Indonesia, sebuah negara hukum merupakan penegasan yang secara eksplisit tertuang dalam pasal (1) ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai negara hukum, Indonesia sangat menjujung tinggi prosedur hukum dalam penyelesaian setiap kasus hukum yang melibatkan para warganya.Â
Supremasi hukum sangat dijunjung tinggi dan bukanya supremasi preman. Karena itu, setiap kasus hukum harus dituntaskan melalui jalur hukum untuk melindungi hak (hukum) setiap warga negara dan menentang (keras) setiap tindakan premanisme.
Peristiwa penyerangan keempat narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman Yogyakarta adalah sebuah peristiwa tragis yang kontradiktif terhadap konsep supremasi hukum di Indonesia.
 Tindakan penyerangan brutal ini telah meluluh-lantahkan kewibawaan negara, karena keempat tersangka tersebut ditembak pada Lembaga Pemasyarakat, tempat setiap warga negara yang melanggar hukum, dilindungi dan diamankan oleh  negara. Namun, rasa aman yang mestinya dijamin oleh negara diporak-porandakan oleh aksi brutal berkedok teroris oleh sekelompok orang bersenjata yang menewaskan para korban atas nama Yohanes Juan Manbait, Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu, Adrianus Candra Galaja, dan Hendrik Angel sahetapy. Penting ditegaskan bahwa keempat korban merupakan tersangka pembunuhan terhadap anggota Kopassus, Sersan satu Santoso di Hugo's Caf, Yogyakarta (Bdk. Kompas, 25/03/2013).Â
Ada semacam pembunuhan balasan dari sekolompok orang yang merasa tidak puas terhadap kematian anggota keluarga atau komunitasnya. Pembunuhan terhadap para tahanan tersebut merupakan tindakan pelanggaran HAM yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.
      Pelanggaran HAM
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang- undang, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Pelanggaran hak asasi yang demikian, disebut pelanggaran hak asasi manusia yang ringan. Sedangkan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yaitu pembunuhan missal, pembunuhan sewenang-wenang, atau di  luar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis. (bdk. H. Zainuddin Ali, 2008: 91).Â
Dalam konteks definisi pelanggaran HAM tersebut, maka para Sipir yang bertugas di LP Cebongan, Sleman saat peristiwa penyerangan dan pembunuhan terhadap keempat tersangka bisa dikategorikan melanggar HAM ringan karena melalui kelalaian mereka entah secara sengaja maupun tidak sengaja telah menyebabkan kematian orang lain (Napi yang sedang ditahan dalam Lembaga Pemasyarakatan).Â
Sedangkan para pembunuh keempat korban tersebut dikategorikan telah melakukan pelanggaran HAM berat karena telah melakukan pembunuhan sewenang-wenang di luar putusan pengadilan. Negara dalam peristiwa tersebut, sulit dipercaya karena tidak sanggup melindungi hak hidup dan hak hukum para warganya.
Tewasnya para korban yang sedang berada dalam Lembaga Pemasyarakatan (Rumah Negara) merupakan kelalaian dan kegagalan negara dalam melindungi para warganya. Negara seolah tidak berdaya menghadapi sekelompok 'preman' yang menyerang para petugas lapas dan memberondong dengan kejam keempat korban yang menjadi sasaran penyerangan. Kematian tragis mereka merupakan peristiwa paling memalukan dan merendahkan martabat negara.
Hukum di negeri ini sedang berada pada titik yang paling rendah dan memalukan. Hukum sudah tidak sanggup menyelesaikan setiap kasus melalui jalur hukum, dan membiarkan tindakan premanisme dan 'terorisme' serta pembunuhan terhadap setiap para warga bangsa Indonesia, terjadi.Â