Kelahiran Yesus adalah satu sapaan yang menyentuh kehidupan kaum kecil dan terpinggirkan. Merekalah sasaran dan prioritas utama kalahiran Yesus. Namun kelahiran Yesus di kandang hina dihadapakan dengan situasi lama dan pola lama yang masih dihidupkan oleh pemimpin. Pemimpin-pemimpin di daerah ini lebih suka menghadiri acara-acara yang mewah. Mereka tidak suka diundang oleh seorang petani sederhana yang sedang merintih oleh kekurangan bibit tanaman dan bibit yang bisa menyuburkan tanaman tersebut.
Para pemimpin kita lebih suka disapa "yang terhormat". Â Setiap kali hendak berbicara, para pemimpin kita harus disapa "yang terhormat". Bahkan dalam sebuah turnamen sepakbola sekalipun nama-nama calon Bupati dan wakil bupati dari partai tertentu harus disebut.
Penyebutan ini tidak lain untuk mengembalikan kredibilitas partai mereka yang kian luntur dan pudar. Pengembalian citra ini, menyiapkan lahan bagi para calom pemimpin untuk kembali diterima dan dipilih oleh masyarakat.
 Masyarakat yang memilih pemimpinnya hanya karena calon pemimpin itu datang dari partai penyelenggara sebuah turnamen sepak bola termasuk dalam bagian masyarakat yang 'gila hiburan'. Dan menjadi pertanyaan: apakah pemimpin itu akan menjadi pemimpin yang konsisten menghibur masyarakat? Ataukah hiburan itu hanya merupakan hiburan yang momental? Masyarakat perlu lebih hati-hati terhadap calon pemimpin seperti ini. Masyarakat membutuhkan seorang pemimpin yang tidak hanya menghibur (lewat turnamen sepak bola) tetapi sanggup membuat aturan-aturan yang menghibur.
Aturan-aturan dalam turnamen sepak bola hendaknya tidak menelanjangi kelemahan sendiri. Sebuah kelemahan yang sudah lama menjadi perhatian dan keprihatian banyak pihak. Ada aturan yang menindas dan terkesan otoritatif.
Suasana Orde Lama Seakan dihidupkan kembali. Pengembalian suasana ini akan melahirkan perasaan traumatis yang mendalam, karena masyarakat di era reformasi ini tidak mau ditindas dan menindas. Mereka hanya menghendaki suasana dialog, di mana yang satu dapat mendengarkan yang lain. Dalam kondisi saling mendengarkan inilah orang akan menemukan kesepekatan bersama.
Dalam suasana menyongsong kelahiran Yesus, sosok seorang pemimpin yang arogan tentu tidak diharapkan. Kedatangan Yesus membongkar arogansi seorang pemimpin dan calon pemimpin. Seorang pemimpin yang baik mesti membuat hari 'kelahirannya' menjadi kontekstual. Dia lebih suka dilahirkan (baca:dipilih) menjadi pemimpin dalam suasana yang sungguh-sungguh konkret, tidak berusaha melebih-lebihkan suasana kesederhanaan dan kemiskinan untuk kepentingannya.
Beberapa waktu yang lalu HU Pos Kupang telah menampilkan foto-foto para calon Gubernur dan wakil Gubernur. Mereka adalah calon pemimpin yang bakal dipilih secara langsung oleh segenap masyarakat. Pemilihan secara langsung akan menguntungkan para calon yang sudah mengenal dan dikenal oleh rakyat kebanyakan.
Rakyat hanya memilih pemimpinnya yang sudah pernah mengenal dan melihat langsung realitas hidup mereka. Mereka dianggap sebagai pemimpin yang sudah masuk dalam konteks. Sementara para calon pemimpin yang tidak dikenal, atau hanya dikenal segelintir orang akan menjadi orang asing di daerah sendiri. Bagi masyarakat, mereka dianggap sebagai pemimpin yang 'lahir' di luar konteks. Para calon pemimpin yang demikian dianggap tidak mengenal konteks, karena itu dianggap tidak layak menjadi pemimpin.
Daerah ini sedang berada dalam suasan duka karena sudah semakin banyak warganya yang tertular HIV/AIDS. Suasana kedukaan ini hendaknya menjadi perhatian serius dari para calon pemimpin. Mereka (para calon pemimpin) tidak hanya membualkan kata-kata hiburan yang manis, janji yang muluk-muluk. Mereka hendaknya menjadi pemimpin yang 'in-konteks' dan menjadi bagian dari konteks tersebut. Pemimpin yang in-konteks adalah pemimpin yang memiliki visi dan melaksanakan visi tersebut. Visi mereka hendaknya lebih mengutamakan dan menyapa kepentingan masyarakat yang dipimpin.
Masyarakat (kecil) adalah mereka yang secara langsung mengalami susana kemiskinan mereka. Mereka harus menjadi standard pengambilan keputusan dan kebijakan seorang pemimpin. Bila masyarakat menolak tambang, itu berarti masyarakat tahu apa yang akan terjadi dengan kehidupan dan keberadaan. Mereka sudah mengenal lingkungan hidup mereka sudah sekian lama dan sekian akrab. Masyarakat sudah mengetahui konteks hidup mereka. Dan karena itu mereka merasa bertanggungjawab atas kelangsungan hidup mereka dan anak cucu mereka.