Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Engkong Ragile Menusuk Keberagamaan Saya

7 Juni 2012   16:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:16 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika saya dituduh liberal dan sekuler gara-gara tulisan saya , saya tersenyum di bibir meski dalam hati kecut. Kemudian saya menumpahkan gejolak emosional saya dalam tulisan tanggapan menanggapi tanggapan seorang kompasianer atas tulisan saya [ribet amat ya…kayak Parto jadinya].

[caption id="attachment_186549" align="aligncenter" width="518" caption="inilah komentar engkong yang menusuk saya"][/caption]

Untunglah ada seorang kompasianer senior yang menulis komentar di lapak saya. Komentarnya sungguh menusuk ke ulu hati keberagamaan saya.

Membaca komentarEngkong Ragile, begitu kompasianer senior ini dipanggil, saya sungguh malu. Saya seperti dihampari tikar untuk belajar kembali makna keikhlasan. Satu bentuk nilai agung, bahkan menjadi jantung keberagamaan. Komentar engkong seperti alarm yang membangunkan saya dari ketakutan mimpi buruk. Entah berupa ketakutan distigma, dicap, atau mungkin ketakutan akan citra melorot karena stigma itu.

Engkong Ragile benar. Tak perlu takut sama stigma dan cap. Ketika saya takut berarti keikhlasan keberagamaan saya –sesuai keyakinan yang saya anut—menjadi terkurangi. Malah mungkin habis. Bukankah ketika saya takut distigma, berarti saya butuh citra? Bukankah ketika saya takut dicap, berarti saya butuh dipuji? Pada hal penghambaan keberagamaan saya sejatinya secara ikhlas untuk Allah.

Saya sadar, manusia butuh citra. Butuh pujian. Sebaliknya takut dicap, takut distigma. Tetapi ketika saya gagap karena takut distigma dan dicap, bukankah saya telah mentololi diri? Keseimbangan, itu yang sejatinya harus saya jaga. Dalam keseimbangan gejolak nafsu dan emosi bisa terkontrol. Ketika gejolak nafsu dan emosi bisa dikontrol, ketenangan akan hadir. Ketenangan adalah puncak dari kematangan dari spiritualitas seseorang.

Secara khusus, saya menyampaikan terimakasih atas tusukan engkong. Tusukan tulus dari seorang sahabat yang bermaksud membangunkan. Setidaknya, saya harus banyak belajar bagaimana menjaga keikhlasan, terutama dalam beragama. Keikhlasan dan kesabaran, akan menjadi perisai dari amukan stigma yang memang subur ditaburkan oleh orang-orang yang menggemarinya.

Saya juga menyampaikan terimakasih sama kompasianer lain yang telah memberi nasehat dalam kesabaran dan kebaikan di lapak saya.

Ijinkan saya menutup tulisan ringan saya ini dengan kata-kata bijak dari Dzun Nunun Al-Mishri, wali dan sufi besar.

“ Tiada kehidupan yang bermakna selain bersama dengan beberapa orang yang hatinya selalu cenderung pada takwa dan selalu berdzikir, ketenangan jiwanya menuju keyakinan dan kebahagiaan, sepertiketenangan bayi menyusu dalam ruangan” [Risalah NU, 1212]

matorsakalangkong

sumenep, 7 juni 2012

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun