Mohon tunggu...
Mujahid Hamdan
Mujahid Hamdan Mohon Tunggu... -

Pemikir, Peneliti dan Penulis. UIN Ar-Raniry.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tuhan dan Kosmologi

5 Mei 2017   16:14 Diperbarui: 5 Mei 2017   16:40 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah ummat manusia menunjukkan ada hubungan dan pertautan yang amat kuat antara pengalamannya terhadap realitas dan cara pandang terhadap keberadaan dirinya dan tuhan. Pengalaman dan cara itulah yang membuat manusia menganut animisme, mistisme, sinkritisme, agama dan kepercayaan spiritual lainnya.

Cara pandang manusia terhadap alam dan keberadaanya di alam terus mengalami evolusi. Ternyata evolusi itu ada hubungannya dengan perkembangan cara berfikir, sains dan teknologi di dalam setiap fase peradaban. 

Di masa ini, perkembangan pengetahuan telah hampir mencapai titik didihnya. Akan tetapi, kosmologi seakan tidak pernah selesai. Kosmologi adalah cabang fisika yang sungguh eksotik. Ia terlalu dekat dengan sisi spiritualitas kita.

Menjadikan kosmologi sebagai jendela spiritual adalah salah satu cara berfikir antrofososfi. Cara ini mengajarkan kaidah bahwa jendela pengetahuan adalah cara kita menemukan mata batin spiritual. Oleh karena itu, metode ilmiah adalah upaya menemukan pengalaman spiritual.  Dalam analogi lain, jika pencarian kebenaran ilmiah berfungsi sebagai "organ" spiritual, maka matematika dan eksperimen sebagai "mata"nya.

Filsafat memang inti dari pengetahuan manusia, demikian halnya dengan kosmologi. Kosmologi dengan penggalan "logos" berarti jembatan manusia dengan realitas alam semesta. Oleh karenanya, seharusnya kosmologi menstimulus kita dalam menemukan kebijaksanaan yang tidak hanya berkutat sebagai aspek kekayaan intelektual manusia.

Pengetahuan kita tentang semesta diperoleh dari logika dan akal sehat yang didukung oleh eksperimen dan pengamatan. Akan tetapi filsafat menyediakan piranti lain bagi kita yang menikmati pengetahuan tersebut. Pengetahuan seharusnya bukan hanya sekedar konsumsi otak sebagai physical body, melainkan juga merupakan konsumsi dan harus diapresiasi oleh etheric body manusia. 

Kosmologi moderen cenderung meninggalkan ide antroposentris, meskipun tidak semuanya berfikiran begitu. Bagaimana tidak, teori, matematika, dan pengamatan terus menunjukkan bahwa kita bukanlah planet istimewa di hamparan jagad raya jamak (multiverse) ini. Selain itu, kosmologi sudah benar benar menanggalkan asal-usul astral body dan tidak lebih hanya menjelaskan asal usul physical body kita sebagai manusia.

000

Agama memuat banyak doktrin mengenai tuhan.  Meskipun sebagiannya bisa ditelah dengan akal dan kebijaksanaan, tetapi banyak juga yang tidak dapat dikelola oleh akal sehat (common sense) manusia.  Sejarah pengetahuan mencatat bahwa menempatkan teologi dan kosmologi jutru menunjukkan kecacatan berfilsafat. Simak saja, bagaimana teori gravitasi Issac Newton yang ditertawai oleh Leibniz karena memasukkan cerita tentang tuhan di dalamnya. Goerge Lamaitre memang seorang rohaniawan, tetapi ia tidak pernah memasukkan campur tangan tuhan dalam teorinya.

Dalam sejarahnya, teologi dan pengetahuan memang menyajikan konflik. Dalam pertautannya, pengetahuan berontak ingin lepas dari doktrin keagamaan. Setelahnya imajinasi dan pengetahuan berkembang liar dan tak berbatas. Peradaban kita hari ini adalah produk pemberontakan imajinasi terhadap doktrin teologi. Pemberontakan itu juga menjadi awal kosmologi bukan lagi sebagai produk metafisika.

Kita ada di persimpangan, (i) menganut antrofososfi dengan konsekuensi teis dan ateis dan atau (i) menanggalkan tuhan dari pengetahuan, dengan konsekuensi teologi adalah domain ekslusif yang tak terjamah oleh akal sehat. Sikap semacam ini adalah agnostik. Pilihan pertama, memang memuaskan "birahi" intelektualitas kita, akan tetapi mengandung resiko. Contoh perdebatan sengit itu anda bisa telaah di tautan ini https://infidels.org/library/modern/quentin_smith/cosmology.html. Sementara pilihan kedua terkesan sangat sekuler kalau tidak disebut pengecut. Kebanyakan mereka menjadi teis agnostik, melakukan peribadatan tetapi tanpa kesadaran yang mendalam.

Saya cenderung memilih jalan tengah. Tetap pada koridor antrofososfi tetapi dengan pemilahan. Bagi saya, ada domain yang bisa diterjemahkan dengan common sense dan pengetahuan dan ada domain yang tidak atau belum bisa dijelaskan. Jalan tengah ini tetap menjadikan akal budi piranti utama dalam merefleksikan realita dan pengetahuan, tetapi tidak menafikkan diskursus mengenai teologi. Di saat tertentu teologi dan kosmologi adalah dua sisi mata uang, tetapi di saat yang lain kosmologi berada pada kamarnya sendiri. 

 

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun