya dari Baduy Dalam menjadi Baduy Luar lantaran berkendaraan tanpa jalan kaki menuju kota dan diketahui oleh Jaro/Kepala suku. Dari situ lah baju kenakan puteri dan Hardiman diharuskan adat berwarna hitam. Meski begitu hubungan kekerabatan mereka tetap rukun.

Di situ, kami disediakan lapangan kosong berukuran 7 x 10 meter, tepat di belakang rumah Hardiman. Biasanya, lapangan itu dipergunakan oleh warga Baduy Luar setempat untuk bermain bola. Namun, berkat bantuan Hardiman, kami bisa menempati lapangan itu untuk bermalam dan melangsungkan pematerian.

Pukul 19.00 WIB hujan rintik menemani pematerian ‘pengadilan diri’ yang dipandu oleh Kang Mirjan. Pemateri asli Tegal, yang mengawali materinya dengan meminta peserta mengambil posisi duduk melingkar di antara api obor. Semua peserta menggunakan jas hujan. Dan satu persatu diminta berdiri di bawah lampu obor dan menjaga posisi diam, bisu tanpa boleh mengkritik semua desusan pelafalan karakter buruknya di hadapan semua peserta. Secara bergilir peserta menghakiminya. 

Suasana hening menambah kekhusyukan dan deru perasaan masing-masing peserta. Tak jarang, terdengar umpatan dan tangis dari mulut mereka. Sekitar pukul 23.00 WIB pematerian selesai dan peserta diminta beristirahat. Sementara panitia secara terpisah menyusun rencana pembaiatan di depan serambi rumah Hardiman.

Pukul 02.00 WIB peserta dibangunkan dan diminta menutup mata mereka dengan kain yang sudah dibawa. Peserta berjalan secara bergandengan menuruni bukit menuju sungai yang sudah dipersiapkan panitia dan dibantu Hardiman. Sesampainya di sungai, peserta disandarkan pada bebatuan sungai dan dibisikkan kalimat-kalimat doa keselamatan. Herannya, tidak sedikit dari mereka yang menangis dan menjerit. Barangkali mereka takut tubuh mereka hanyut di bawa sungai.

 Salah satu pemateri melantunkan lafal-lafal instruksi dan bait-bait doa. Hampir sekitar 1 jam kami biarkan peserta tertidur. Dirasa matahari terbit, kami kagetkan seluruh peserta dengan ucapan selamat datang. Selamat berproses. Secara spontan peserta membuka kain penutup mata mereka dan bersorak gembira. Satu persatu dari mereka kami panggil untuk mengambil lencana pembaiatan dan bersalaman dengan seluruh pemateri maupun panitia.

Pada Kang Hardiman, sosok Baduy tulen, yang rela mengorbankan waktu dan tenaganya kami haturkan terimakasih setinggi-tingginya. Meski status kesukuannya sudah berbeda, ia tetap murni menjaga hukum alam dan solidaritas antar manusia non Baduy.

God Bye Baduy ...11.00 WIB, Angkot terakhir dari Ciboleger yang menghantarkan kami ke Ciputat, pusat keramaian pelajar Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun