Saya punya seorang tetangga, seorang bapak dengan 3 anak dan 1 istri, yang sering jadi rujukan kami ketika bicara tanggung jawab seorang suami. Di lingkungan tetangga ia dikenal sangat sabar. Begitu sabarnya, malah sebagian tetangga kadang bilang “kasihan”.
Ia pekerja keras. Pekerjaan sebagai distributor buku mengharuskan ia keliling di daerah saya dengan sepeda motornya. Pagi berangkat, sore baru datang. Tetapi apakah ketika pulang kerja, ia menolak permintaan istri, misalnya, untuk mengantarkannya ke kota? Tidak. 15 km ke kota [pp berarti 30 km] tak ada masalah bagi dia. Ia antar istrinya. Habis mengantar istrinya, ia masih harus menggendong putra kecilnya, kadang jalan-jalan, kadang menyuapi makanan, kadang mengajak bermain, dsb.
Itulah pemandangan yang saya lihat setiap hari. Rutin. Kalau Cuma sekali mungkin kebetulan. Tapi ini tidak. Para tetangga –laki-laki atau perempuan—menjuluki dia sebagai suami yang sangat sabar.
Ada seorang tetangganya [kebetulan masih saudaranya] ketika anaknya masih kecil suka menangis di malam dini hari. Kalau nangis susah diamnya. Nah, bapak inilah yang menggendongnya kemana-mana kadang dari jam 01.00 sampai adzan subuh. Setiap kali anak ini nangis, bapak penyabar ini yang membantu menggendongnya.
Memang saya melihat kesabarannya luar biasa. Secapek apapun ia menyempatkan diri untuk keperluan istri, anak-anaknya, bahkan tetangganya. Ia melakukannya dengan tulus. Tak pernah saya melihat ia mengeluh.
Istrinya pernah ketika bercerita kepada saya, beberapa tahun lalu ia divonis oleh dokter akan mati dalam hitungan bulan karena menderita kanker rahim. Istrinya sudah pasrah. Tapi suaminya bangkit, “sudahlah jangan percaya sama ucapan dokter 100%. Allah yang memutuskan mati atau tidak”. Setiap saat bapak ini terus men-support istrinya, hingga istrinya bangkit juga untuk mencari jalan keluar.
Apa yang dilakukan bapak ini? Setiap dua hari bapak ini membawa istrinya menjalani pegobatan alternative kepada seseorang yang sangat terkenal di daerah saya. tempatnya jauh karena lintas kabupaten. Jaraknya sekitar 60 km [pp 120 km] dari rumah bapak ini. Bayangkan, setiap dua hari dengan naik sepeda motor bapak ini mengantar istrinya selama bertahun-tahun. Dan Alhamdulillah, kankernya sekarang sembuh.
Bapak ini memang berbeda dengan karakter istrinya yang sedikit keras. Tetangga kadang merasa kasihan, ketika melihat bapak ini sehabis pulang kerja setelah seharian naik motor, setiba di rumah masih diminta mengantar istrinya ke tempat yang jauh. Kadang bapak ini belum sempat istirahat.
Tapi bagi saya, justru di sinilah ketulusan bapak ini makin terang-benderang. Kesabarannya makin mengkilat seperti emas. Toh ia menjalaninya dengan enjoy. Kok saya dan tetangga yang usil. Begitu sabarnya, malah ada tetangga bilang, “wah suami kayak gini yang akan menghuni surga”. Kadang saya merasa malu, ketika kesabaran saya hilang, tiba-tiba istri saya nyeletuk, “kayaknya baba harus belajar kesabaran dari bapak itu tuh…”
Hikmah yang bisa diambil, mengelola rumah tangga tak bisa dengan amarah, nafsu durjana, atau keinginan untuk saling mendominasi. Ketika satu marah, pasangan lain harussabar. Keseimbangan ini perlu dijaga, agar rumah tangga tidak oleng. Kisah suami yang sangat penyabar ini mungkin bisa menjadi bahan renungan di mala mini. Tidak hanya bagi suami, juga bagi istri.
Matorsakalangkong
Sumenep, 14 juni 2012
Saya pernah menuliskan kisah sukses bapak ini di kompasiana, Sukses Berkat Cerdas EQ dan SQ.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H