Orang kota adalah manivetasi kemajuan peradaban, sedangkan orang kampung dianggap kaum terbelakang. Padahal sebenarnya, anggapan itu salah besar, karena orang kampung adalah sumber nilai-nilai kehidupan, karena nilai adat dan local genius ada di kampung. Orang kota yang meninggalkan kebiasaan di kampung di mana dia pernah hidup, adalah orang yang tercerabut dari akarnya, dan mereka hidup dalam gaya hidup yang mereka sendiri tidak pahami. Ada asimilasi budaya, tapi orang kota yang tidak bertahan dan berakar pada budaya di kampungnya, akan meninggalkan adat istiadatnya dan menerima nilai budaya lainnya yang dia sendiri belum siap untuk meng-aktualisasikan dalam hidup yang benar.
Agama-agama bisa membantu mengarahkan sikap dan perilaku para individu yang sudah meninggalkan kampung, dan menghidupi semangat kota. Namun, ketika agama dan ajarannya tidak bisa diaplikasikan dengan baik dalam kehidupan konkret, maka pagar-pagar moralitas akan roboh, dan orang hidup tanpa arah yang jelas.Â
Pagar kehidupan harus menjadi pagar yang benar, karena mengamankan diri saja tidak cukup, sebab manusia adalah makhluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya dan lingkungan sekitar. Pagar harus menjadi pagar yang hidup, agar daya nalar-kritis bisa membebaskan orang dari jeratan gaya hidup yang menghancurkan atau destruktif serentak merobohkan pagar-pagar individualitasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H