Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jangan Anggap Enteng Komunikasi dengan Anak

6 Mei 2012   04:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:39 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Suatu hari saya menemukan beberapa siswa datang terlambat ke sekolah. keterlambatannya hanya dalam hitungan menit. Tapi siswa yang terlambat tetap diminta datang ke kantor. Satu-satu saya memanggilnya. Saya tanya alasannya kenapa terlambat.

Jawaban salah seorang siswa membuat saya terhenyak. Awalnya dia biasa menjawab. Keterlambatannya disebabkan ia biasa begadang malam sehingga bangun paginya terlambat.

Biasa nongkrong ya..?”

Gak pak…saya cuma main di tetangga. Tapi saya biasa tidur di situ.”

Saya kaget. Saya dalami jawabannya. “Kenapa gak tidur di rumah?,” tanya saya.

Rumah bagi saya tak nyaman pak. Saya tidak betah…,” ia menjawab sangat pelan. Tiba-tiba ia sesunggukan. Ia menangis. Diam sesaat. Saya tidak bisa melanjutkan pertanyaan. Saya ambil jeda. “ Oke..jika ingin menangis…tak apa..menangislah…,” kata saya sambil berdiri meninggalkannya sejenak.

Dirasa cukup membiarkan ia menangis, saya kembali lagi ke hadapannya. Ia belum berhenti juga menangis. Seperti ada beban yang menghempitnya.

Saya punya masalah dengan ayah saya. Saya tidak biasa komunikasi sejak dulu,” ia mulai menjelaskan akar masalahnya. Dengan suara yang sangat hati-hati dan tetap menangis. “Apalagi sekarang. Rumah tangga seringkali konflik. Pasalnya ayah ketahuan punya hubungan dengan perempuan lain”

Hingga di sini saya makin tercengang. Saya pernah ketemu sama ayah siswa ini. Ia seperti sangat peduli sama anaknya. Bahkan ketika itu, ia bicara tentang pergaulan siswa sekarang yang makin mencemaskan orang tua. Khusus anaknya, ia meminta saya untuk menasehati di sekolah, karena anaknya suka mengambil uang tanpa bilang-bilang.

Saya mau bicara, tapi tak bisa. Tidak berani. Saya hanya kasihan sama ibu,” suara tangisnya tetap menemani suara lirihnya.

Saya bingung juga mencari jalan keluar. Meski akhirnya saya ngomong, “ saya ingin ikut menyelesaikannya. Tapi ini terlalu pribadi. Saya hanya percaya bahwa kamu bisa melakukannya. Gimana kalau kamu ambil secarik kertas, dan tulis apa yang hendak kamu ungkapkan sama ayahmu. Misalnya…”ayah…saya sayang keluarga ini. Saya ingin keluarga kita tetap bertahan…”

Ia tak menjawab. Entahlah apa ia bisa melakukannya atau tidak. setidaknya, suara tangisnya bisa meringankan hempitan masalahnya.

Renungan

Peristiwa di atas setidaknya menjadi penegas dari kasus-kasus serupa yang banyak ditemui dalam lingkungan keluarga bahwa, komunikasi tak bisa dianggap enteng. Komunikasi bukan perkara sepele.

Komunikasi bukan sekedar ucapan seperti ini, “Dapat berapa nilaimu di sekolahmu? Uang jajannya habis ya…? Kamu lapar… makan sana…dll.” Komunikasi mencakup pola relasi verbal dan tindakan yang memungkinkan segenap emosi anak, sejak kecewa, senang, dan sedih menemukan kanal untuk diungkapkan. Dan itu dilakukan dengan penuh ketulusan, cinta dan kasih sayang. Dengan jalan ini, Insya Allah surga akan hadir dalam rumah kita.

Soal lain, petaka dalam keluarga terkadang akan menjadi petaka bagi anak. Semakin besar petaka, semakin besar juga dampaknya bagi anak. Tidak saja mengganggu hal yang terkait dengan sekolah, tetapi petaka itu akan mengganggu seluruh keseimbangan hidupnya. Pikiran, emosi, suasana hati, relasi, semangat hidup, imajinasi, bahkan citra terhadap diri sendiri akan terganggu.

Apalagi menyangkut kasus besar seperti perselingkuhan, ini petaka luar biasa yang sangat memukul anak. Ia pasti sudah kehilangan figur, justru di dalam surganya sendiri. Jadi, jangan coba-coba main api dengan perempuan/laki-laki lain.

Semoga pengalaman ini menjadi bahan renungan bagi kita semua.

Matorsakalangkong

Sumenep, 7 mei 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun