Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sebaiknya Anak Anda Tak Perlu Disekolahkan...

20 Oktober 2012   15:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:36 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin judul di atas agak ekstrem. Meski yakinlah saya tidak termasuk orang yang anti sekolah. Saya hanya ingin mengatakan bahwa sekolah dalam mendidik anak tak bisa berjalan sendiri. Perlu dukungan dari banyak pihak –terutama keluarga—agar sekolah dengan baik melakukan tugasnya. Barangkali semua pihak di luar sekolah perlu meneriakkan yel-yel fans Liverpool , we will never you walk alone.

Saya jadi teringat wejangan Ki Hajar Dewantara. Pilar Pendidikan itu ada tiga; sekolah, keluarga dan masyarakat. Saya tidak tahu, sejak kapan tiba-tiba urusan pendidikan seolah menjadi tanggungjawab sepenuhnya sekolah? Menjadikan sekolah sebagai satu-satunya yang bertangggungjawab dalam pendidikan anak, saya pikir melahirkan implikasi yang cukup serius.

Pertama, sekolah dianggap sebagai pranata social yang lepas dari struktur social yang lebih besar. Sekolah seolah dianggap lembaga social yang ekslusif, hidup di seberangsana, dan lepas dari pengaruh struktur di luarnya.

Pada hal semua sadar bahwa para siswa datang ke sekolah berasal dari latar belakang keluarga, masyarakat, dan budaya yang berbeda. Selepas pulang sekolah, para siswa tidak secara otomatis bisa mempertautkan pengetahuan dengan lingkungannya.

Jika di sekolah dibangun sikap jujur, tentu akan kesulitan bagi siswa mempertautkan pengetahuannya dalam lingkungan di luar sekolah yang korup. Jika di sekolah para siswa dibangun untuk memartabatkan prilaku seks-nya, tentu akan sulit bagi siswa untuk mempertahankannya ketika di luar sekolah justru prilaku seks demikian bebasnya. Jika di sekolah dibangun pengetahuan dan keterampilan menjadi warga Negara yang paham hak dan kewajiban, tentu para siswa bisa bingung jika di luar sekolah para elit hanya pintar memperjuangkan hak pribadinya, minus kewajiban.

Pendidikan di sekolah, apalagi menyangkut pendidikan karakter, butuh dialami. Pengalaman itu akan diperoleh para siswa dalam jumlah waktu yang lebih banyak di luar sekolah. Saya pikir, tak akan kuat tertanam apa yang diperoleh siswa di sekolah, jika tak tersedia lingkungan yang kondusif di luar sekolah.

Kedua, sekolah dianggap sebagai “superman” yang bisa menyelesaikan semua masalah yang terkait dengan pendidikan anak. Cara pikir seperti ini menurut saya terlalu berlebihan. Contoh sederhana, masalah tawuran seolah sekolah yang sepenuhnya salah. Anasir lain di luar sekolah yang turut membentuk prilaku kekerasan siswa tak banyak dianalisis.

Anggapan bahwa sekolah ibarat superman bisa dilihat dari banyaknya titipan program ke sekolah. Silang sengkarut persoalan korupsi di negeri ini menghasilkan gagasan perlunya pendidikan anti korupsi masuk kurikulum. Prilaku tidak tertib di jalan menghasilkan perlunya kesdisiplinan masuk kurikulum. Begitu juga dengan isu gender, lingkungan hidup, tanggap bencana, dsb.

Satu sisi harapan yang berlebihan bisa di sambut positif. Berarti sekolah masih dipercaya untuk mengurai keruwetan di republic ini. Tapi jika sekedar “cuci tangan”, dalam arti pilar lain di luar sekolah tidak melakukannya, saya pikir ini tidak fair. Sekolah seolah di suruh bekerja sendiri.

Ayo Gandeng Tangan

Saya mengamati banyak masalah-masalah yang dihadapi keluarga –setidaknya dalam pengalaman di sekolah saya—mulai sejak perceraian, perselingkuhan, pola asuh yang salah, kesenjangan komunikasi, dsb. telah mengakibatkan meningkatnya masalah-masalah anak di sekolah.Fakta ini menunjukkan begitu kuatnya pengaruh luar terhadap munculnya masalah-masalah anak di sekolah.

Pada sisi lain, saya juga menemukan fakta makin sedikitnya keluarga yang tidak menjalankan fungsi afeksi dan pendidikan dalam keluarga. Mereka seolah menyerahkan sepenuhnya pendidikan anaknya terhadap sekolah. Saya sampai pada suatu kesimpulan, menyerahkan bulat-bulat urusan pendidikan hanya kepada sekolah adalah pikiran menyesatkan. Jika cara pikirnya seperti ini, sebaiknya tak perlu anak-anak di sekolahkan.

Saya mengatakan begini, bukan berarti sekolah mau cuci tangan dalam urusan mendidik siswa-siswanya. Tidak. Tugas sekolah memang mendidik para siswa agar berbudi luhur, cerdas otak dan hati, terampil, kritis, serta peka terhadap masalah bangsanya. Cuma satu hal, mengemban tugas sekolah tak bisa sendirian. Butuh sinergi dengan pilar-pilar lain di luar sekolah, terutama keluarga.

Matorsakalangkong

Pulau Garam | 20 Oktober 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun