Mohon tunggu...
Dewi Sumardi
Dewi Sumardi Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel dan ibu Rumah Tangga

IRT. \r\nMenulis untuk berbagi manfaat. \r\n Buku : 1. Let's Learn English Alphabethical A-Z, oleh nobel edumedia 2. Buku Keroyokan "36 Kompasianer Merajut Indonesia", oleh Peniti Media 3. Buku Keroyokan "25 Kompasianer Wanita Merawat Indonesia" oleh Peniti Media 4. Novel "Duka Darah Biru", penerbit Jentera Pustaka 5. Novel "Janji Di Tepi Laut Kaspia' oleh penerbit BIP 6. Novel " Ada Surga Di Azzahra" oleh penerbit Jentera Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpenku : Setrika Antik Ibu Mertuaku

23 Oktober 2014   22:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:58 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku masih belum paham mengapa ibu mertuaku begitu marah kepadaku karena aku telah menjual setrika antik yang tersimpan di lemari ruang makan.

Tadi siang ketika ada tukang Loak lewat di depan rumah kami, aku menyuruh Mbak Sarti pembantu rumah yang sudah belasan tahun ikut ibu mertuaku untuk "mengemasi" barang-barang bekas pakai agar tak memenuhi rumah.

Kipas angin yang sudah nyala mati nyala mati, radio transistor jaman baheula yang tutup baterainya sudah entah kemana, panci-panci yang sudah beberapa kali ditambal oleh tukang patri dan semuanya itu memang disimpan di gudang.

" Mbak Muti, ini ada setrikaan jago di lemari makan. Mau diasong juga?" tanya Mbak Sarti ketika aku sedang memasak di dapur tadi pagi.

" Iya Mbak Sar, sekalian saja"jawabku dengan ringan sambil tanganku tetap mengaduk-aduk bubur sum-sum  kesukaan suamiku, Mas Arif.

Aku ingat pernah meminta ijin Ibu mertuaku untuk "menyingkirkan" setrikaan arang tersebut karena sudah tidak pernah dipakai lagi. Boleh, itulah jawaban beliau saat itu. Aku memang paling risih melihat rumah berantakan, meski aku tinggal di rumah ibu Mertuaku. Dan biasanya beliau tidak pernah keberatan dengan kegiatanku, bahkan terlihat senang sekali melihat aku merawat rumah beliau.

****

" Mestine Muti tanya ibu dulu, ora sak karepe dhewe " kata ibu mengadu pada suamiku ketika kami dimeja makan.

Mas Arif yang sudah aku bbm ketika masih di kantor menganggukkan kepalanya lalu melirik ke arahku yang duduk di hadapannya.

" Maafkan Muti ibu. Dia memang lancang tidak bilang ibu, karena katanya sudah pernah tanya ke ibu sebelumnya"

" Tapi khan bisa tanya lagi, siapa tahu pikiran ibu berubah" jawab Ibu Mertuaku dengan wajah yang tetap cemberut.

" Kita cari lagi Setrikaan antik seperti ini di Pasar Loak ya Ibu. Pasti banyak, dan mungkin malah lebih bagus-bagus" Mas Arif mencoba membujuk ibu.

" Gak mau , pokoknya ibu tetap mau yang itu. Suruh Sarti sesok nggoleki tukang Loak yang tadi"

Mati aku ... Di mana aku harus menemukan tukang Loak itu. Dia tukang Loak yang baru sekali ini lewat di depan rumahku. Belum tentu dia akan lewat lagi.

Mas Arif kulihat menghirup nafas dalam-dalam mencoba memahami keinginan ibundanya.

Ibu Mertuaku memang sudah sepuh, sudah 70 tahun. Mas Arif adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Dua orang kakak Mas Arif bekerja dan tinggal di Jakarta dengan keluarga mereka, sedang Mbak Rima, Kakak Sulung Mas Arif yang bersuamikan pria asing berdomisili di Bristol, Inggris. Kebetulan seminggu yang lalu, mereka kembali ke Inggris setelah sebulan lebih berlibur di Indonesia.

****

" Mbak Muti, saya sudah coba cari sampai ke kampung sebelah, gak ketemu dengan tukang Loak yang kemarin. Kalaupun ketemu jangan-jangan sudah dijual Setrikaan jagonya" kata Mbak Sarti dengan suara pelan, takut ibu Mertuaku mendengar.

Aku hentikan ulekan bumbu gudeg dan memandang Mbak Sarti.

" Sudah tanya-tanya belum? Siapa tahu ada yang kenal dengan tukang-tukang Loak"

" Sudah Mbak .. Saya sudah tanya Mas Diman, tukang ban di ujung jalan, Mbak Mus yang buka warung, siapa tahu mereka pernah ngloak juga. Tapi mereka selalu jual loakan ke Lik Parto Mbak".

Lek Parto yang disebut memang tukang Loak yang sering lewat di sekitar kampung kami.

"Duh, gimana Mbak. Nanti Ibu sepuh gak berhenti ngambeknya" Mbak Sarti kelihatan cemas, dia sudah paham betul dengan watak ibu mertuaku kalau sedang marah. Bisa berhari-hari mendiamkan kami.

Aku tersenyum mendengar perkataan Mbak Sarti.

“Mudah-mudahan saja kali ini enggak Mbak. Nanti aku coba lagi bujuk ibu, siapa tahu mau diajak ke Pasar Loak cari model Setrika antik yang lainnya”

"Assalamu alaikummm " terdengar suara dari luar rumah

" Mbak .. Sepertinya ada tamu di luar. Buka pintu dulu"

Mbak Sarti meninggalkan aku yang sedang sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk gudeg. Hmm siapa tahu gudeg buatanku ini bisa membuat ibu mertuaku kembali tersenyum karena gudeg buatanku selalu mendapat jempol dari beliau.

Tak lebih dari lima menit Mbak Sarti sudah kembali lagi ke dapur dengan tergesa,

." Mbak Muti .. Mbak Muti .. Duhhh Alhamdulillahhhh" wajah mbak Sarti tampak sangat sumringah.

"Kenopo Mbak? Siapa yang di luar?" tanyaku keheranan.

" Pak Loak yang kemarin"

‘ Mbak tolong ini nangka muda dan ayamnya dibersihkan dulu ya. Biar aku temuin tukang Loak itu”

Mbak Sarti menganggukkan kepala.

Bergegas kutinggalkan dapur untuk menemui tukang Loak itu . Kenapa ya dia kembali lagi. Mau cari barang loak lagi, atau dia punya indera ke enam dan tahu kalau lagi dicari-cari dan sudah membuat geger satu rumah.

Di teraskulihat tukang loak duduk di bangku panjang dengan seterika jago di tangannya.
" Lik .. Kok tahu saya lagi cari-cari "

Tiba-tiba pintu rumah terbuka,

" Nahhhh kowe tekojuga akhirnya. Mana setrikaan antik ibu?" Kata Ibu Mertuaku tanpa basa-basi.

Tukang Loak itu tersenyum dan menyerahkan setrikaan antik tersebut pada Ibu.
Aku masih terbengong melihatnya. Yang satu berwajah tampak girang sekali melihat barangnya kembali dan yang satu lagi, seperti dengan ikhlas memberikannya kembali.

Ibu membuka setrikaan antik warna kekuningan dengan hiasan ayam jago itu, dan betapa terkejutnya aku ketika melihat ada uang US $ 200 di dalamnya.

" Matur nuwun yo Lik, kamu sudah jujur mengembalikan ini"kata ibu

Tukang Loak itu kembali tersenyum,

"Sami-sami ibu. Saya kaget waktu membukanya ada uang di dalamnya"
200 dolar?? dua juta lebih .. Dan abang tukang Loak itu mengembalikannya. Aku tak percaya, dia tak membutuhkannya.

Ibu mengambil 200 ribu dari dompetnya,

" Lik, ini untuk kamu"

Tukang Loak itu menggelengkan kepalanya,

"Terimakasih ibu. Saya mengembalikan ini karena memang uang di dalamnya bukan milik saya. Hak saya hanya setrikaan ini saja"

Ibu tetap memaksa memberikan uang dua ratus ribu dan mengembalikan setrikaan antik tersebut.

‘ Aku memberikan bukan buatmu, tapi buat anak dan istrimu” jawab ibu Mertuaku.

Dan setelah berulang kali mengucapkan terima kasih, Tukang Loak tersebut menerima uang pemberian Ibu Mertuaku dan pamit untuk melanjutkan pekerjaannya.

Aku hanya bisa terbengong-bengong menyaksikan semuanya ini.

" Jadi bukan setrikaannya yang ibu cari?" tanyaku polos.

Ibu Mertuaku menggelengkan kepalanya,

"Iki uang dari Mbak Rima waktu pulang kemarin. Entah kenapa malah ibu simpan di setrikaan antik ini dan ibu lupa baru ingat kemarin” jawab beliau sambil tersenyum.

“ O ya, kamu masak gudeg to? Ibu mau ya nanti makan siang pakai  gudeg. Sambel kreceknya gak lupa khan?”

Aku tersenyum mendengar pertanyaan ibu Mertuaku, karena artinya beliau sudah tidak ngambeg lagi.

Satu pelajaran yang kutangkap hari ini, keterbatasan bukan berarti mengambil yang bukan haknya, bukan berarti menghalalkan segala cara untuk memenuhi sebuah kebutuhan.

****

Keterangan :

1.Ora sak karepe dhewe : tidak semaunya sendiri

2.Sesok : Besok

3.Nggoleki : mencari

4.Kowe : kamu

5.Teko : datang

6.Iki : ini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun