Mohon tunggu...
Yakobus Sila
Yakobus Sila Mohon Tunggu... Human Resources - Pekerja Mandiri

Penulis Buku "Superioritas Hukum VS Moralitas Aparat Penegak Hukum" dan Buku "Hermeneutika Bahasa Menurut Hans Georg-Gadamar. Buku bisa dipesan lewat WA: 082153844382. Terima kasih

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mental Tambal Sulam

3 Juni 2019   16:29 Diperbarui: 3 Juni 2019   16:36 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir semua proyek perbaikan jalan di Indonesia adalah proyek tambal sulam. Mulai dari Bandung, Karawang, Cikarang, Jakarta, Depok, dan Tangerang kita tidak sulit menemukan perbaikan jalan dengan sistem menimpali aspal yang sudah rusak dengan spa baru. Persis seperti anak-anak bermain pasir di pantai dengan membentuk gundukan pasir yang tidak membutuhkan konsep dan seni. Hujan sekali saja, gundukan pasir hasil "main-main" itu akan rusak tanpa bentuk.

Jalan raya yang dibangun dengan sistem tambal sulam akan menghasilkan kualitas jalan yang sangat rendah, dan mencelakakan banyak pengemudi dan merasa kendaraan. Saya rasa hanya manusia aneh yang membuat proyek perbaikan jalan dengan cara kerja atau budaya kerja terbilang rendah. 

Seni mengerjakan jalan, tidak terlepas dari budaya dan keadaban sebuah bangsa. Negara-negara yang sudah sangat maju, termasuk maju dalam cara berpikir, tidak akan membuat perbaikaikan jalan yang merendahkan diri sendiri. Karena, hasil karya menggambarkan keadaban sebuah bangsa dan manusianya. 

Jika hasil karyanya asal-asalan atau asal jadi, boleh jadi keadaban bangsanya juga asal-asalan. Dalam banyak hal, orang menjadi begitu pragmatis, dengan prinsip yang penting proyek selesai. Hasilnya tidak penting, dan "bodo amat" dengan pengguna jalan, yang penting dana proyek sebagian besar bisa masuk kantong. Yah, kantong selalu tidak cukup terisi karena mental rakus, dengan gaya hidup mewah yang tidak tahu diri. 

Harusnya, gaya hidup disesuaikan dengan penghasilan, tapi orang-orang korup tidak mau tahu, dan menggunakan uang orang lain untuk kepentingan diri sendiri. Egois luar biasa, sampai proyek jalan untuk orang banyak pun dikorupsi. 

Itulah cerita tentang kaum pemborong proyek perbaiki jalan rusak bermental tambal sulam, yang suka gampang dan menggampangkan segala perkara. Mereka enggan bekerja keras untuk kepentingan orang banyak. Mereka hanya mau berjuang untuk diri sendiri, tanpa rasa malu menindas dan merampas hak orang lain. 

Untuk mengatasi kerakusan yang tak terkendali itu, pemerintah harus benar-benar kontrol ke bawah. Termasuk kontrol para pemenang tender yang punya tugas membuat jalan raya dan jalan tol menjadi lebih baik dan menyenangkan semua pengguna. Uang harus dipakai sesuai takaran yang ditetapkan, dan tidak bocor untuk keuntungan diri dan kelompok.

Jalan harus dikerjakan dengan konsep dan seni membuat jalan yang benar, agar para pengguna jalan merasa nyaman, dan juga bangga dengan pemerintah terutama para pemenang tender proyek. Mental tambah sulam adalah mental orang malas, yang enggan berpikir, atau berpikir benar tapi enggan berbuat benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun