Mohon tunggu...
muqtafiah ita
muqtafiah ita Mohon Tunggu... -

dengan membaca aku hidup, dengan menulis aku abadi !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perempuan dalam Dilematisasi Kodrat dan Kemalangan

5 September 2016   09:21 Diperbarui: 5 September 2016   12:32 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Waktu telah berhasil men jeda saya untuk tidak menulis, ahh kenapa bisa menyalahkan waktu, bilang saja malas. Akhir-akhir ini lagi bersemangat ingin menulis, menulis dari setiap apa yang saya baca, menulis menjadi bukti kalau ingatan saya memiliki keterbatasan, maka untuk terus bisa mengingatnya saya harus menulis, menulis untuk sebuah keabadiaan, terlepas itu tulisan saya benar atau salah, baik atau buruk, tapi yang pasti tulisan ini sebagai bentuk apresiasi saya terhadap segala pengetahuan yang telah menambah isi otak saya.

Baiklah, kali ini saya akan menuliskan tentang “PEREMPUAN DALAM DILEMATISASI KODRAT DAN KEMALANGAN” tulisan ini terinspirasi dari buku “CALON ARANG : Kisah Perempuan Korban Patriarki” cerita yang berasal dari bali ini berhasil membius para tokoh-tokoh besar untuk mengabdikannya dalam bentuk karya, salah satunya penulis tersohor Pramoedya Ananta Toer. Buku yang saya pinjam dari perpus tersebut berisikan kumpulan prosa yang ditulis oleh Toeti Heraty, kumpulan prosa yang maha dasyat maknanya, bahkan untuk bisa memahaminya saya harus membacanya berulang-ulang. Buku ini saya pilih karna di cover terdapat tulisan “perempuan korban patriarki” telebih setelah saya membuka lembar pertamanya, terdapat pernyataan “untuk setiap perempuan yang meredam kemarahan” 2 kalimat tersebut sungguh maknanya terlalu dalam untuk hanya sekedar dimaknai kumpulan kata.

Cerita ini berasal dari bali, bali yang kental akan adat istiadatnya, kisah ini bermula dari Ni Rangda yang sebagai tokoh utama, dia janda tua yang memiliki anak gadis nan cantik, Ni Rangda sebagai symbol kejahatan yang telah menebar musibah dan penyakit di sekitar tempat tinggalnya. Apa yang dialami penduduk desa ini telah menjadikan sang raja terancam reputasinya, sang raja geram. Janda tua yang distigmakan symbol kejahatan ini merasa sedih karna anak perempuannya tidak kunjung mendapatkan lamaran, mungkin orang-orang merasa takut untuk melamar Ratna Manggali karna dia anak Ni Rangda. 

Singkat cerita, berdasarkan saran dari Mpu Baradah seorang pendeta, raja harus mengatur siasat untuk bisa mengalahkan Ni Rangda, maka diustuslah Mpu Bahula untuk melamar putri Ni Rangda yakni Ratna Manggali, Ni Rangda senang bukan kepalang, gadisnya akan segera dipersunting seorang lelaki. Menikahlah keduanya Mpu Bahula-Ratna Manggali, pernikahan ini tidaklah murni, ada amanat yang harus dijalankan oleh Mpu Bahula. Mpu Bahula ditugaskan untuk mengambil buku suci milik Ni Rangda, Lipyakara namanya. Kepolosan Ratna Manggali menjadikan Mpu Bahula mudah untuk mencapai tujuannya, Ratna Manggali mengambil buku suci itu untuk kemudian diberikan pada Mpu Bahula. 

Setelah buku suci tersebut didapatkan kemudian diserahkan oleh Mpu Bahula kepada Mpu Baradah. Mpu Baradah pun menemui Ni Rangda, dan Ni Rangda menyambut baik pertemuan itu, meskipun itu untuk kekalahan dirinya, Ni Rangda tau kalau Mpu Baradah adalah besannya, kemudian Ni Rangda bersedia untuk mati dan di Ruwat oleh Mpu Baradah. Lembaran demi lembaran yang saya baca kira-kira mengatakan seperti itu, karna ketika saya berusaha mencari tau lebih jauh tentang cerita calon arang, ada banyak versi yang ditampilkan oleh google sehingga saya memutuskan kalau cerita tersebut saya cukupkan dengan baca buku itu saja.

Buku dengan pilihan warna hitam pada bagian depannya, ditambah gambar seorang perempuan tua untuk menguatkan kesan Calon Arang. Dalam tulisan ini saya tidak akan menceritakan lebih jauh tentang calon arang, mengingat terbatasnya pengetahuan saya akan cerita tersebut. Pesan moral yang saya tangkap dari buku ini seperti yang tertera pada cover “kisah perempuan korban patriarki”. Perempuan atau biasa dikenal dengan sebutan wanita bukan saja dimaknai sebagai salah satu dari jenis kelamin tapi juga kehidupannya yang sarat akan makna. 

Dalam cerita calon arang, telihat bagaimana seorang Ni Rangda disimbolkan sebagai penyihir jahat yang telah menciptakan kekacauan di daerahnya, telepas cerita itu benar atau tidak yang pasti dalam buku bercover hitam tersebut juga mengulas tentang ke ‘gender’ an Ni Rangda, bagaimana dia bertahan hidup dengan status janda dan segala stigma yang melekat pada statusnya, bukankah Ni Rangda juga pernah muda dan menjadi anak-anak.

Siapa yang menginginkan dirinya menjadi janda, dan bagaimana status janda ini dipandang sebelah mata oleh masyarakat. tentu saja janda tua ini tidak ingin menurunkan penderitaan pada anaknya, betapa sedih dan geramnya Ni Rangda ketika anaknya tak kunjung mendapatkan lamaran. Tidak ada seorang ibu yang ingin mewariskan kesedihan pada anaknya. Dan ketika Ratna Manggali dipersunting oleh Mpu Bahula, pernikahan ini telihat seperti cinta dan keabadiaan bagi Ni Rangda, tapi ini bukan cinta… ini penghiatan, penghianatan seorang anak terhadap ibunya.

Perjalanan hidup Ni Rangda yang diceritakan melalui prosa karya cipta Toety seakan ingin menjelaskan betapa perempuan memiliki kemalangan dari setiap takdirnya, sepenggal demi sepenggal kisahnya selalu menuaikan resiko. Topic mengenai perempuan bisa kita awali dari kisah dalam diri perempuan itu sendiri, kisah dalam setiap bagian pasti yang harus dilewatinya, dari mulai dia kecil hingga menjadi dewasa bahkan menua, Masa kecil perempuan mungkin sama dengan lelaki, tapi kecil nya seorang perempuan dia tetaplah perempuan, yang terkadang mengundang kejadian tidak mengenakkan dari para lelaki bejat. 

Betapa akhir-akhir ini terjadi banyak kasus terkait pelecehan anak, lalu letak kesalahan mereka dimana? Apa karna mereka perempuan?. Kemudian besar sedikit, perempuan harus bisa berteman baik dengan tamu bulanannya, tamu bulanan yang terkadang memberikan rasa sakit luar biasa, rasa sakit yang tidak bisa dirasakan oleh seorang pria dalam setiap bulannya. Fase selanjutnya dari seorang perempuan adalah menikah dan punya anak, perempuan dengan ikhlasnya mengandung dan membawa bayi nya kemana-mana selama Sembilan bulan bahkan ketika bayi sudah lahir, dia menggendongnya sampai menjadi besar. 

Lalu perempuan menua, dengan tenaga dan kecantikan yang berbeda, tapi suaminya tetaplah sama, lucu nya lagi terkadang menua nya perempuan dijadikan alasan untuk suami menikah lagi. Bagian demi bagian dari kehidupan perempuan entah itu menjadi kodrat atau kemalangan, Tetapi kemalangan yang sebenarnya dari seorang perempuan adalah ketika dia dihadapkan dengan segala budaya dan mitos yang ada dalam masyarakat. ke ‘gender’ an yang telah dibentuk oleh masyarakat dan menjadi budaya seakan menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan oleh perempuan.

Bagaimana posisi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat kita? Banyak an mana budaya ditujukan kepada laki-laki atau perempuan? Berapa banyak keterbatasan akses yang harus diterima oleh perempuan? Katanya masyarakat kita penganut patriarki. Ini masih tentang budaya, lalu bagaimana dengan kehidupan sosial dari seorang perempuan. Kehidupan sosial dari perempuan selalu menarik untuk dibicarakan, menjadi tema menarik dalam setiap perbincangan, menjadi perawan dia dibicarakan, apalagi kalau usianya terlanjur dewasa, akan lebih menarik untuk dibicarakan, dan ketika perempuan terpaksa menjanda dia juga tidak telepas dari perbincangan.

Wacana modernisasi mungkin bisa mengangkat derajat perempuan, dengan berdalih emansipasi, kemudian perempuan sedikit memiliki ruang gerak yang lebih luas, perempuan memiliki akses untuk terlibat politik, setidaknya 10% kursi politik harus diisi oleh perempuan, tapi bagaimana dengan satu sisi yang lain, modernisasi telah membawa perempuan menjadi komoditas. Mitos kecantikan yang telah diciptakan oleh modernisasi seaakan melegitimasi tubuh perempuan untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah

Katanya perempuan itu lemah, tapi dari sedikit gambaran diatas menunjukkan betapa hebatnya perempuan. Perempuan yang tercipta dari tulang rusuk namun terkadang juga harus menjadi tulang punggung. Ada sepenggal prosa karya Toety yang menjadi favorit saya

Kalau disebut wanita itu makhluk lemah lalu

Harus dilindungi, itu tidak benar dua-duanya

Lemah? Ia bertahan di hari tua dan sebagai balita

Dilindungi? Lebih tepat dieksploitasi

Yang penting harus dikekang kebebasannya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun