1. Catatan Awal
Teori kritis Mazhab Frankfurt yang telah dirintis oleh Adorno, Holkheimer dan Marcuse, menurut Habermas menemukan jalan buntu. Kebuntuan itu menurut Habermas terjadi pada konsep praxis. Habermas sendiri sebenarnya mengeritik ide Karl Marx tentang penggunaan term praxis.
Dalam pandangan Marx, praxis kehidupan manusia adalah kerja. Kerja, bagi Marx, adalah kegiatan indrawi manusia yang bersifat obyektif. Karena itu hubungan-hubungan produksi di dalam masyarakat juga bersifat obyektif, dalam arti relasi-relasi itu independen dari kehendak manusiawi. Totalitas hubungan-hubungan produksi itu membentuk struktur ekonomi masyarakat yang juga obyektif. Dengan menyamakan praxis dengan kerja, Marx secara sangat sederhana telah meredusir syarat-syarat pembebasan sejati umat manusia, yaitu lewat penghapusan pembagian kerja di dalam masyarakat.[1]
Habermas merupakan pelopor Generasi Baru Teoti Kritis. Di dalam pemikirannya, teori kritis mendapat dasar-dasar epistemologi yang sistematis, dan dengan cara itu dia berusaha mengatasi positivisme dengan menunjukkan keterkaitan teori dan praxis. Sama seperti para pendahulunya (Adorno dan Holkheimer), Habermas hendak membangun sebuah 'teori dengan maksud praktis'. [2] Konsep Kritik menurut warisan Mazhab Frankfurt tidak ditinggalkannya.
Jika para pendahulunya menolak sama sekali pemikiran modern tersebut, Habermas melihat segi-segi positifnya. Unsur-unsur modernitas, seperti teknologi, ilmu-ilmu empiris dan positivisme sebagai cara berpikir, merupakan faktor yang penting bagi salah satu dimensi dari praxis hidup manusia, yaitu kerja. Dengan jalan itu manusia berhasil membebaskan diri dari alam eksternalnya. [3] Meskipun Habermas menerima cara berpikir positivistis dan teknologi dalam konteks kerja, dia bersikap tegas (baca:kritis) terhadapnya bila diterapkan dalam konteks interaksi sosial. Di sini seperti para pendahulunya, Habermas mengecam positivisme sebagai 'ideologis' dan saintisme karena positivisme mengklaim diri sebagai pengetahuan sejati yang meliputi segala bidang, termasuk kehidupan sosial manusia.Â
2. Rasio Sebagai Kemampuan Linguistis ManusiaÂ
 Dengan mengeritik para pemikir Marxisme ortodoks, Habermas hendak mengganti 'paradigma kerja' dengan 'paradigma komunikasi'.[4] Implikasi dari paradigma baru ini adalah menemukan pemahaman akan praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog komunikatif dan tindakan-tindakan komunikatif yang menghasilkan pencerahan. Di sana ada ruang dialog yang diciptakan, sebagai sebuah kemungkinan untuk membebaskan individu dari tekanan idelogis tertentu. Di sini Habermas sebenarnya telah menempuh jalan konsensus dengan sasaran terciptanya demokrasi radikal, yaitu relasi-relasi sosial yang terjalin dalam lingkup komunikasi bebas penguasaan.Â
Dalam dialog tidak ada lagi penguasaan dari pihak tertentu yang menamakan dirinya sebagai pihak yang selalu benar, sebagai sumber kebenaran. Dalam konteks komunikasi ini perjungan kelas dalam pandangan klasik, revolusi politis, seperti yang hendak dihidupi Karl Marx, diganti dengan perbincangan rasional di mana argumen-argumen berperan sebagai unsur emansipatoris.[5]Â
2.1. Rasio Yang Memihak
Dengan mengembangkan konsepnya tentang rasio komunikasi, Habermas hendak menunjukkan sebuah model rasio yang memihak. Menurut Habermas, rasio yang memihak memiliki kepentingan emansipatoris.[6] Meskipun Habermas tidak menunjuk suatu golongan tertentu dalam masyarakat sebagai kelompok sasarannya, rasio yang memihak itu akan menunjukkan siapa yang harus dibebaskan. Kelompok sasaran itu adalah mereka yang sedang berada di bawah kekuasaan dan kungkungan dogmatisme-politis.
Habermas tidak bermaksud mengutamakan golongan sosial tertentu, tetapi memprioritaskan pemihakan oleh rasio. Teori yang dihasilkan oleh rasio yang memihak itu diarahkan kepada kelompok sasarannya dan memotivasi mereka dalam proses refleksi diri. Manakala kelompok sasaran itu menyadari dirinya di dalam teori itu, tercapailah 'proses pencerahan' yang merupakan 'proses emansipatoris' dari berbagai bentuk dogmatisme dan ideologi.[7]
Menurut Habermas, secara konkret kegiatan berteori itu terlaksana dalam bentuk argumentasi-argumentasi rasional yang bersifat dialogal. Argumentasi-argumentasi ini dilaksanakan baik di dalam kelompok sasaran itu sendiri sebagai pemahaman diri maupun dilaksanakan antara kelompok sasaran dan kelompok-kelompok lain untuk membina suasana saling pemahaman dan mencapai konsensus.
Dalam arti inilah perjuangan kelas dalam pandangan klasik diganti oleh Habermas dengan 'perbincangan rasional'. Perjuangan kelas tidak lagi merupakan praxis revolusioner untuk menyingkirkan suatu kelas oleh kelas yang lain, melainkan adalah usaha-usaha untuk menciptakan situasi-situasi saling berargumentasi secara dialogal dan komunikatif di antara kekuatan-kekuatan politis yang ada untuk mencapai konsensus.
2.2. Distingsi Antara Kerja dan Interaksi (Komunikasi)
 Habermas menyebut kerja sebagai 'tindakan rasional bertujuan'.[8] Dalam "Technology and Sciences as Ideologi", Habermas merumuskan perbedaan antara kerja dan komunikasi  itu sebagai berikut:Â
Yang saya maksudkan dengan kerja atau tindakan rasional-bertujuan adalah  tindakan instrumental atau pilihan rasional atau gabungan keduanya. Tindakan instrumental dikendalikan oleh aturan-aturan teknis yang didasarkan atas pengetahuan empiris. Di setiap kasus aturan-aturan ini mengandaikan adanya prediksi empiris tentang peristiwa-peristiwa, gejala sosial maupun gejala fisik yang dapat diamati. Prediksi-prediksi itu dapat terbukti benar atau tidak benar. Tindakan rasional-bertujuan merealisasikan tujuan-tujuan oleh kondisi tertentu.
Adapun yang saya maksdukan dengan interaksi adalah tindakan komunikatif, atau interaksi simbolik. Tindakan komunikatif ini diatur dengan norma-norma konsensual mengikat, yang menentukan berbagai harapan timbal balik menyangkut perilaku dan yang dipahami dan diakui sekurang-kurangnya oleh dua subjek yang sedang bertindak (intersubjektif).[9]
Hal itu berarti tindakan rasional-bertujuan merupakan tindakan dasar manusia dalam hubungan manusia dengan alamnya sebagai objek manipulasi. Sementara tindakan komunikatif merupakan tindakan dasar dalam hubungan manusia dengan sesamanya sebagai subjek. Tindakan manusia terhadap alam bersifat monologal, sedangkan tindakan manusia terhadap sesamanya bersifat dialogal karena manusia berinteraksi melalui simbol-simbol yang dipahami secara intersubjektif sebagaimana nampak dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Dari segi pelaku tindakan, pelaku tindakan rasional-bertujuan memiliki 'orientasi pada sukses'.
Gagal atau berhasilnya tindakan diukur dari sejauh mana keberhasilannya dalam mewujudkan suatu tujuan. Sejauh tindakan itu memasuki dunia ilmiah dengan memenuhi aturan-aturan teknis tertentu, tindakan itu dapat disebut praksis instrumental.[10] Jika tindakan itu memasuki dunia sosial, tindakan ini menjadi praksis strategis[11] dengan memenuhi aturan-aturan bagi pemilihan rasional. Sementara itu, pelaku tindakan komunikatif memiliki 'orientasi pada pencapaian pemahaman'. Dalam hal ini sukses tidak menjadi ukuran, dan tindakan ini tidak bersifat egosentris. Keberhasilan tindakan komunikatif justru tampak pada tercapainya saling pemahaman kedua belah pihak.
Menurut Habermas, suatu tindakan strategis bisa bersifat 'terbuka' maupun 'tersembunyi'.[12] Di dalam suatu interaksi, para pelaku tindakan strategis bisa dengan sadar menipu pihak lain sehingga menjadi 'manipulasi'. Akan tetapi, di dalam interaksi pelaku bisa dengan tidak sadar menipu diri mereka sendiri seakan-akan tidak bertindak secara strategis sementara menampakan diri mereka seolah-olah ingin mencapai saling pemahaman. Itulah yang disebut Habermas dengan 'komunikasi yang terdistorsi secara sistematis'.[13]
 Menurut Habermas, bekerja adalah sikap manusia terhadap alam. Dalam pekerjaan hubungan antara manusia dan alam bersifat asimetris. Manusia yang mengerjakan alam adalah subyek yang aktif dan alam adalah obyek yang pasif. Maka pekerjaan merupakan hubungan kekuasaan. Manusia menguasai alam melalui pekerjaan. Pekerjaan adalah tindakan rasional yang bersasaran. Ia merupakan tujuan instrumental.
Tujuan pekerjaan terletak di luar pekerjaan itu sendiri, karena orang bekerja demi hasil pekerjaan. Sementara komunikasi adalah sikap manusia terhadap manusia lain. Komunikasi bukan hubungan kekuasaan. Komunikasi merupakan relasi yang bersifat simetris.
Unsur dasar dari komunikasi adalah kebebasan dan saling percaya. Komunikasi diantarai secara simbolis oleh bahasa. Karena itu setiap bahasa harus dapat dimengerti, benar, jujur, dan tepat.[14]
Bahasa yang dapat dimengerti, benar dan jujur mesti lahir dalam konsensus. Dalam konsensus para pelaku komunikasi dapat saling memahami sehingga terjadi relasi yang komunikatif. Dengan demikian tidak terjadi apa yang dikatakan Habermas sebagai model komunikasi yang terdistorsi.
3. Interaksi Sosial Dalam Rasio Komunikasi
3.1. Komunikasi Partisipatif
Habermas memahami komunikasi partisipatif sebagai interaksi simbolis. Interaksi simbolis dipahami sebagai tindakan komunikatif yang ditentukan oleh norma-norma konsensus yang mengikat. Norma-norma konsensus yang mengikat, menentukan harapan timbal balik mengenai tingkah laku yang harus dimengerti, diketahui sekurang-kurangnya oleh dua subyek yang bertindak. Makna dari norma-norma itu diobyektivasi dalam komunikasi lewat bahasa sehari-hari.
Dalam praktek komunikasi maksud yang tidak bisa disampaikan lewat tuturan dilengkapi dalam tindakan, dan maksud tindakan dijelaskan dalam tuturan. Sementara itu kesahihan-kesahihan aturan-aturan teknis dan strategis tergantung pada kesahihan proposisi-proposisi yang secara analitis dan empiris benar. Kesahihan norma-norma sosial didasarkan hanya dalam intersubjektivitas saling pemahaman maksud-maksud dan 'diamankan' oleh pengetahuan umum mengenai kewajiban-kewajiban.[15]
 Dalam proses ini, orang dapat saling bertukar posisi komunikasi, sehingga tidak hanya melihat dalam perspektif diri sendiri tetapi juga dalam perspektif orang lain. Tindakan komunikatif bersifat partisipasif karena dia terarah kepada subyek yang lain dan meminta reaksinya. Keabsahan komunikasi di sini ditentukan berdasarkan kesetaraan subyek-subyek.
Dengan demikian teori komunikasi mendorong praksis perubahan sosial dalam masyarakat melalui tindakan komunikatif. Teori komunikasi ini bersifat 'korektif' terhadap hubungan fungsional obyek-obyek menjadi hubungan intersubjektif yang bebas dari dominasi dan manipulasi. Di sini persetujuan satu sama lain dihasilkan melalui praksis komunikatif, tidak bertumpu pada paksaan atau manipulasi, melainkan pada penerimaan suka rela karena klaim kesahihan yang selalu mungkin dikritik.[16]
3.2. Komunikasi Bebas Kuasa
Â
 Komunikasi bebas kuasa adalah komunikasi yang tidak terdistorsi secara ideologis. Ideologis merupakan hasil pseudo-komunikasi, suatu komunikasi yang terdistorsi secara sistematis. Ideologis hadir sebagai suatu konsensus semu dengan paksaan-paksaan autoritas.
 Pada taraf bahasa, komunikasi yang terdistorsi tampak dalam rupa kekakuan dan perilaku repetitif yang berpola akibat paksaan. Dalam komunikasi yang bersifat ideologis terjadi kesenjangan bahasa, tindakan dan isyarat yang menyertainya. Komunikasi itu perlu disembuhkan  lewat dialog-dialog emansipatoris yang menghasilkan pembebasan dalam subyek-subyek yang berkomunikasi.
Menurut Habermas, yang disebut benar adalah ucapan-ucapan yang diterima berdasarkan konsensus rasional di antara semua pihak bersangkutan. Suatu konsensus boleh disebut rasional, jika semua peserta diskusi dapat mengemukakan semua argumen yang relevan pada saat itu, sehingga pengandaian-pengandaian yang berperan dalam diskusi tersebut dapat dikritik juga, dan kalau perlu, diubah atau malah diganti dengan alternatif, jika para peserta menginginkannya. Situasi percakapan yang ideal ini terwujud melalui tiga tahap:
Pertama, semua peserta mempunyai peluang yang sama untuk memulai suatu diskusi dan dalam diskusi itu mempunyai peluang yang sama untuk mengemukakan argumen-argumen dan mengeritik argumen-argumen peserta lain.[17]
Kedua, di antara peserta-peserta tidak ada perbedaan kekuasaan yang dapat menghindari bahwa argumen-argumen yang mungkin relevan sungguh-sungguh diajukan juga.
Ketiga, semua peserta mengungkapkan pemikirannya dengan ikhlas, sehingga tidak mungkin terjadi yang satu memanipulasi yang lain tanpa disadarinya.[18] Situasi perbincangan ideal adalah suatu struktur komunikasi yang bebas dari hambatan. Dalam situasi perbincangan ideal ini semua partisipan mendapat suatu pembagian yang simetris dan kesempatan yang sama untuk menyatakan gagasannya.[19]Â
3.3. Tindakan Komunikatif
 Tindakan sosial yang yang merefleksikan intersubjektivitas dalam aksi, komunikasi dan rasio adalah tindakan komunikatif.[20] Aksi dipahami sebagai kemampuan menggunakan bahasa dan memahami situasi komunikasi. Komunikasi adalah hubungan intersubjektif yang menghargai kebebasan dan kesamaan derajat. Dan rasio dipahami sebagai alasan rasional yang membenarkan aksi dan komunikasi.
Suatu pemahaman bersama menjadi tindakan komunikatif bertolak dari penerimaan kesepakatan yang bersifat mengikat. Kesepakatan yang mengikat menyangkut hal-hal yang diterima oleh semua anggota sebagai kepentingan bersama. Suatu konsensus mengenai kepentingan umum bersifat mengikat karena setiap orang mengambil bagian dalam memutuskannya.[21]
Akan tetapi konsensus bukanlah keputusan final. Konsensus dalam konteks ini ditempatkan dalam suatu diskursus rasional. Konsensus yang mendapatkan konteksnya dalam diskursus rasional harus terbuka terhadap kritik dan pembaharuan. Karena itu, perdebatan rasional antara semua anggota masyarakat harus memainkan peran dalam menguji keabsahan pernyataan-pernyataan dan norma-norma, sehingga apa yang diterima betul-betul baik dan benar. Dalam pertukaran ide-ide tersebut terjadi komunikasi yang mana semua partisipan berlaku kooperatif. Mereka bersikap kooperatif dalam menyepakati apa yang sama benar bagi setiap partisipan cocok dengan apa yang seharusnya dilakukan.[22]
3.4. Komunikasi Intersubjektif
Dalam komunikasi intersubjektif, tindakan komunikatif bersifat intensional. Dia terarah kepada subyek yang lain dan meminta reaksinya. Subyek yang lain itu otonom.
Kemandirian menunjukkan kesanggupan untuk mengenal dan mengikat diri pada sesuatu. Sesuatu itu selalu diungkapkan dalam bahasa. Bahasa menjadi medium komunikasi antar subyek. Habermas menyadari adanya perasaan, kebutuhan dan pengalaman pribadi yang semuanya ditransformasikan dalam bahasa.
 Karena dalam komunikasi yang menjadi tujuan adalah saling pengertian, maka komunikasi harus bersifat terbuka.[23] Komunikasi yang bersifat terbuka menuntut kesediaan satu subyek untuk menerima tanggapan dari subyek yang lain. Rasio komunikasi yang mendasari komunikasi ini juga bersifat terbuka.
Dia adalah rasio yang menyadari ketergantungan hakikinya dari tanggapan peserta komunikasi. Keterbukaan hakiki inilah yang membedakan rasio komunikatif dari rasio instrumentalis dan rasio strategis yang menjiwai sitem politik totaliter.
4. Habermas Sebagai pembaharu Teori Kritis melalui rasio Komunikatif
Â
Antara Habermas dan para pendahulunya (teori kritis mazhab Frankfurt) terdapat diskontinuitas yang tegas mengenai perbedaan mendasar dua dimensi praxis, yaitu kerja dan komunikasi. Kerja dan komunikasi merupakan dua tindakan dasar manusia yang menentukan bagaimana manusia sebagai spesies bergerak dan hidup dalam dunianya. Bertolak dari konsep baru mengenai praxis, sebagai pembaharu, Habermas dapat menyegarkan kembali pemikiran-pemikiran Marxis yang menyangkut dua pokok masalah yaitu hubungan antara teori dan praxis.
Â
Usaha untuk mencari pertalian teori praxis ditempuhnya dengan jalan konsensus dan komunikasi, suatu jalan yang berlawanan dengan gagasan-gagasan Marxisme pada umumnya yang menempuhnya dengan jalan konflik revolusioner. Usaha-usaha untuk membangun suatu teori kritis yang sistematis dan pragmatis berdasarkan konsep baru mengenai praxis sebenarnya telah dimulai sebagai suatu teori mengenai pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Teori ini menjadi dasar epistemologis bagi Teori Kritis dalam versi Habermas sekaligus menjadi kritik yang gigih atas saintisme dan posivitisme. Dengan teori ini secara jernih Habermas meletakan dasar-dasar bagi Kritik, menemukan pertautan antar pengetahuan dan praxis, dan membangun semacam program dasar bagi teori krisinya, yaitu rasio komunikatif.
5. Kemungkinan Mengkritisi Rasio Komunikatif Jurgen HabermasÂ
Â
Jurgen Habermas hadir sebagai seorang filsuf Jerman yang mau menyegarkan kembali kebuntuan epistemologis Teori Kritis Mazhab Frankfurt generasi pertama. Kebuntuan epistemologis Mazhab Frankfurt tersebut terletak pada ketidakmampuan mereka merumuskan sebuah solusi dari analisis "dialektika negatif" yang mereka refleksikan sendiri.
Â
 "Dialektika negatif" tersebut, jika mau dirumuskan secara singkat, sebenarnya mau menekankan pesimisme masyarakat terhadap rasionalitas yang sebelumnya dianggap mampu menyelamatkan manusia dari kebodohan dan kemiskinan, tetapi kini telah menjadi sumber dari malapetaka didalam peradaban manusia itu sendiri. Berbagai bentuk teknologi hasil temuan dari "rasionalitas" kini justru seakan-akan memakan tuannya sendiri, seperti bom atom, yang notabene adalah hasil penemuan brilian dari pengembangan dari teori Einstein, kini menjadi mesin penghancur manusia yang paling efektif.
Â
Dengan demikian, bagi Teori Kritis Mazhab Frankfurt generasi pertama, krisis didalam peradaban manusia modern sudahlah total, terutama karena tidak ada lagi yang bisa dijadikan sandaran harapan untuk mencapai pembebasan. Rasionalitas justru telah menjadi senjata yang paling ampuh untuk menghancurkan manusia itu sendiri.
5.1. Miskonsepsi Rasionalitas
Â
Habermas melihat bahwa kebuntuan yang dialami Teori Kritis Frankfurt generasi pertama, yang dipelopori oleh Adorno, Horkheimer, dan Marcuse, tersebut sebenarnya berpijak pada kesalahan epistemologis didalam mengartikan rasionalitas. Bagi para pendahulunya tersebut, rasionalitas lebih dipandang sebagai rasionalitas instrumental, yakni bentuk rasionalitas yang mengutamakan kontrol, dominasi atas alam ataupun manusia untuk menghasilkan efektifitas dan efisiensi, dan prioritas pada hasil yang paling maksimal.
Â
Jika menggunakan konsep rasionalitas semacam itu, maka manusia akan terasing satu sama lain, terutama karena mereka memperlakukan manusia lainnya sebagai benda untuk mencapai tujuan mereka masing-masing. Maka tidaklah heran jika Teori Kritis generasi pertama tersebut jatuh kedalam kebuntuan dan pesimisme total terhadap rasionalitas.
Â
Pesimisme tersebut akhirnya dialihkan oleh Teori Kritis Mazhab Frankfurt generasi pertama ke dorongan-dorongan manusia yang lebih bersifat libidinal, seperti eros, nafsu, dan estetika. Mereka pun "melompat" kedalam term-terms yang lebih estetis, libidinal, dan menolak rasionalitas sebagai elemen kunci pembebasan manusia.
5.2. Terobosan Habermas: Rasionalitas Komunikatif
Â
Habermas melihat miskonsepsi atas rasionalitas tersebut, dan kemudian merumuskan potensi emansipatoris dari rasionalitas yang tidaklah instrumental, yakni rasionalitas komunikatif. Rasionalitas komunikatif ini sudah tertanam didalam akal budi manusia itu sendiri, dan didalam kemampuan mereka berkomunikasi satu sama lain, sehingga akan selalu ada dan tidak mungkin dihilangkan selama manusia itu masih ada.
Â
 Proyek pencerahan memang membawa dampak buruk bagi peradaban manusia, tetapi dampak baiknya juga tidak dapat dilupakan begitu saja. Perang memang memakan korban yang semakin besar, tetapi kemampuan manusia untuk menggunakan akal budinya juga bertambah, dan dimana sumber masalah ada, biasanya disitulah sumber solusinya.
Â
Jika yang salah adalah rasionalitas manusia yang telah menjadi melulu instrumental, maka solusinya adalah rasionalitas yang bersifat komunikatif yang terletak didalam kemampuan manusia untuk mencapai kesalingpengertian terhadap manusia lainnya, yakni didalam bahasa. Dengan merumuskan rasionalitas komunikatif sebagai inti dari seluruh pemikirannya, Habermas berhasil membuat terobosan dari kebuntuan para pendahulunya di Teori Kritis Frankfurt, dan kemudian melebarkan analisis Teori Kritis sampai menyentuh refleksi filsafat bahasa, teori diskursus dan moralitas, serta Refleksi tentang ruang publik, dimana rasionalitas menemukan ruang implementasinya, yakni didalam prakteks dialog dan debat publik untuk mencapai kesaling pengertian.
Â
5.3. Rasionalitas Komunikatif Dalam Perdebatan
Â
Terobosan yang diberikan Habermas dengan konsep rasionalitas komunikatifnya tersebut memang membuka ruang-ruang baru bagi analisis Teori Kritis. Banyak pihak yang memuji terobosan ini sebagai salah satu terobosan teoritis terbaik didalam sejarah filsafat.
Â
Seperti yang sering dialami oleh para pemikir, adanya pujian juga berarti adanya kritik. Teori Habermas yang brilian ini pun tidak bebas dari kritik, terutama dari kritik yang dilontarkan oleh para pemikir post-modern, seperti Derrida, Lyotard, ataupun Foucault.[24]
Para pemikir postmodern ini curiga dengan segala bentuk teori yang mengklaim mampu menawarkan solusi yang bersifat universal, ontologis, dan berasal dari refleksi metafisika. Konsep rasionalitas komunikatif pun mereka tuduh sebagai solusi universal yang menggendong elemen penindasan dibaliknya.
Elemen penindasan tersebut terletak pada klaim universalnya yang dianggap mengeliminasi perbedaan, lokalitas, serta segala sesuatu yang bersifat partikular. Jika refleksi filsafat jatuh pada satu konsep kunci yang dianggap mampu mendefinisikan dan menjadi solusi bagi semua permasalah manusia yang berbeda-beda, maka solusi tersebut sebenarnya sudah menjadi problem baru, dimana perbedaan manusia dengan segala pluralitas kehendak, kebertubuhan, ideologi, pemahaman, latar belakang sosial direduksi kedalam term-term yang mengklaim dirinya universal, padahal sebenarnya menindas.
Para pemikir postmodern pun mencap Habermas sebagai salah satu filsuf yang berpikir dalam paradigma filsafat subyek yang cenderung mengeliminir perbedaan, dan karena itu menindas. Dengan kata lain, Habermas telah merumuskan sebuah pemikiran yang membenarkan penindasan atas nama universalitas.
Habermas pun tidak diam saja menerima kritik yang tampak berat sebelah tersebut. Didalam perdebatannya dengan Derrida, Habermas berpendapat bahwa para filsuf postmodern adalah pemikir yang tidak mampu merumuskan konsep yang rigoristik didalam menganalisis suatu permasalahan, dan karena itu mereka bermain dengan kategori-kategori yang puitis, estetis, serta tidak sistematis.
5.4. Rasionalitas Komunikatif, Masihkah relevan?
Â
Lepas dari perdebatan yang kontroversial tersebut, masihkah relevan konsep rasionalitas komunikatif Habermas diera sekarang ini? Ataukah, searah dengan kritik para filsuf postmodern, konsep tersebut sudah usang, dan tidak lagi dapat dijadikan sandaran untuk menganalisis serta memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang kita hadapi sekarang ini?
Â
Justru, ditengah semakin banyak problem yang muncul akibat perbedaan persepsi, ideologi, agama, serta kepentingan inilah konsep tersebut dapat digunakan sebagai salah satu alternatif solusi yang paling jitu. Didalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, kemampuan berkomunikasi yang baik untuk mencapai kesalingpengertian bersama mutlak diperlukan, sehingga integrasi masyarakat yang terdiri dari elemen-elemen sosial yang berbeda dapat terus dipertahankan.
Â
Kritik para pemikir postmodern tersebut memang layak diperhatikan, tetapi kritik tersebut lebih berada ditataran refleksi filosofis, dan tidak menyangkal kegunaan praktisnya sebagai alternatif solusi didalam menjembatani perbedaan yang ada melalui komunikasi yang sehat, inklusif, bebas dominasi, egaliter, serta dilandasi kejujuran, ketepatan, kebenaran, dan komprehensibilitas. Dengan demikian, konsep ini masihlah sangat relevan untuk masyarakat kita.
Â
Yang mesti juga diingat adalah, rasionalitas janganlah dihapus dari kehidupan manusia, melainkan juga digunakan untuk menghadapai bahaya-bahaya yang seringkali dilahirkannya sendiri. Kita harus lebih jeli membedakan yang mana "berkat" dari "kutuk" yang menimpa kita. Kemampuan membedakan sesuatu yang distingsinya halus semacam itu mungkin tidak lagi dimiliki oleh masyarakat kita yang dibombardir terus menerus oleh logika neoliberalisme, dimana keuntungan finansial menjadi satu-satunya tujuan utama.Â
5.5. Kesimpulan dan Cacatan Kritis
Â
Konflik dan perang menurut Habermas adalah buah dari patologi komunikasi yang disebabkan oleh naluri untuk berkuasa dari satu pihak yang tidak dapat dikontrol, ataupun ketidakmampuan satu pihak yang mentransendir perspektifnya, dan kemudian menggunakan perspektif partisipan lainnya, ataupun perspektif yang lebih luas dari sekedar kepentingannya sendiri. Dalam kedua situasi yang sebutkan terakhir ini, situasi pembicaraan ideal yang dirumuskan Habermas tidak akan terpenuhi, terutama karena inklusifitas, kebebasan dari paksaan, kesetaraan, kejujuran, kebenaran, komprehensibilitas, dan ketepatan pembicaraan juga tidak terwujud.
Â
Konflik yang terjadi dalam masyarakat menjadi sulit dihentikan, karena terjadi apa yang disebut Habermas sebagai spiral kekerasan yang muncul, akibat patologi komunikasi. Spiral kekerasan tersebut adalah tindak kekerasan yang dibalas juga dengan tindak kekerasan, sehingga kekerasan (seakan) tidak pernah dapat diputus.
Â
Karena masalahnya adalah patologi atau distorsi komunikasi, maka solusinya juga terdapat didalam komunikasi itu sendiri, yakni penciptaan komunikasi yang inklusif, bebas dominasi, dan egaliter antara berbagai pihak yang berbeda kepentingan, baik itu kepentingan ekonomi, politik, maupun budaya. Penciptaan komunikasi ideal semacam itu hanya dapat ditempuh, jika masing-masing pihak memiliki dua macam kesadaran, yakni kesadaran untuk melampaui perspektif kepentingan nasional maupun kepentingan ikatan primodialnya dan kemudian menggunakan perspektif yang lebih luas, maupun kesadaran untuk mengambil alih perspektif pihak lainnya untuk menciptakan empati dan simpati di antara partisipan komunikasi.
Â
Dua macam kesadaran tersebut tidaklah datang dari langit, melainkan dipromosikan melalui hukum, dan penciptaan otoritas supranasional yang bekerja sama secara global untuk menyebarkan kesadaran tersebut melalui kebijakan maupun program-program mereka. Dengan demikian, kesadaran kosmopolitanisme adalah buah sekaligus pembentuk dari terciptanya otoritas supranasional yang legitim, dan tersambung secara diskursif dengan seluruh warga negara global. Karena itu ada beberapa catatan Kritis yang perlu dialamatkan kepada Habermas tentang rasio komunikatif dalam kaitan dengan distorsi komunikasi dan terjadinya konflik dalam masyarakat:
Â
Pertama, pemikiran Habermas bersifat elitis, naif, dan terlalu normatif, terutama karena ia merumuskan segala sesuatu secara indah dan tampak koheren, dan sambil melupakan kenyataan yang tak seindah yang dipikirkannya.
Kedua, Habermas memandang rendah tradisi dan sejarah komunitas, dan menempatkannya sebagai primordial. Bagi Habermas, setiap tradisi haruslah siap untuk melepas perspektifnya, sehingga ada bahaya bahwa tradisi yang khusus dan spesifik tersebut akan musnah, karena ditelah oleh narasi besar universalisasi norma yang ditawarkan Habermas.[25] Habermas lupa, bahwa bagi beberapa pihak, tradisi sangatlah penting dan harus dijaga serta dilestarikan, dan bukan untuk ditukar demi suatu prinsip universalisasi abstrak. Bahkan, universalitas adalah suatu tradisi berpikir tertentu, dan dengan mengklaimnya berlaku untuk semua tradisi, universalitas tersebut telah menjadi selubung bagi penindasan atas perbedaan.
Ketiga, prinsip diskursus Habermas, yang merupakan inti dari filsafat moral Habermas, mereduksikan "moralitas menjadi teknik" semata, sehingga melupakan nilai subtansial kebaikan itu sendiri, dan pembiasaan untuk bersikap moral. Prinsip diskursus Habermas dapat digunakan untuk melegitimasi pembunuhan, jika pembunuhan tersebut telah dianggap sebagai suatu "kesepakatan" bersama.Â
Empat, filsafat politik Habermas mau menerapkan model tindakan komunikatif di level internasional, dan oleh karena itu, pengandaian dasarnya adalah bahwa hukum dan keadilan dapatlah dijembatani melalui diskursus bebas dominasi, inklusif, dan egaliter antara partisipan yang rasional. Pengandaian tersebut tampak sangat jauh berbeda dengan realitas, dimana hukum dan semua bentuk peraturan legal lebih ditentukan oleh kekuatan, baik itu kekuatan senjata maupun kekuatan argumen.
Beberapa bentuk pemerintahan lebih memilih untuk bersikap tidak rasional, dan kekuatan senjata terkadang lebih berbicara dalam kasus-kasus pemerintahan irasional semacam itu, daripada kekuatan argumentasi dan dialog. Tanpa adanya kekuatan dan otoritas, konsensus tidak akan pernah dicapai, dan alih-alih konsensus, yang tercapai justru adalah ketidaksetujuan bersama. Â Â
Lima, pengandaian-pengandaian Habermas memang tampak tidak terlalu banyak sesuai dengan kenyataan. Salah satu yang paling mencolok adalah tesisnya, bahwa cara membenarkan hasilnya.[26]
Dalam sikap politiknya, ia cenderung untuk mendukung terciptanya institusi supranasional, seperti EU dan PBB, untuk mempromosikan nilai-nilai inklusifitas pada level global. Akan tetapi, ia tampak mengabaikan begitu saja perubahan institusi-institusi supranasional tersebut menjadi birokrasi raksasa, yang semakin independen dari warga negara terkait.
Dengan membenarkan keberadaan institusi tersebut tanpa mengajukan kritik-kritik tajam atasnya, Habermas sebenarnya dapat dianggap sebagai salah satu filsuf yang menjustifikasi kekuasaan dan penindasan atas nama kestabilan. Pada level ideal, ia merumuskan suatu bangunan teori yang koheren, tetapi pada level aktual, ia tidak meninggalkan apa-apa kepada kita, kecuali ambiguitas
Maka, kita tentunya berhak menanyakan kembali kesahihan dari tesis Habermas, bahwa perdamaian dapat dicapai melalui "percakapan", sambil juga kritis, bahwa jangan-jangan, percakapan tersebut hanyalah merupakan pembenaran bagi suatu bentuk penindasan tertentu yang menguntungkan pihak yang lebih kuat, baik secara ekonomi maupun politik.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H