Seringnya bencana yang melanda Indonesia melahirkan sejumlah pertanyaan. Manusia mulai mempertanyakan perilakunya terhadap alam dan relasi personalnya dengan Tuhan. Tentang perilakunya terhadap alam, manusia tampaknya menemukan jawaban yang sedikit memadai terkait kerusakan ekosistem yang dapat menimbulkan bencana seperti tanah longsor, banjir, dll. Namun tentang relasinya dengan Allah manusia sering sulit menemukan jawaban yang memadai.
Terhadap pertanyaan ini, para filosof sejak zaman klasik sudah berusaha mencari jawaban yang rasional dalam refleksi filosofis. Tetapi jawaban-jawaban rasional itu tetap tidak memuaskan karena keterbatasan akal budi manusia untuk menyelami misteri semesta. Rahasia semesta hanya dapat diselami lewat kepasrahan yang penuh kepada penguasa semesta yang oleh penganut agama Monoteis disebut Tuhan atau Allah.
Sebagai orang beriman, mempertanyakan relasi dengan Tuhan adalah hal yang lumrah, karena kaum beriman memiliki konsep tentang Allah Yang Mahabaik. Kini konsep kemahabaikan Allah tersebut diperhadapkan dengan realitas lain yang bertentangan dengannya. Adanya bencana adalah hal yang bertentangan dengan kebaikan yang ada dalam diri Allah. Â
Persoalannya, apakah Allah yang Mahabaik menghendaki bencana  terjadi? Apa sebabnya Allah mengijinkan adanya penderitaan dalam dunia
Konsep Teodice Leibniz
Masalah tersebut pertama kalinya disebut masalah teodisea (dari "theos", Allah, dan "dike", keadilan) oleh filosof Jerman Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Teodisea berarti pembenaran Allah. Yang dimaksud adalah bahwa adanya penderitaan kelihatan sedemikian bertentangan dengan eksistensi Allah yang Mahatahu, Mahakuasa dan Mahabaik, sehingga Allah seakan-akan perlu dibenarkan. Karena itu, pembenaran memang dituntut. Kalau pun Allah tidak membutuhkan pembenaran kita, namun orang yang percaya kepada Allah tidak dapat menghindar dari pertanyaan tentang bagaimana keadilan dan kebaikan Allah dapat disesuaikan dengan segala macam malapetaka di alam ciptaan-Nya. Â Â Â Â Â Â
Untuk menjawabi pertanyaan tentang adanya penderitaan, Gottfried W. Leibniz, adalah seorang filosof yang memberikan jawaban sangat rasional dan memuaskan. Berangkat dari pemikirannya tetang monade, Leibniz memberikan penjelasan tetang keberadaan dunia sebagai yang terbaik dari yang mungkin. Leibniz berpendapat bahwa sejak awal mula Allah telah memilih untuk menciptakan dunia yang terbaik dari segala kemungkinan.
Hakikat Allah adalah kebaikan, sebab itu dia menciptakan yang terbaik (optimal). Seandainya dunia yang tercipta bukanlah dunia yang terbaik, berarti masih ada kemungkinan lain yang lebih baik. Konsekuensi dari pengandaian ini adalah: atau Allah tidak mengenal kemungkinan terbaik itu -- namun ini bertentangan dengan kemahatahuan-Nya; atau Dia tidak sanggup menciptakan yang terbaik itu -- tetapi itu bertentangan dengan kemahakuasaan-Nya; atau Dia tidak mau menciptakan yang terbaik itu -- ini bertentangan dengan kemahabaikan-Nya. Tetapi, kalau yang dicipta adalah yang terbaik, mengapa ada sekian banyak penderitaan?
Pertanyaan di atas mendorong manusia untuk mencari jawaban yang memuaskan. Perlu diketahui bahwa masalah teodise hanya dapat muncul apabila Tuhan dipahami secara personal-dialogal dan apabila masing-masing orang secara personal dianggap mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Penderitaan menjadi masalah justeru karena Yang Ilahi dipahami, bahkan dialami, sebagai kekuatan yang peduli pada manusia, yang berbelaskasih, yang suka mengampuni kesalahan manusia (daripada secara keras selalu menghukumnya), yang menyembuhkan.
Atas dasar penghayatan Allah sebagai kekuatan yang peduli, menyelamatkan dan menyembuhkan kenyataan penderitaan semakin tidak dapat dimengerti. Manusia tidak dapat memahami mengapa Dia yang Mahabaik dan suka mengampuni itu mendatangkan malapetaka dan penderitaan bagi yang dicintainya? Â Â Â Â Â Â
Leibniz dalam bukunya Theodicy, Essays of the Goodness of God, the Freedom of Man and the Origin of Evil membedakan tiga macam keburukan, yakni keburukan metafisis, keburukan fisis dan keburukan moral. Di sini saya lebih menitikberatkan pada keburukan metafisis untuk menjelaskan konsep Leibniz tentang bencana. Keburukan metafisis (seperti bencan alam), merupakan ketidaksempurnaan belaka, dan ketidaksempurnaan ini mencakup semua ada yang terbatas.