Tak lelo…lelo…lelo ledhung…
Cep menenga, aja pijer nangis
Anakku sing ayu rupane
Yen nangis ndak ilang ayune
Lagu lelo ledhung itu selalu kudengarkan setelah maghrib tiba. Terkadang lengkap dengan liriknya yang indah, tapi sering juga hanya senandung merdu tanpa syair. Aku yakin pemilik suara itu adalah seorang wanita yang lembut hatinya karena suaranya bisa membius dan melenakanku. Pasti dia sangat menyayangi anaknya. Tapi siapa sejatinya pemilik suara itu?
Seminggu sudah aku menempati rumah ini setelah suamiku, Mas Heru, dimutasi ke kota santri. Kami mengontrak rumah di sebuah komplek yang tak begitu padat. Sebagai istri seorang karyawan proyek, aku sudah terbiasa ditinggal sampai larut malam. Di tempat baru ini pun paling cepat Mas Heru tiba di rumah jam 7 malam.
Dik Laras makan duluan ya, Mas pulang agak malam karena harus ke lapangan. Aku tersenyum membaca WA suamiku. Meskipun sudah lima tahun menikah kami belum dikaruniai cahaya mata, mungkin memang belum waktunya Allah memberikan rejeki tersebut kepada kami. Kesepiankah aku? Sejujurnya iya. Aku sangat ingin bisa memeluk seorang anak dan meninabobokan seperti wanita di sebelah rumahku.
Meski sudah seminggu di sini aku belum terlalu mengenal tetangga yang tinggal di sebelah rumahku. Saat aku dan mas Heru datang berkunjung untuk memperkenalkan diri, mereka hanya menerima kami di pagar rumah sehingga kami hanya sedikit berbasa basi. Sepasang suami istri berusia sekitar setengah abad, hanya mereka yang menemui kami. Dan hari-hari berikutnya saat aku menyapu halaman atau menyiram tanaman, aku memang hanya melihat mereka. Tak ada anak kecil atau memang tak pernah dibawa keluar rumah? Begitu juga wanita yang bersuara merdu itu, mungkinkah dia wanita yang menemuiku atau ada lainnya? Aku pun belum pernah bertanya pada Mbak Narsih, tetangga depanku. Aku takut dikira jadi orang baru yang kepo dan sok usil.
*****
“Aku gak mau menggugurkan kandunganku, Bulek. Tolong jangan paksa aku untuk melakukannya,” wanita muda itu menangis terisak-isak sambil menciumi kaki orang yang dipanggilnya Bulek.
“Kamu harus melakukannya, kalau tidak kamu bisa mencoreng muka kami,” wanita itu menjambak rambutnya dengan kasar.
“Tolong, Bulek. Lindungi aku dan calon bayiku. Hanya Bulek yang bisa menyelamatkan kami. Tolong, bulek.. Tolonnggggg,”
Tapi wanita bertubuh gempal itu terus menjambaki rambut wanita yang bersimpuh di hadapannya. Seperti ada kemarahan yang begitu memuncak.