"Gimana anak dan istrimu, sehat...?" sapanya agak lemah sambil berbaring dalam kamarnya yang sangat sederhana. Saya mengangguk.
"Bapak ingin sekali pergi ke sana. Melihat cucu. Sayang, bapak lagi tidak enak badan...," lanjutnya.
"Kan bisa kalau nanti sudah sembuh pak..."
Selama dua jam saya dan ayah ngobrol begitu dekatnya. Sesekali ia cerita tentang kesulitannya bernafas. Tentang malam sebelumnya yang tidak bisa tidur semalaman. Cerita lucu yang membuatnya menyunggingkan senyum. Satu lagi, tentang makna kejujuran dan perlakuan adil, dua hal yang secara nyata dipraktekkan ayah kepada anak-anaknya.
"Gimana kalau kerumah sakit saja pak...," usul saya spontan.
"Bapak juga berpikir begitu...siapa tahu di rumah sakit bapak bisa istirahat nyaman...coba bilang sama ibu, kakak, dan adikmu. Musyawaah. Kalau mereka setuju semua, bapak mau ke rumah sakit "
Aneh. Kenapa ayah masih harus menunggu persetujuan semua keluarga? Bukankah orang sakit memang seharusnya dibawa ke rumah sakit? Bukankah yang sakit  itu ayah sendiri?
Akhirnya semua keluarga berkumpul dan bersepakat membawanya ke rumah sakit. Jam 10.00 wib, beliau dibawa dengan mobil tua kesayangannya. Saya dan kakak nomer tiga tidak ikut. Rencananya sore harinya sambil membawa nasi untuk beliau dan keluarga yang menunggunya. Tahu tidak ikut, ayah bertanya, "munif (kakak saya) dan dardiri tidak ikut?"
"Enggak pak...biar sore nanti saya ke situ"
Ketika mobil melaju ke rumah sakit, saya ngobrol sama teman di rumah. Tak ada firasat apapun. Hingga 2 jam kemudian ada family saya yang datang ke rumah dengan linangan air mata..."Bapak kamu sudah meninggal ...."