Mohon tunggu...
Hapsul Unram
Hapsul Unram Mohon Tunggu... -

asli lombok

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

“Penderitaan Tidak Memandang Usia”

16 April 2015   08:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:02 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada suatu daerah yang letaknya jauh dari perkotaanya, dimana kita bisa menempuh ke kotanya itudalam jangka waktu hampir 11 jam.Daerah itu adalah Poliwali Mandar yang ada di wilayah SULBAR (Sulawesi Barat) yang memiliki penduduk hampi 90% mayoritas islam dan disana dominannya memiliki mata pencaharian sebagai petani disektor perkebunan buah-buahan, terutama buah duren. Anakitu hanya berprofesi sebagai kulih buah. Pekerjaannya hanya mengumpulkan dan membersihkan buah duren tersebut dan kemudian hanya diberi upah oleh yang memiliki kebun itu paling tinggi sebesar tiga ribu rupiah saja setiap harinya. Pekerjaan ini ia lakukan kurang lebih satu tahun lamanya setelah bapaknya meninggal. Ia sebagai tulang punggung keluarganya. Panggil saja Ali, ia adalah anak yang saat ini usianya beranjak enam tahun yang saat ini duduk di bangku TK (PAUD). Enam tahun sudah menjadi tulang punggung keluarganya. Ibunya saat ini menderita penyakit pendengaran. Dan begitu pula dengan kakaknya yang memiliki penyakit sehingga membuat Ali harus membantu ibu dan kakaknya untuk melangsungkan hidup dengan cara bekerja semampunya. Tak memandang panasnya terik matahari, sepulang sekolah ia langsung menuju ke kebun untuk bekerja mancari nafkah. Untuk bertahan hidup, terkadang tetangga dan warga setempat ibah melihatnya sehingga warga setempat sering memberikan lauk-pauk kepada mereka dan kemudian Ali yang memasaknya. Ali yang dikatagorikan belum saatnya melakukan hal seperti itu kini ia harus melakukannya demi keluarganya. Terkadang mereka hanya makan dengan nasi yang di buburi garam. Dan itu hampir setiap hari ketika Ali tak mampu membeli lauk untuk ibu dan kakaknya. Bagi Ali hal seperti itu adalah penderitaan yang tak dapat terlepas dari hidupnya. Terkadang tetesan air mata jatuh ketika ia tak mampu memberikan sesuap nasi kepada ibu dan kakaknya. Ia sering juga berkhayal kapan penderitaan itu berubah menjadi kebahagiaan. Terlepas dari keadaan yang seperti itu, rupanya Ali memiliki mimpi yang sangat tinggi. Ia ingin melanjutkan sekolahnya agar kelak dapat menjadi orang yang berkecukupan, tidak lagi berpanas-panasan dibawah terik matahari dan membagi waktu untuk sekolah dan keluarganya.

Dengan keadaan yang demikian, guru dan wali murid yang lain memberikan kebijakan agar Ali tetap melanjutkan sekolahnya dengan dibebaskan iuran komite dan sebagainya. Akan tetapi, disisi lain pihak sekolah juga berfikir bagaimana jikalau ia melanjudkan sekolahnya ke jenjang sekolah dasar (SD), mereka takut Ali tidak dapat membagi waktunya untuk sekolah dan keluarganya. Jika ia sekolah, otomatis dari pukul 07.15 sampai pukul 12.00 ia berada di sekolah oleh karena itu pihak sekolah masih mencari solusi yang terbaik untuk Ali dan keluarganya.

Dari fakta tersebut dapat kita simpulkan bahwa penderitaan itu tidak hanya di alami oleh mereka-mereka yang telah beranjak dewasa, akan tetapi anak yang berusia enam tahun yang seharusnya mendapat kebahagiaan yang selayaknyapun harus menanggung penderitaan seperti itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun