"Obi, sudah kamu serahkan undangan sekolah kepada tantemu ?" tanya bu Nana wali kelas sekaligus guru bahasa Indonesiaku. Â
"Sudah, Â Bu, " jawabku singkat.
"Ibu sebetulnya berharap ayah atau ibumu bisa datang, Â karena banyak hal akan dibahas di rapat wali murid kelas 9 besok. Seperti menghadapi Ujian Akhir Nasional, perpisahan dan piknik Sekolah," jelas bu Nana.
Aku menggelengkan kepalaku perlahan.
"Saya rasa mereka tidak bisa datang, Bu. Mereka sedang tak ada di Jakarta."
Bu Nana tersenyum. Aku tahu dari pandangan matanya kepadaku, beliau menyimpan rasa kasihan dengan keadaanku. Diusapnya kepalaku dengan lembut.
"Ya, ibu tahu, Nak. Mudah-mudahan tante Metamu bisa datang menggantikan orangtuamu."
Aku tak menjawab dan hanya mengendikkan bahuku.
Aku masih ingat saat memberikan undangan rapat pada tante Meta dua hari yang lalu. Â
"Tante tak bisa datang, Obi. Tante ada janji dengan teman-teman SMA tante. Mereka kan banyak yang sudah lama gak ketemu sama tante. Jadi mumpung kami ngumpul reuni, tante harus datang. Mumpung tante libur kerja. Gak apa-apa ya, Sayang. Nanti tante telpon bu Nana deh, apa saja yang dibicarakan di rapat."
Saat itu aku hanya terdiam. Ya, bukan salah tante Meta. Aku kan hanya keponakannya, anak dari kakak perempuannya. Meski aku tahu tante Meta menyayangiku. Tante Meta memang belum menikah. Usianya kini 30 tahun. Dia juga bekerja, jadi aku tak boleh mengharapkan perhatian yang penuh darinya. Semua ini harusnya jadi tanggung jawab mama dan papa. Merekalah yang menginginkan aku hadir di dunia ini.