[caption id="attachment_183143" align="aligncenter" width="448" caption="senyum dalam keuletan (dok.pribadi)"][/caption]
Jika pak Dahlan Iskan selalu mengobarkan semangat kerja.kerja.kerja, itu menunjukkan bahwa umumnya di lingkungan BUMN dan birokrasi etos kerjanya lemah. Letoy. Mereka umumnya diracuni cara pikir, "ngapain kerja keras, kerja sekenanya saja gua dapet gaji".
Sebenarnya kalau mau jujur, kerja keras itu milik orang kecil. Milik orang pinggiran. Mereka ini bertebaran jumlahnya di pelosok negeri yang katanya kaya ini. Setiap hari mereka lalui hidup dengan membanting tulang. Kerja.Kerja.Kerja. Mereka bekerja sungguh-sungguh. Dan tak pernah mengeluh.
Sosok Ibu Hudaifah
Saya hidup di pedesaan. Di sebuah kabupaten yang katanya kaya migas, dengan kekuatan APBD lebih dari 1 triliun 200 milyar. Tetapi angka-angka dalam APBD itu kurang bermakna bagi orang-orang kecil seperti ibu Hudaifah, ibu paruh baya dengan dua anak. Tetapi toh ia tidak mengeluh. Setiap hari ia tetap melakoni hidupnya.
Sehabis subuh, ketika terang matahari masih belum meyentuh tanah, ia sudah berangkat dari rumahnya ke rumah tetangga saya. Ia bekerja sebagai tokang amassa' (juru masak) pada tetangga saya yang punya usaha pembuatan kerupuk.
Dengan cekatan ia memulai pekerjaannya. Di depannya, satu bak besar adonan tepung menunggunya. Ia pun menuangkan adonan tepung itu dalam nampan-nampan berbentuk segi empat dan mencelupkannya ke dalam kuali besar yang berisi air di atas tungku. Sesekali ia menyorongkan kayu, agar api terus menyala. Tetapi nyala api tidak boleh terlalu besar, juga tidak boleh terlalu kecil. Karena air dalam kuali harus dijaga tingkat kepanasannya.
Sambil mengisi nampan dengan adonan tepung, tangannya bergerak cepat mengangkis nampan lainnya yang sudah matang dari kuali. Satu nampan ia angkat, nampan yang lain ia celupkan. Hasil adonan tepung yang sudah matang kemudian ia tumpuk membentuk lapisan-lapisan. Ketika lapisan sudah dianggap cukup, pekerjaan selanjutnya adalah mengiris lapisan adonan tepung menjadi krupuk sesuai bentuk yang diinginkan. Dan pekerjaan mengiris ini sudah menjadi tanggung jawab orang lain.
Ibu Hodaifah bekerja sejak jam 5 pagi hingga jam 1 siang. Kadang lebih. Ia bekerja sebagai juru masak krupuk dengan berdiri, karena pekerjaannya memang tidak memungkinkan untuk duduk. Selama 7-8 jam ia harus berdiri di dapur menghabiskan se bak besar adonan tepung untuk digodok sebelum diiris-iris dalam bentuk krupuk.
Berapa ia memperoleh imbalan dari pekerjaannya? Imbalan dihitung dari banyaknya bak adonan. Per bak besar, ibu ini memperoleh 8 ribu rupiah. Setiap hari ia menghabiskan 2 bak besar. Berarti perhari ia memperoleh 16 ribu.
Uang sebesar itu bagi sebagian orang tak ada artinya. Tapi bagi ibu ini? tentu sangat bermakna. Meski sangat kecil, ia peroleh uang itu dengan terhormat. Dengan kerja keras. Dengan halal. Dan dari uang itu juga ia tetap menyekolahkan dua anaknya. Yang sulung, laki-laki, sudah kelas XI di madrasah aliyah tempat saya mengajar. Yang bungsu, perempuan, masih kelas 1 MI.
Ibu ini single parent. Suaminya sudah hampir 3 tahun meninggalkannya karena menikah dengan perempuan lain. Tapi, ibu ini seperti ibu lainnya memiliki mental tangguh. Tak ada kamus meminta-minta atau malas. Setiap hari Bekerja.Bekerja.Bekerja. Mungkin, pendapatannya terbilang kecil dari ukuran nominal, tapi besar dalam ukuran keberkahan.
[caption id="attachment_183144" align="aligncenter" width="448" caption="ibu hudaifah sedang mengangkat adonan yang sudah matang (dok pribadi)"]
Renungan
Jika mau belajar makna kerja keras belajarlah pada orang-orang kecil. Pada orang-orang pinggiran. Dalam hidupnya, saya melihat dengan jelas, keikhlasan menjalani pekerjaannya dengan sepenuh hati.
Mereka, orang kecil-kecil adalah guru, tempat kita tidak sekedar belajar makna kerja keras, tetapi juga makna syukur, rendah hati, kepedulian, dan menjauhi sikap berlebihan. Ya, soal kerja keras, mereka memang pemiliknya.
Semoga bermanfaat.
Matorsakalangkong
Sumenep, 23 mei 2012
foto-foto hasil jepretan anak kecil saya yang berumur 8 tahun, maaf jika kurang bisa melukiskan kerja keras sosok ibu luar biasa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H