Kompas edisi Selasa, 05 Juni 2012 memuat tulisan tentang "Perempuan dalam Percaturan Politik". Tulisan tersebut mengangkat latar belakang Kalimantan Barat sebagai propinsi dengan jumlah politisi perempuan paling menonjol. Berita gembira ini diafirmasi dengan terpilihnya Bupati Sambas, Juliarti Juhardi Alwi dalam pemilukada Sambas tahun 2011 yang lalu. Terpilihnya Juliarti sebagai Bupati (Perempuan) menambah deretan para politisi perempuan Kalimantan Barat(Â Bdk. Kompas, 05/06/2012)).
PEREMPUAN DALAM BUDAYA NON-PATRIARKI
Partisipasi perempuan dalam dunia politik tidak lepas dari konstruksi budaya lokal. Budaya lokallah yang punya andil memberikan kesempatan dan kebebasan kepada perempuan untuk terlibat entah dalam dunia pendidikan, sosial, dan dalam dunia politik tentu bisa melahirkan tokoh-tokoh perempuan yang handal.Â
Sementara budaya yang tidak memberi ruang kepada kaum perempuan untuk terlibat, entah dalam bidang ekonomi, pendidikan, politik dan lain-lain, telah turut mengkerdilkan peran kaum perempuan dalam aspek-aspek kehidupan tersebut. Di sini, budaya memiliki peran sentral; membentuk kepribadian dan karakter yang kuat dalam diri perempuan untuk terlibat dalam kehidupan sosial termasuk terlibat dalam panggung politik.
Realitas dan konstruksi budaya masyarakat Kalimantan Barat merupakan bagian kecil budaya nusantara yang memberi ruang lebih banyak kepada perempuan untuk aktif dalam dunia politik. Dengan dukungan kontruksi budaya non-patriarki, kaum perempuan Kalimantan Barat tidak berperasaan 'kurang' kalau mereka diberi jatah mengerjakan pekerjaan atau menjalankan peran yang oleh sebagian besar masyarakat berbudaya patriarki, hanya dikerjakan oleh kaum laki-laki.Â
Bekerja sebagai buruh di perusahan-perusahan sawit atau bekerja di perkebunan karet dipandang sebagai pekerjaan yang wajar bagi perempuan Kalimantan Barat. Hal ini mau menunjukkan bahwa perempuan Kalimantan Barat tidak tertindas oleh budaya patriarki. Dalam hal pendidikan misalnya, orang tua memberikan porsi yang sama kepada setiap anak, entah dia perempuan atau laki-laki.Â
Kenyataan ini menegaskan bahwa budaya Kalimantan Barat tidak diskriminatif dalam pembagian peran sosial antara perempun dan laki-laki. Konstruksi budaya seperti ini memungkinkan kaum perempuan berpeluang besar menjalankan peran dan fungsi sosial bersama kaum laki-laki.Â
Konstruksi budaya setempat memberi ruang kebebasan bagi pembentukan kepribadian  dan cara pandang kaum perempuan tentang diri dan keterlibatannya dalam kehidupan sosial masyarakat. Keterlibatan kaum perempuan dalam politik mesti didukung oleh bangunan budaya yang memberi ruang gerak lebih leluasa bagi aktualisasi peran-peran sosial kaum perempuan.
PEREMPUAN DALAM BUDAYA PATRIARKI, TERTINDAS?
Namun, dalam konteks perjuangan emansipasi wanita dan kesadaran gender, orang mesti bertanya, apakah kaum perempuan yang hidup dalam budaya patriarki memiliki kesadaran dan perasaan tertindas dengan konstruksi budaya tersebut sampai mereka merelakan dan membiarkan banyak peran sosial didominasi kaum laki-laki?Â
Atau kalau kaum perempuan dalam masyarakat patriarki tidak merasa tertindas dengan kontruksi budaya yang oleh banyak kalangan dinilai tertindas, pertanyaannya apakah kaum perempuan itu boleh dibilang sedang hidup dan terbelenggu oleh kesadaran palsu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah buah dari permenungan atas keprihatinan terhadap kondisi riil kaum perempuan. Perempuan mesti digugah perasaan 'aman' terhadap situasi yang membelenggu kaum perempuan kebanyakan. Â Dari konsep teoretis dan abstraksi rasional, orang boleh mengatakan bahwa perempuan dalam masyarakat patriarki sedang tertindas oleh konstruksi budaya patriarki.Â
Namun dalam realitas faktual, kenyataan teoretis-konseptual tersebut tidak disadari oleh kaum perempuan sebagai situasi ketertindasan. Mereka merasa aman dan menikmati situasi tersebut sebagai keadaan yang lumrah. Karena itu, usaha untuk membebaskan perempuan dari situasi yang dianggap tertindas tersebut hanya mungkin kalau kaum perempuan semakin menyadari situasi ketertindasannya.
Tertindas adalah situasi yang tidak hanya dialami atau dilakukan secara individual-perorangan tetapi juga dialami atau dilakukan secara kelompok dalam sebuah struktur budaya yang menindas. Kesadaran untuk menilai sesuatu hanya mungkin kalau orang memiliki tingkat pendidikan yang cukup memadai. Â Melalui pendidikan seseorang entah perempuan diharapkan memiliki kesadaran yang memadai untuk memperbaiki setiap kondisi yang memprihatinkan termasuk memperbaiki kondisi ketertindasan kaum perempuan.Â
Bukti menunjukkan bahwa kebanyakan perempuan yang terlibat dalam usaha memperjuangkan nasib kaumnya berasal dari mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang memadai (kecuali sosok R.A Kartini; tokoh pejuang emansipasi wanita yang memperjuangkan nasib kaum perempuan dari situasi seadanya sesuai dengan keadaan zamannya).Â
Kalau begitu apakah usaha emansipasi dan penyadaran peran sosial perempuan dan laki-laki hanya mungkin melalui pendidikan? Saya kira, kursus-kursus dan tempa-tempat pelatihan bagi kaum perempuan akan membuat mereka dapat memiliki kompetensi yang dibutuhkan, entah di bidang politik maupun bidang ekonomi.
Perempuan mesti sadar akan kondisinya. Jika kondisi yang ada membelenggu kaum perempuan untuk tidak terlibat aktif di ruang publik, maka kondisi tersebut harus dilawan, tapi dengan cara-cara yang elegan.Â
Perempuan mesti memperlakukan dirinya secara adil, dan diperlakukan oleh struktur budaya secara adil pula, agar mereka memiliki kebebasan dan kreativitas untuk membangun masyarakat feminis yang baik, karena dunia membutuhkan sentuhan ide-ide  feminisme.Â
Gerekan emansipasi perempuan, tidak membuat perempuan menindas kaum pria, tapi lebih pada kesetaraan peran sosial agar tidak ada pihak yang dianggap tidak mampu atau lemah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H